LightReader

Chapter 19 - Bab 19 - Swantara dan Kisahnya

Fragmen sejarah lenyap dalam ledakan cahaya samar, tapi Reina belum sempat bertanya atau menarik napas saat serpihan-serpihan kenangan tadi berkumpul kembali, membentuk sesuatu yang lebih padat... lebih nyata.

Sebuah cermin besar terbentuk di hadapannya. Namun bukan sembarang cermin. Ia tidak memantulkan bayangan siapa pun. Ia mengandung sesuatu. Cermin itu berdenyut lembut, seolah hidup. Seolah... menatap balik.

Reina terpaku. Jantungnya berdegup tak karuan saat bayangan muncul dari dalam lapisan cermin, bukan pantulan dirinya, tapi seseorang yang mirip... terlalu mirip.

Sosok itu adalah seorang perempuan muda, berdiri anggun dalam balutan pakaian serupa dewa-dewi purba, putih keperakan bersulam langit dan tanah. Rambutnya menjuntai lembut dengan mahkota aneh yang tampak seperti serpihan kristal kuno dan akar pohon tua. Matanya memancarkan kedamaian tak manusiawi. Ia bersinar, seolah tidak terbuat dari daging, tapi dari esensi jiwa murni.

Ia tersenyum lembut. Tak berkata sepatah kata pun. Namun suara itu terdengar jelas di dalam kepala Reina.

"Diriku... Kau bagianku... Suatu saat... akan menyatu..."

Lalu ia menghilang. Tersapu badai cahaya yang berputar seperti pusaran kosmik.

Reina berteriak dalam hati saat tubuhnya melayang, ditarik paksa dari ruang transenden menuju kenyataan. Gelombang itu menghempaskannya, menyobek jalinan ilusi, membuangnya ke dunia semula.

Reina jatuh dari udara tanpa sempat mengerti apa yang terjadi. Pelukan hangat menyambut tubuhnya yang terempas. Radeeva meraihnya seolah menyelamatkan pecahan kaca yang nyaris hancur di tanah. Reina gemetar. Tubuhnya basah oleh peluh dingin. Matanya kosong.

"Reina! Kau dengar aku?" Radeeva mengguncangnya, khawatir. Tapi Reina hanya bisa menatap kosong ke langit yang kini berwarna ungu tua. Napasnya putus-putus.

Layantara meliuk di udara, tubuhnya berpendar seperti air raksa. Suaranya menggema pelan, entah tawa, entah nyanyian pilu.

"Sudah kutunjukkan... Maka terimalah peranmu."

Dengan gerakan lincah seperti asap, Layantara berputar dan masuk kembali ke dalam cincin Cakra Adhiwara yang bersinar terang. Sebuah benda lain muncul menggantikan sosok Layantara. Sebuah artefak, Cermin Arupa. Cermin itu kecil, tapi bercahaya lemah. Permukaannya seperti air yang membeku di dalam cahaya bulan.

Radeeva menatapnya dengan ekspresi penuh siaga, lalu berganti menjadi ketakutan yang samar. Dia tahu... artefak ini bukan sekadar alat. Ia adalah kunci atau... pengingat.

Cermin Arupa hanya sebentar bertahan. Pendar cahayanya berkedip, lalu seperti uap, terhisap kembali ke dalam cincin Cakra Adhiwara.

Semuanya sunyi. Hanya napas terengah Reina yang tersisa di antara kabut malam yang mulai turun perlahan.

Radeeva masih memegangi bahu Reina, matanya penuh tanya. "Reina?" Ia menunggu jawaban, namun gadis itu diam, menatap kosong ke telaga yang tampak seperti cermin langit terbalik.

Setelah beberapa saat, barulah Reina bersuara, nyaris seperti bisikan. "Aku melihat sejarah... Batu Somo... Kaum Astadewa, Klan Niraksana, Kaum Wismara... Dan... awal dari kehancuran."

