"A, apaan sih. Ngapain dibawa ke sini?"
"Ngapain lagi? Temanku yang satu ini kan kerjaannya cuma mendekam di kamar, nggak pernah beli baju. Jadi aku yang harus belikan, kan?"
"Apaan sih, ayo cepetan ke kampus aja."
"Bacot. Woi, kamu tahu nggak seberapa sering ibumu nitip pesan ke aku? Katanya, yang lain terserah, yang penting tolong bikin kamu hidup selayaknya manusia."
"Ugh."
"Yah, kalau lihat kelakuanmu sekarang, kamu nggak bakal bisa membela diri kalau ibumu ngomel ke kamu bareng aku."
Mendengar itu, mulutku langsung terkunci rapat.
Meski aku kembali ke dunia modern dan hidup tanpa kesadaran penuh sebagai wanita...
Tapi ini sih namanya aku menjadikan temanku sebagai pengasuh bayi.
"Nggak usah beli banyak-banyak, satu atau dua setel aja cukup."
"...Oke."
"Lagian, udah jadi cewek cantik gini, sayang kan kalau disia-siain?"
"Huek, apaan sih. Udah kubilang jangan ngomong kayak gitu."
Sambil mengobrol, kami melangkah masuk ke toko baju yang paling pertama terlihat.
Begitu masuk, pelayan toko menyapa dengan semangat, "Selamat datang!"
Entah cocok atau tidak untukku, tapi baju-bajunya memang banyak yang cantik.
"Tuh, pilih gih. Apa pun yang kamu pilih, bakal aku coba."
"Oh ya? Kalau gitu jangan di sini, ke sana aja yuk?"
Tapi, memilih baju di toko offline seperti ini memang bukan pekerjaan yang cocok untuk orang yang introvert parah.
Anak rumahan seperti Eun-ha pasti langsung pusing begitu keluar rumah.
Kenapa juga aku harus diseret ke sini?
"Jin-wook, kamu lagi pengen cewek ya? Tapi kalau sama aku, kayaknya agak nggak banget deh."
"Bukan itu, goblok. Maksudku bukan di situ."
Makanya, aku minta Jin-wook—yang jauh lebih social butterfly dibanding aku—untuk memilihkan baju.
Tapi Jin-wook malah menunjuk lapak baju murahan di depan toko serba ada dengan ujung jarinya.
Tentu saja aku sedang bercanda sambil menunjuk toko pakaian dalam di sebelahnya.
"Ah, kalau beneran cantik mah nggak peduli teman atau buk....."
Tapi melihat tatapan jijik yang tulus dari mata Jin-wook, aku langsung ciut dan menutup mulut.
Kalau aku bercanda sedikit lagi, sepertinya temanku ini bakal beneran marah.
"Sori."
"Woi. Secara objektif aku akui kamu emang lumayan cantik, tapi kalau lihat kelakuanmu di rumah, boro-boro kerasa ceweknya."
"Apa? Kok bisa kamu mikir gitu pas lihat aku...."
"Kayaknya aku harus lapor ke ibumu soal gaya hidupmu deh."
"Jin-wook, daripada telepon orang tua, gimana kalau kita selesaikan secara kekeluargaan?"
Selain marah, masalah utamanya adalah kalau orang tuaku tahu aku bolos kuliah buat main game, mereka pasti tidak akan tinggal diam.
Kalau tidak mau ketahuan, aku terpaksa harus menurut dan diam.
"Masa aku yang Hunter Kelas S ini harus diseret paksa pulang kampung?"
"Kalau lihat kelakuanmu sih, kayaknya pantes aja."
"Punya teman kok gini amat...."
"Nih, coba pakai ini."
Jin-wook rupanya sudah memilihkan satu setel pakaian dan menyodorkannya padaku.
Gayanya lebih cocok untuk awal musim dingin daripada akhir musim gugur.
Dan bukannya gaya mahasiswa baru umur 20 tahun yang imut, dia malah memilihkan gaya 'kakak tingkat' yang terlihat agak dewasa.
