LightReader

Chapter 9 - The Second Dream That Continues

Tidak ada cahaya.

Tidak ada suara.

Bahkan kehampaan pun sudah mati di sini.

Hanya satu: Kael'Zurath, melayang di tengah ketidakadaan yang bahkan tak memiliki batas.

Tubuhnya bukan lagi fisik—ia hanyalah fragmen kehendak, gema keberanian, dan sisa kesadaran yang terus menolak padam.

Setiap getaran dirinya adalah kenangan dari Infinite Multiverse yang pernah ia hancurkan dan ciptakan. Tapi kini, semuanya sunyi.

"Sudah selesai...?"

Suara itu bukan dari luar.

Itu adalah Kael berbicara kepada dirinya sendiri.

Suara yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang masih memilih untuk ada.

Lalu, seberkas cahaya muncul.

Kecil. Lembut.

Tapi terlalu nyata dalam kehampaan absolut ini.

Cahaya itu berbentuk bocah kecil—wajahnya mirip Kael, tapi matanya masih bersih, seperti sebelum kehancuran, sebelum darah, sebelum segalanya.

"Kau bertarung bukan untuk menang, Kael..."

"...tapi agar sesuatu tetap bisa bertahan."

Kael'Zurath hanya menatapnya.

Suaranya tak mampu keluar.

Namun air mata—bukan dari tubuh, tapi dari memori—jatuh, mengalir ke ruang yang tak bisa disentuh.

---

"Kau sudah menyelesaikannya."

"Dan sekarang... kau bisa pulang."

---

Tiba-tiba...

Semua realitas tercipta ulang.

Tapi tidak seperti sebelumnya.

Bukan sebagai medan perang. Tapi sebagai kemungkinan baru.

Langit mulai terlukis. Bintang mulai lahir.

Waktu mulai berdetak.

---

Di dunia yang masih kosong...

...seorang bayi terlahir.

Namanya belum ditentukan. Tapi dalam irisnya, ada sisa cahaya kehendak Kael'Zurath.

Bukan sebagai Dewa.

Bukan sebagai Pejuang.

Tapi sebagai awal baru.

---

Dan Kael...?

Dia tidak bangkit.

Tidak kembali.

Tapi dia ada.

Dalam napas realitas itu sendiri.

Setiap detak waktu.

Setiap gema langit.

Setiap bintang yang bersinar.

Itu adalah Kael'Zurath.

Yang menang.

Yang mengorbankan segalanya.

Yang menjadi fondasi keberadaan.

Akhir.

Dan juga awal.

Setelah akhir.

Setelah kosmos membentuk ulang dirinya dari reruntuhan infinite multiverse.

Setelah gema terakhir dari pertarungan itu memudar di batas waktu...

...Kael'Zurath tidak lenyap.

Ia tidak mati.

Tidak hilang.

Ia... berpindah.

---

Namun...

Bukan menjadi Dewa.

Bukan menjadi bintang.

Bukan menjadi dunia.

Bukan menjadi manusia.

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa tahu.

---

Gema kosmos, yang berbisik di antara Dunia-dunia, hanya berkata satu hal:

> "Dia telah kembali.

Tapi kau tidak akan tahu siapa.

Tidak akan tahu apa.

Tidak akan tahu bagaimana.

Bahkan tidak akan sadar bahwa dia ada di dekatmu."

---

Kael'Zurath telah melewati batas bentuk dan makna.

Ia bisa menjadi hembusan angin di dunia paling sederhana,

atau nyanyian alam semesta dalam sunyi malam,

atau bahkan batin seorang anak kecil yang bermimpi tentang bintang tanpa tahu kenapa.

---

Bahkan tulisan pun gagal.

Bahasa pun runtuh.

Konsep pun remuk.

Ketika mencoba mendeskripsikan apa Kael'Zurath reinkarnasi menjadi, naskah-naskah suci akan terbakar dengan sendirinya.

Pen dan tinta tak akan mampu menuliskannya.

Karena bukan hanya dunia ini yang tidak tahu—bahkan Narasi pun tidak diizinkan untuk tahu.

---

Dan entah di mana,

entah dalam bentuk apa,

Kael'Zurath melihat kembali ke seluruh ciptaan...

...dan tersenyum.

Bukan sebagai pemenang.

Tapi sebagai penjaga senyap,

yang pernah menghancurkan infinite multiverse

dan menciptakannya kembali

demi kemungkinan harapan yang tak pernah dimengerti siapa pun.

