LightReader

Chapter 4 - Chapter 4- Pilih yang kamu inginkan.

Di kota Vilvath Barat, tepat di depan sebuah toko koran.

Kael berdiri menunggu, sesekali menengok ke arah pintu toko yang belum juga terbuka. Hampir lima menit berlalu, hingga akhirnya pintu berderit terbuka dan seorang Gadis muncul—anggun dalam balutan long sleeve dress sederhana. Meski tak mewah, penampilannya memancarkan kelembutan yang mencolok.

Azen menoleh ke arah Kael dan berkata, “Ayo pergi sebelum waktunya terlambat.”

Kael mengangguk cepat, gugup. “A-h… Iya, ayo…”

Mereka berjalan berdampingan, menyusuri jalan kota menuju kamp pelatihan militer angkatan darat. Kamp itu terletak tak jauh dari perbatasan kota Vilvath Barat.

Di tengah perjalanan, Kael melirik ke arah Azen yang tampak santai. Ia terlihat ceria, sesekali melirik bangunan-bangunan tinggi di sekeliling mereka.

Kemudian Kael memberanikan diri membuka pembicaraan. “Azen… kenapa kamu ingin menjadi militer?” tanyanya dengan suara sedikit gugup.

Azen menoleh, senyum di wajahnya perlahan memudar. “…Aku benci Sinner,” ucapnya pelan.

Alis Kael terangkat. “Kenapa?..”

Azen memaksakan senyum. “Orang tuaku dibunuh oleh seseorang Sinner… aku tidak tahu dia siapa… dan kenapa alasan dia membunuh keluargaku. Aku melihatnya di depan mataku sendiri…” jelas Azen, wajahnya murung seakan terpaksa mengingat kejadian yang ingin ia lupakan.

Kael terkejut, merasa bersalah. “M-maaf… aku tidak bermaksud untuk—”

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Azen meletakkan jari telunjuknya di bibir Kael. Ia tersenyum dan menggeleng pelan.

“Tidak apa-apa. Aku juga sudah terbiasa… terlebih aku senang karena kamu orang yang peduli kepadaku…” Senyumnya lembut, tulus… atau setidaknya terlihat demikian.

Wajah Kael memerah. Ia menggaruk pipinya yang tak gatal dan mengalihkan pandangan. “B-begitu ya… Hahaha…” Ia tertawa canggung.

Sementara itu, di jalan perbatasan antara pasar kota Vilvath Barat dan kawasan kelas bawah Underground.

Licht berjalan di belakang Lisshie, yang tampak kesal dan sengaja mempercepat langkahnya. Ekspresi wajahnya masam, jelas sedang menahan sesuatu.

Licht berlari kecil untuk menyusul. “Ada apa denganmu, Lisshie?” tanyanya, bingung melihat gadis itu.

“Jika kamu menyukainya bilang saja kepada dia… Walaupun dia laki-laki, dia sangat cantik!” cibir Lisshie, mengingat wajah Vedzell yang lebih feminim dari rata-rata pria.

Mata Licht membelalak. “Haa?... A-apa yang kamu katakan, Lisshie?” Ia menyentuh keningnya, bingung. “Aku tidak gila!” protesnya.

Lisshie melirik tubuhnya kemudian kearah licht dengan sinis. “Hmmph… Baiklah…” dengusnya sebelum menghela napas.

Mereka berjalan berdampingan memasuki wilayah Underground, tempat tinggal mereka. Gang sempit dipenuhi aktivitas orang-orang yang berlalu lalang, sebagian besar mencoba bertahan hidup di tengah kerasnya dunia bawah kota ini.

Namun langkah mereka terhenti saat mendapati rumah tua yang kumuh. Di depannya berdiri delapan orang dari pihak gereja—pendeta dan uskup. Suara jeritan nyaring seorang wanita terdengar dari dalam rumah, menghentikan aktivitas warga sekitar.

“Kerasukan?..” ucap Licht pelan.

Saat itu juga, tangan Lisshie menyentuh tangannya dan menggenggam erat. Tangannya sedikit bergetar.

Kerasukan… atau kehilangan kendali, adalah tragedi yang kerap menimpa penghuni kelas bawah. Insiden ini sering kali terjadi di wilayah kumuh seperti Underground, tempat yang menjadi ladang empuk bagi entitas dari dunia lain.

Dalam dunia ini, kerasukan terbagi menjadi tiga tingkatan. Jika seseorang dirasuki oleh roh jahat, tingkat bahayanya masih bisa dikendalikan, meski tetap menakutkan. Namun jika yang merasuki adalah Setan, maka bahaya meningkat drastis—bisa menyebabkan kematian inang dan orang-orang di sekitarnya.