"Oke. Tunggu bentar."
Aku mengambil baju itu dan masuk ke ruang ganti.
Tadi aku merasa mustahil ke kampus dengan tampang gembel, tapi setelah melihat cermin, aku baru sadar betapa lusuhnya penampilanku sekarang.
"Wah, gila sih."
Melihat penampilanku sekarang, aku berdecak kagum (dalam arti lain). Aku melepas kaos dan pakaian dalam yang kupakai, lalu mulai berganti.
Celana katun warna beige, kemeja sebagai dalaman, lalu dilapisi rajutan warna ivory.
Wanita gembel ala himono-onna (wanita ikan kering) tadi sudah hilang, berganti dengan sosok kakak tingkat yang terlihat agak high-class di cermin.
"Udah?"
"Memang mataku nggak pernah salah."
"Itu karena gantungan bajunya bagus."
Mendengar ucapanku, Jin-wook tertawa kecil.
Tapi jujur, emang bener kan?
Tubuh yang diberkati ini entah kenapa tetap terjaga bentuknya meski tanpa perawatan khusus, kulitnya juga bagus, dan fitur wajahnya punya garis yang tegas.
Bukan cuma itu, dadanya juga lumayan besar untuk ukuran segini.
Intinya, tubuh ini punya semua elemen yang dibutuhkan untuk disebut indah.
"Hah, mentang-mentang jadi Hunter, bacotnya makin nambah. Mbak, saya ambil yang ini, tolong dihitung ya."
"Baik, saya hitungkan."
Jin-wook dengan santai mengeluarkan kartu dari dompetnya dan menyerahkannya pada pelayan.
Saat aku hendak melangkah keluar karena ingin cepat-cepat ke kampus, terdengar suara dari belakang, "Maaf, Mas. Kartunya over limit....."
"Hah? Nggak mungkin ah."
"Dicoba lagi pun hasilnya sama."
Jangan-jangan, kartu itu.
Perasaanku tidak enak. Aku menoleh, melihat kartu di tangan pelayan, dan langsung mengambil ancang-ancang untuk kabur.
Tapi tangan Jin-wook yang lebih cepat dari cahaya sudah mencengkeram tengkukku, membuatku gagal melarikan diri.
"Permisi, Hunter Kelas S yang terhormat?"
"Y, ya?"
"Gimana ceritanya ini bisa terjadi? Padahal kalau Kelas S kan uang harusnya ngalir sendiri."
Mendengar suara Jin-wook yang dingin, keringat dinginku mulai bercucuran.
Kalau ketahuan aku top-up game pakai uang itu, aku bakal...!
"Ah, itu anu, Jin-wook-nim."
"Kamu top-up game lagi ya? Atau beli game pack?"
"Tolong jangan bilang Mama...!"
"Oh, jelas bakal bilang. Baju ini aku yang bayarin, jadi pakai aja. Dan siap-siap kita pulang kampung sebentar ya."
"Janga aan!"
"Sial, Jung Jin-wook brengsek."
Aku menelungkupkan wajah di meja ruang kuliah sambil memaki Jin-wook yang tidak ada di depanku.
Gara-gara dia mengadu ke Mama kalau uangku habis buat game, aku kena omel habis-habisan.
Hampir saja aku diseret paksa pulang kampung.
'Kalau begitu terus, Mama masukin kamu ke Pasukan Pertahanan Daerah di sini, mau?!'
Ucapan terakhir Mama itu benar-benar menakutkan.
Tentu saja, sebagai Hunter Kelas S, negara tidak mungkin membiarkan aset berharga sepertiku cuma mendekam di Pasukan Pertahanan Daerah.
Tapi masalahnya, ibuku adalah sosok yang bisa mengusir pejabat negara mana pun yang datang ke rumah....
"Eh, emang di jurusan kita ada anak kayak gitu?"
"Iya ya, baru lihat."