---

"Aku di sini.

Tapi kalian tak perlu tahu.

Karena kalian hidup—itu sudah cukup."

----

Seratus juta tahun setelah gema terakhir dari pertarungan kosmik yang menghapus dan mencipta infinite multiverse.

Dunia telah berputar dalam siklus baru, peradaban telah bangkit dari debu zaman, dan sejarah lama terkubur dalam mitos dan reruntuhan waktu.

Kini berdirilah Altazevyn, ibu kota kerajaan langit Drelvathar, dengan menara-menara sihir setinggi awan, dan jalan-jalan yang menyala oleh kristal aetherik. Tempat di mana bangsawan tidak berjalan, mereka melayang—dan rakyat miskin bahkan tidak diberi izin untuk menatap ke atas.

 

Varma, lengkapnya Varmageon D. Matheon, berdiri di balkon istananya, jubah putih keemasannya tertiup angin. Di belakangnya, penjaga berdiri dalam diam, tunduk padanya seperti biasa.

Matanya menyapu jalanan bawah kota—tempat kaum rendahan tinggal.

"Kota ini bau sampah dan ambisi rendah," gumamnya, sambil mengangkat cangkir teh yang bahkan tidak ia minum.

 

Di bawah—di sudut lorong kota bawah—Azveriul Vazhel, dengan wajah setengah tertutup debu dan rambut kusut, mendorong kereta penuh pecahan kristal dan sisa makanan. Bajunya lusuh, tangannya penuh luka dari logam tajam yang sering ia pungut.

Anak-anak melemparinya batu.

Orang dewasa menghindarinya.

Varma, ketika lewat dengan kereta aetherik, bahkan tak menoleh padanya—kecuali untuk menghina.

"Hei, kau. Tukang bangkai kota. Bersihkan jalanku. Sekarang."

Azveriul hanya menunduk.

"Baik, Nona Varma."

 

Hari-hari berlalu seperti itu.

Varma di atas.

Azveriul di bawah.

Tak seharusnya ada titik temu.

Tapi takdir bukanlah sesuatu yang bisa diatur oleh kasta.

 

Suatu malam, langit merah terbuka.

Sebuah patahan tak dikenal menganga di atas Altazevyn.

Langit—yang selama ribuan tahun tak pernah retak—mulai mengeluarkan suara.

Bukan suara petir.

bukan Suara angin.

tapi Suara mengerikan dari Kosmos.

seseorang dalam sebuah Istana Ia Menatap Langit dan Berkata. "Sudah waktunya Yah."

orang itu membuka Buku yang Ia pegang dan di sana tertulis.

"Saat bawah mulai kosong maka atas akan meninggalkan tempatnya, saat atas merendahkan bawah, maka bawah akan menghancurkannya, saat langit mulai retak, artinya Kosmos mulai merindukan atas dan bawah, sampai akhirnya tengah akan membangunkan mereka... wahai manusia, ini adalah tanggung jawab kalian, yang memandang seseorang dari kastanya."

-------

Pintu-pintu berlapis emas Akademi Aetheria menjulang di hadapan Varma. Ukiran rumit tentang para Ascendant zaman dahulu berkilauan tertimpa cahaya kristal pagi. Ia melangkah masuk, jubahnya berkibar anggun di belakangnya, meninggalkan para pelayannya yang membungkuk hormat. Aroma parfum halus dan debu buku kuno menyambutnya. Inilah tempat di mana para bangsawan Drelvathar menempa diri menjadi pemimpin dan penyihir terhebat. Tempat yang layak bagi seorang Varmageon D. Matheon.

Di aula utama, para siswa lain—dengan jubah seputih dan semahal miliknya—menoleh dengan tatapan kagum bercampur iri. Varma membalas dengan anggukan kecil, merasa superioritasnya semakin menguat. Mereka semua tahu siapa dirinya, garis keturunan terhormat, bakat sihir yang luar biasa, dan tentu saja, kekayaan yang tak terhitung.

Saat seorang instruktur berjubah indigo mulai menjelaskan jadwal dan peraturan akademi, mata Varma tanpa sengaja menangkap sosok familiar di sudut ruangan. Seseorang yang tampak begitu asing di tengah kemewahan ini.

Rambut kusut, pakaian sederhana yang tampak usang, dan tangan yang tampak kasar. Azveriul Vazhel.

Apa yang dilakukan si tukang bangkai itu di sini? Apakah Akademi sudah begitu putus asa hingga menerima gelandangan jalanan?