Radeeva menegang mendengar nama-nama yang hanya disebut dalam catatan rahasia Menara Cahaya. Tapi ekspresi Reina terlalu lelah untuk dikejar. Ia mengangguk pelan, menatap telaga yang mulai diselimuti embun.

Tanpa bicara lagi, Radeeva menjentikkan jarinya. Udara di sekeliling mereka bergelombang sebentar, membentuk sebuah kubah pelindung transparan, tak lebih dari dua hasta dari permukaan tanah, yang hangat dan sunyi.

"Kita istirahat di sini. Sampai matahari kembali," ucapnya pelan, suaranya tak lagi seperti pendekar, tapi seperti seseorang yang paham benar batas kemampuan manusia.

Reina mengangguk. Ia perlahan duduk, lalu merebahkan tubuhnya mengikuti Radeeva yang sudah lebih dulu berbaring, tangan terlipat di belakang kepala, menatap langit malam.

"Kau tahu... " ujar Reina pelan, "tentang Kaum Astadewa, Klan Niraksana dan Wismara... siapa mereka sebenarnya?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Radeeva hanya menutup matanya, dan diam. Reina menunggu namun enggan menuntut jawaban. Ia tahu bahwa Radeeva perlu waktu untuk memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaannya.

Reina memilih untuk sibuk dengan pikirannya, hingga suara pelan Radeeva menyentaknya. "Reina... kau mungkin harus tahu sesuatu."

Nada suaranya dalam dan berat. Tak seperti biasanya. "Aku... adalah keturunan langsung dari kaum Wismara."

Reina menoleh, matanya memicing, bukan karena curiga, tapi karena tak memahami sepenuhnya. Radeeva melanjutkan, menatap ke permukaan air.

"Dulu, jauh sebelum dunia ini berwajah seperti sekarang... ada kaum suci bernama Astadewa. Mereka bukan hanya makhluk, mereka adalah kesadaran cahaya yang menjelma, tercipta dari kasih sayang surgawi untuk menjaga keseimbangan antara dimensi dan sihir."

"Namun, seperti kebanyakan kisah besar lainnya, kejatuhan dimulai dari dalam. Perpecahan muncul. Dua cabang dari satu akar: Klan Niraksana dan Kaum Wismara. Keduanya berselisih soal hak menjaga Batu Somo, sumber kekuatan dunia."

Reina mengangguk perlahan, mengingat kembali gambaran-gambaran yang ia lihat dalam fragmen Cermin Arupa.

"Klan Niraksana yang kehilangan kekuasaan... diusir. Dicabut haknya. Perlahan nama mereka hilang dari sejarah. Sedangkan Wismara... berkuasa. Menjadi darah utama yang mengalir dalam Kerajaan Swastamita sampai hari ini."

Radeeva mengambil ranting kecil dan menggambar sesuatu di atas tanah: tiga garis. "Dalam struktur resmi dunia Swantara dan kerajaan Swastamita, hanya ada tiga kaum utama yang diakui Dewan Agung dan Panatua Menara Cahaya."

Ia menunjuk garis pertama, tertinggi.

"Pertama: Kaum Wismara. Kasta tertinggi. Pewaris darah kerajaan. Kami dianggap sebagai titisan dari Leluhur Cahaya, entitas yang pertama membuka gerbang dimensi Swantara."

Ia menunjuk garis kedua. "Kedua: Kaum Asraman. Bangsawan berdarah murni, namun bukan dari garis utama kerajaan. Mereka punya kehormatan, kekuasaan, tapi tidak punya hak mutlak untuk tahta."

Reina menyela, suaranya pelan, penuh rasa ingin tahu. "Dan... Bhirendra? Dia dari kaum Asraman?"

Radeeva mengangguk, tersenyum tipis. "Ya. Tapi dia bukan bangsawan istana. Dia dari Asraman Kemiliteran. Seluruh keluarganya, dari generasi ke generasi, adalah zirah pelindung kerajaan. Prajurit suci. Darah mereka dicurahkan bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kesetiaan."