"Itu dia kan, Hwang Eun-ha."
Entah berapa lama aku menunggu.
Mahasiswa mulai berdatangan, dan suasana kelas mulai hidup. Beberapa mahasiswa mulai mengenaliku.
Terdengar bisik-bisik tentang anak yang biasanya cuma pakai hoodie, tumben-tumbenan datang dengan pakaian rapi.
"Ah, Hwang Eun-ha?"
"Kirain udah DO gara-gara nggak pernah masuk, ternyata enggak ya."
Hah.
Ini nih alasannya aku malas ke kampus.
Perhatian berlebihan seperti ini sama sekali tidak cocok untukku yang introvert sejati.
Perhatian itu, cukup kuterima di masa lalu saja.
'Pengen pulang.....'
Aku bangun dari posisi menelungkup dan meregangkan badan. Tiba-tiba aku merasakan tatapan aneh dari sekeliling.
Karena aku pernah jadi laki-laki, aku tahu persis apa arti tatapan itu.
Pokoknya, rasanya tidak nyaman.
"Oh, halo Eun-ha? Lama nggak ketemu."
Saat aku sedang menahan hasrat membara untuk pulang ke rumah.
Dan sedang serius melempar koin dalam imajinasi untuk memutuskan apakah sebaiknya lompat lewat jendela sekarang juga.
Terdengar suara laki-laki yang menyapa namaku dengan akrab dari depan.
"Nggak minat masuk Guild."
"Apaan sih, orang cuma nyapa kok langsung ditolak?"
"Nggak minat masuk Guild."
Kang Tae-woo.
Pria yang menarik perhatian banyak mahasiswi di kampusku.
Tapi dia menolak semua pendekatan mereka, dan dulu malah mengejarku dengan gigih, memintaku masuk ke Guild-nya. Benar-benar pengganggu.
Sebenarnya, 90% alasanku malas ke kampus adalah gara-gara si brengsek ini.
"Kenapa, ada masalah?"
"Nggak, adanya air."
"Boleh kubunuh nggak sih kamu?"
"Wah, jangan dong. Kalau Kelas S bunuh Kelas A sampai terluka, itu kerugian besar buat kekuatan tempur negara."
Ngomong apa sih nih bocah.....
Aku menopang dagu dengan pose, 'Coba aja ngoceh, paling juga omong kosong, tapi ya udah kudengerin.'
Melihat itu, Kang Tae-woo memasang ekspresi minta dihajar sambil bilang, "Tatapannya nyakitin banget sih."
"Emang kalau Kelas A mati bukan kerugian?"
"Dih, kok serem banget sih ngomongnya?"
"Cuma asal ngomong kok."
Aku berkata begitu sambil mengeluarkan ponsel dari saku.
Kali ini aku bawa power bank, jadi harusnya cukup buat membunuh waktu selama jam kuliah.
Mungkin di mata dosen sikapku terlihat kurang ajar, tapi aku ini keberadaan yang bahkan negara pun enggan mengusik sembarangan.
Pihak kampus juga pasti berpikir lebih baik membiarkanku ada di sini sebagai aset, jadi mereka tidak akan banyak protes.
"Woi, Kang Tae-woo."
"Ya?"
"Sekali lagi kubilang, aku nggak tertarik sama penaklukan monster atau apalah itu. Biarpun kekuatanku hebat, anggap aja itu mutiara di leher babi."
"Masa sih."
Kang Tae-woo tersenyum penuh arti mendengar ucapanku.
Harusnya aku tidak bertarung di depan dia waktu itu.
"Kalau orang lihat caramu bertarung, nggak bakal ada yang mikir gitu kali?"
"Woi."
"Jujur aja, aku diem karena kamu nggak suka ditanya kenapa bisa jago banget berantem. Tapi sebenarnya aku masih penasaran banget."
Aku terdiam mendengar kata-kata Kang Tae-woo.
Alasanku malas ke kampus sebenarnya sederhana.