Dan tingkat terakhir… adalah kerasukan Manifestasi Iblis. Kerasukan jenis ini sangat langka dan jauh lebih mengerikan. Sebuah wilayah bisa hancur hanya karena satu kejadian seperti ini, membawa kehancuran dan kematian massal.

Iblis sejati sejatinya tidak bisa turun ke dunia secara penuh. Mereka hanya bisa memanifestasikan sebagian eksistensinya di dunia manusia. Mereka berasal dari Netherveil—dunia roh kelam tempat asal roh jahat, setan, dan iblis.

Tempat seperti Underground… adalah celah sempurna bagi mereka.

“Ayo…” ajak Licht pada Lisshie yang masih menggenggam tangannya, sedikit bergetar.

Lisshie hanya mengangguk. Licht melangkah lebih dulu, menuntunnya melewati keramaian jalan Underground yang selalu dipenuhi hiruk-pikuk. Jemarinya tetap erat menggenggam jari-jari Lisshie, seolah memberi kekuatan pada gadis itu—atau mungkin pada dirinya sendiri.

Beberapa menit berjalan, langkah mereka terhenti saat mendekati panti asuhan. Di halaman depan, Licht memicingkan mata. Seseorang terbaring di tanah.

“Minea!?”

Gadis itu tergeletak tak sadarkan diri. Di sisinya, Ruvein berjongkok panik, berusaha mengangkatnya namun kesulitan.

Licht segera berlari, Lisshie tepat di belakangnya.

“Kenapa Minea ada di luar?!” serunya, nada suaranya tegas namun sarat kekhawatiran.

Ruvein menoleh cepat. “Licht, Lisshie… Minea tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya saat aku sedang menyiram tanaman…” jelasnya tergesa, ekspresi bingung dan cemas menghiasi wajahnya.

Tanpa banyak bicara, Licht segera mengangkat tubuh Minea. Ia menggendongnya—gadis itu begitu ringan, terlalu ringan. Tubuhnya terasa panas seperti bara yang menyala dalam diam.

Mereka masuk ke dalam bangunan panti asuhan yang sederhana. Nafas Minea terdengar terengah-engah, seperti tercekik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Licht menunduk, matanya tertuju pada perut gadis itu—sedikit membuncit. Tak wajar. Dan lebih dari itu, tubuhnya menyimpan panas yang membuat bulu kuduk berdiri.

Perasaan tidak nyaman menjalar di benaknya.

Ia menendang pelan pintu kamar tidur wanita dan membaringkan Minea dengan hati-hati di atas ranjang tua yang berderit pelan.

“Lisshie, ambilkan air…” perintahnya singkat.

Lisshie mengangguk dan segera bergegas ke dapur tanpa sepatah kata.

Ruvein mendekat, matanya berkaca-kaca. “Apa Minea… baik-baik saja?”

Licht tersenyum tipis, memaksa. “Dia baik-baik saja…” katanya, lalu menambahkan dalam hati, "...Mungkin juga tidak."

Beberapa saat kemudian, Lisshie kembali membawa segelas air. Dengan lembut, ia membantu Minea meminumnya. Sebagian tumpah, sebagian berhasil masuk ke tenggorokan.

Licht berdiri perlahan dari tepi ranjang. “Aku pergi ke kamar mandi sebentar,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Ia melangkah keluar dari kamar, melewati ruang aktivitas yang lengang. Jam dinding tua menggantung di dinding, jarumnya menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Tapi bagi Licht, waktu terasa tak bergerak. Langkah kakinya berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menariknya ke tanah.

Sesampainya di kamar mandi, ia menatap bayangannya di cermin. Wajah itu… wajah yang terlalu biasa. Rambut hitam acak-acakan, mata coklat dengan kantung mata yang menebal. Terlihat lelah, kosong.

“Minea… hamil?” gumamnya pelan.

Suaranya berat, nyaris tak terdengar. Setiap kata seolah menggores dinding dadanya.

“Siapa… yang melakukannya…?” tanyanya pada bayangannya sendiri.

Kemarahan mendidih di dalam dirinya. Semakin ia memikirkannya, semakin kuat rasa ingin menghancurkan sesuatu. Rahangnya mengencang, matanya menatap kosong cermin yang dingin.

Tangannya menutup mulut, menahan jeritan amarah yang ingin meledak.

“Dia baru berusia lima belas tahun!!” desisnya. Urat-urat di lehernya menonjol, tinjunya mengepal begitu kuat hingga kulitnya robek dan berdarah.