Reina terdiam, dan jantungnya seperti tersentuh sesuatu yang lebih dalam. Seketika, segala perlakuan Bhirendra, cara bicaranya, pengorbanannya, semuanya terasa semakin berat maknanya.

Radeeva lalu menunjuk garis terakhir yang paling bawah. "Dan yang terakhir: Kaum Loka. Rakyat biasa. Pendatang. Mereka yang tidak memiliki akar pada darah suci." Ia menatap Reina. "Seperti... kamu."

Reina menunduk perlahan. Tapi tak ada amarah. Hanya pemahaman pahit. Ia sadar, betapa besar jurang antara dirinya dan dunia yang kini harus ia selamatkan. Namun dalam hatinya, ia tak merasa kecil. Ada sesuatu dalam dirinya... yang lebih dari sekadar darah.

Angin malam mulai hangat. Kubah pelindung sihir yang diciptakan Radeeva menciptakan keheningan damai, memisahkan mereka dari dunia luar. Di bawah cahaya dua bulan yang menggantung tenang di langit Swantara, percakapan di antara mereka perlahan menjadi lebih personal.

Radeeva mendongak memandang langit, lalu tersenyum dengan gaya khasnya yang sedikit nakal, sedikit menggoda. "Tahukah kau bahwa kami... berusia panjang?"

Reina, yang tadinya hampir terlelap, sontak membuka mata. Ia menoleh ke arah Radeeva, bingung.

"Kau maksud... umur panjang? Ya, aku tahu kalian bukan manusia biasa." Wajah Reina mengernyit. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menyala.

Radeeva menahan tawa, namun gagal. "Kau lucu sekali dengan ekspresi seperti itu." Tawa ringan meledak dari bibirnya.

"Apa yang lucu?" gerutu Reina. "Aku hanya... tidak menyangka kau akan membawa topik aneh di tengah malam seperti ini."

Radeeva menoleh, matanya menyipit jenaka. "Aku hanya ingin melihat wajahmu saat tahu... usiaku sekarang sudah lebih dari dua ratus delapan puluh tahun."

Reina mendadak terduduk. "Apa?!"

Radeeva meledak dalam tawa yang sulit dikendalikan. Reina masih bengong, antara bingung dan tidak percaya.

"Dan Bhirendra?" Suaranya gemetar, seolah berharap ini semua hanya lelucon tidur.

"Kurang lebih sama. Mungkin lebih tua sedikit, tapi siapa yang menghitung?"

Reina menggigit bibir bawahnya. "Tapi... kalian... kalian tidak seperti, ya ampun, kakek-kakek!"

Radeeva tertawa lebih keras. Ia memegang perutnya, seolah mendengar lelucon terbaik dalam hidupnya. "Tenang, kami memang tidak menua seperti manusia di duniamu. Waktu di sini berjalan berbeda. Lebih cepat dalam perhitungan dimensi, namun sepadan dalam keseimbangan energi."

Ia mencondongkan tubuh. "Jadi, meskipun aku hampir tiga ratus tahun... secara bentuk, aku sama muda dan segar seperti dirimu."

Reina masih syok, kehilangan kata-kata. Sementara Radeeva justru bersandar santai, menjadikan tangannya sebagai bantal.

"Tapi satu hal yang pasti." Ia menoleh dengan wajah sok serius. "Kalau kau sampai memanggilku kakek tua, aku akan mengirimmu ke kawah terlarang dan menyuruhmu bermeditasi di atas batu panas selama tujuh hari tujuh malam."

Reina mendesah, lalu memukul pelan lengan Radeeva. "Gila. Ternyata kau lebih tua dari Bunda Dhea di panti."

"Jangan bandingkan aku dengan manusia fana," balas Radeeva, tertawa ringan.

Mereka akhirnya terdiam, tenggelam dalam kehangatan malam dan kebersamaan yang perlahan mulai mengikis batas antara dua jiwa dari dunia berbeda.

More Chapters