Aku cuma ingin hidup tenang.
Tapi si Kang Tae-woo ini selalu berusaha mengacaukan ketenanganku.
Kalau dia mendekatiku karena nafsu atau ingin menjadikanku pacar, aku bisa dengan tegas menolaknya.
Tapi meski mulutnya bicara soal Guild,
Niat Kang Tae-woo yang sebenarnya bukan itu.
"Yah, biarpun nanya juga nggak bakal dikasih tahu sih."
"Kamu masih ingat kejadian waktu itu?"
"Ya jelas lah. Gimana bisa lupa? Siapa yang nahan pedang yang hampir nembus jantungku."
Aku adalah penyelamat nyawanya.
Dan Kang Tae-woo ini, dia berusaha naik cepat ke posisi eksekutif Guild supaya bisa membuat hidupku sedikit lebih nyaman sebagai balas budi.
Karena aku tahu niatnya itu, aku jadi tidak bisa mengusirnya dengan kasar.
"Udah lupain aja kenapa sih. Waktu itu aku nggak berniat nyelamatin kamu kok."
Gate tipe Trik.
Waktu Kang Tae-woo masih SMA, dia dan anggota Guild-nya mencoba menaklukkan Gate tipe Trik dan gagal.
Di saat-saat terakhir sebelum dia mati di tangan Bos di ruang Bos, seseorang ikut campur dan menyelamatkan nyawanya.
Kisah keberuntungan yang sering terdengar di dunia Hunter.
Waktu itu sekitar setahun setelah aku kembali ke rumah.
Ada Gate muncul di dekat lingkungan tempat tinggalku.
Karena waktu itu aku masih di bawah umur, meski Kelas S, Asosiasi tidak punya wewenang memaksaku tugas.
Sebagai gantinya, Asosiasi melelang hak penaklukan Gate itu, dan yang menang adalah Guild tempat Kang Tae-woo bernaung saat itu.
Tentu saja hasilnya seperti yang kalian duga, penaklukannya gagal total.
Gara-gara itu, Gate hampir meledak (Gate Break).
Karena tidak tahan melihat kehancuran di depan mata, aku turun tangan sendiri dan berhasil mencegah Gate terbuka. Menyelamatkan Kang Tae-woo itu sebenarnya bukan niat utamaku.
Itu cuma kebetulan yang terjadi dalam proses mencegah Gate terbuka.
"Gimana bisa lupa? Aku masih hidup sekarang tuh gara-gara kamu."
"Iya deh. Gara-gara maskerku lepas waktu itu, sekarang kamu jadi bikin hidupku super ribet."
"Hunter tidak boleh berhutang budi, nggak tahu?"
"Nggak tahu, jadi tolong pergi sana."
Saat itulah.
Waktu kuliah sepertinya sudah mulai. Pintu depan terbuka dan dosen masuk, "Baik, silakan duduk semuanya."
Kang Tae-woo yang sedari tadi duduk menghadap belakang berkata dengan santai, "Oke, habis kuliah ini aku pergi kok," lalu memutar badannya menghadap depan.
Rasanya energiku terkuras habis cuma gara-gara ngobrol sama dia. "Haaah," aku menghela napas panjang.
'Kalau nggak rese, sebenarnya dia anak baik sih.'
Sambil menopang dagu dengan satu tangan di meja.
Aku menatap punggung anak itu sejenak sambil berpikir.
Toh di dunia Hunter, diselamatkan rekan itu hal yang lumayan umum, kan?
Cuma kasus waktu itu saja yang agak dramatis.
"Hwang Eun-ha."
"Hadir."
"Oh, mahasiswi Hwang Eun-ha juga ada ya. Saya sempat khawatir karena nggak kelihatan sejak pertemuan kedua...."
"Maaf, Pak. Kemarin-kemarin agak sibuk....."
"Yah, karena kamu masih mahasiswa, saya harap ke depannya rajin masuk ya. Selanjutnya, Hwang Jin-yi...."