Sebuah seringai sinis tak tertahankan muncul di bibir Varma. Ia melangkah mendekat, menikmati keterkejutan yang jelas terlihat di wajah Azveriul.

"Lihat siapa yang berhasil menyeret dirinya ke tempat yang layak," kata Varma, suaranya penuh ejekan namun cukup keras untuk didengar beberapa siswa di sekitar mereka. "Kukira bau sampah kota bawah akan mengusirmu sebelum kau mencapai gerbang."

Azveriul menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak menjawab, hanya menatap lantai marmer yang berkilauan.

"Oh, benar," lanjut Varma, merasa semakin terhibur dengan ketidakberdayaan Azveriul. "Mungkin kau di sini untuk membersihkan lantai? Atau mengumpulkan sisa-sisa makanan para siswa yang lebih beruntung?"

Beberapa siswa di dekat mereka tertawa kecil. Varma merasa bangga dengan kecerdasannya dalam merendahkan orang lain.

Tiba-tiba, instruktur berdeham keras. "Nona Matheon," katanya dengan nada tegas namun terkendali. "Mari kita fokus pada orientasi. Semua siswa di sini memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkontribusi."

Varma memutar matanya, merasa kesenangannya sedikit terganggu. "Tentu saja, instruktur," jawabnya dengan nada dibuat-buat. Ia melirik Azveriul sekali lagi, tatapannya memperingatkan. "Hanya saja, beberapa orang tampak lebih cocok di selokan daripada di aula suci ilmu pengetahuan."

Azveriul masih menunduk, namun Varma bisa merasakan aura ketidaknyamanan yang terpancar darinya. Ia merasa puas. Setidaknya, ia telah menempatkan si rendah itu pada tempatnya.

Selama beberapa minggu pertama di akademi, Varma memastikan untuk sering "tidak sengaja" bertemu Azveriul. Di perpustakaan, ia akan berkomentar keras tentang betapa bodohnya beberapa pertanyaan. Di ruang makan, ia akan menyindir tentang selera makan "orang-orang tertentu". Bahkan dalam latihan sihir dasar, ia akan meremehkan setiap usaha Azveriul yang tampak canggung.

Azveriul selalu diam, menerima hinaan Varma dengan kepala tertunduk. Namun, ada sesuatu di balik ketenangannya yang membuat Varma merasa sedikit tidak nyaman.

Terkadang, ketika Varma melontarkan ejekan terpedasnya, ia akan melihat sekilas mata Azveriul—sebuah tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kesedihan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa Varma pahami.

Suatu sore, saat Varma sedang berlatih mantra levitasi di taman akademi, ia melihat Azveriul duduk sendirian di bawah pohon kuno, membaca buku usang dengan sampul yang nyaris terlepas. Rasa penasaran yang aneh mendorong Varma untuk mendekat.

"Apa yang kau baca, si kumuh?" tanya Varma, nadanya masih merendahkan namun dengan sedikit ketertarikan yang tak disadarinya.

Azveriul mendongak, terkejut. Ia dengan cepat menyembunyikan buku itu di balik punggungnya. "Bukan apa-apa, Nona Varma."

"Bukan apa-apa yang begitu penting hingga kau menyembunyikannya dariku?" desak Varma, mengulurkan tangannya. "Biarkan aku melihatnya."

Dengan ragu, Azveriul menyerahkan buku itu. Sampulnya memang lusuh, tetapi Varma terkejut melihat judulnya: "Sejarah Kuno Drelvathar: Sebelum Era Langit."

"Kau... membaca sejarah?" tanya Varma, alisnya terangkat. "Untuk apa? Bukankah lebih baik kau membersihkan toilet akademi?"

Azveriul menatap Varma, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit keberanian dalam tatapannya. "Sejarah bukan hanya untuk para bangsawan, Nona Varma. Ini adalah tentang masa lalu kita semua."

Kata-kata sederhana itu entah bagaimana membuat Varma terdiam. Ia menatap sampul buku itu, lalu kembali menatap Azveriul. Ada sesuatu yang berbeda tentang pemuda ini, sesuatu yang lebih dari sekadar tukang sampah kota bawah. Mungkin, hanya mungkin, takdir memang memiliki rencana yang lebih rumit dari sekadar memisahkan mereka berdasarkan kasta. Dan mungkin, Akademi Aetheria akan menjadi tempat di mana garis-garis yang selama ini memisahkan mereka mulai kabur.

More Chapters