Setetes darah menetes ke lantai. Ia menatapnya—merah menyala di atas keramik pudar. Nafasnya berat. Ia mencoba mengatur emosi, menghela napas panjang.

Lalu kembali menatap wajahnya di cermin.

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Tidak di sini. Tidak sekarang.

...

Beberapa saat kemudian licht telah kembali dari kamar mandi, melihat adiknya kael telah pulang dari pelatihan militernya berdiri di depan pintu kamar mandi lalu menyapa licht, sesaat kemudian masuk kedalam kamar mandi.

Licht menuju ruangan tempat ibu marie karena ia telah di beritahu oleh kael jika ibu mereka telah pulang, licht memutuskan untuk pergi nememuinya.

Di dalam salah satu ruangan yang sempit namun hangat, cahaya lilin yang menyala di atas meja tua terus bergetar, sesekali meredup seolah mengikuti detak kegelisahan mereka yang ada di ruangan itu.

Licht berdiri di dekat lemari kayu usang, diam mematung. Ruangan ini adalah kamar Ibu Marie—pengasuh sekaligus pelindung anak-anak panti. Wanita yang umurnya kisaran tiga puluh tahun lebih itu sedang merapikan buku-buku tua, dengan rambut panjangnya terurai jatuh. Ia mengenakan long dress sederhana berwarna lembut, pakaian yang seolah memantulkan ketenangan dan kehangatan yang dulu begitu ia pancarkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti dibalut kabut hitam tak kasat mata.

Keheningan pecah saat pintu berderit pelan, memperkenalkan kehadiran Lisshie. Gadis itu melangkah masuk dengan gaun putih sederhana yang menjuntai sampai mata kaki. Sebuah cardigan biru gelap membungkus tubuhnya, memberikan kontras yang sendu pada cahaya lilin yang lemah.

Tak lama kemudian, Kael menyusul. Nafasnya masih berat—ia baru saja selesai dari kamar mandi. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran, kerutan kecil muncul di dahinya, dan matanya gelisah.

Ibu Marie akhirnya bersuara, suaranya lembut dan dalam. "Apa Minea sudah tertidur?"

Licht dan Lisshie mengangguk tanpa kata. Ibu Marie menarik napas pelan. Ia menatap anak-anak itu satu per satu sebelum duduk di kursi dekat meja.

"Aku rasa... kalian juga menyadarinya," ucapnya lirih. Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi tak mampu menutupi kegundahan yang tampak jelas dari sorot matanya. "Aku akan mengirimkan surat kepada Pendeta Reihim… meminta agar Misty Flores menangani ini."

Misty Flores. Sebuah nama yang membawa berat di setiap suku katanya. Mereka adalah kelompok Lioren dari Gereja Goddess of Mist—Lioren resmi yang menangani kasus mistis, terutama yang berkaitan dengan Sinner atau manifestasi roh dari dunia bawah, Netherveil. Setiap cabang kepercayaan memiliki kelompok seperti ini, menyesuaikan dengan iman para korban. Namun ketika Misty Flores turun tangan, biasanya hanya ada dua kemungkinan: penyelamatan… atau penghukuman.

"T-tunggu, Bu!" Licht berseru. Wajahnya menegang, suara lirihnya menggantung di udara. "Itu tidak bagus… Jika Misty Flores menanggapi permintaan itu, maka Minea juga…"

Ia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kata-katanya tersangkut di tenggorokan, ditelan oleh rasa takut yang bahkan tak bisa ia beri nama.

"Minea adalah anak baik… pendiam. Bagaimana bisa dia diperlakukan seperti ini?" Kael akhirnya membuka suara, nada bicaranya kasar dan penuh emosi setelah mengetahui keadaan adik perempuannya. "Dan… aku merasa bayi yang dikandung Minea…" Ia terhenti sejenak, mengepalkan tinjunya erat. "Itu bukan bayi biasa. Auranya… sangat tidak nyaman."

Licht menoleh tajam. "Tidak! Itu bukan seperti yang kau bayangkan, Kael!"

Namun hatinya sendiri mengkhianatinya. Ia pun merasakannya. Aura yang membekukan udara, yang membuat bulu kuduk meremang saat mendekat ke kamar Minea. Tapi Licht menolak untuk mengakuinya.

Kael tidak tinggal diam. "Apa maksudmu, Licht? Kau tahu kita semua bisa merasakannya! Rasa tak nyaman itu… saat dekat dengan Minea!" Nada bicaranya meninggi, menggaung di ruangan kecil itu.

Licht memejamkan mata. Ia tahu Kael benar, tapi ia tak ingin menyerah pada rasa takut.

"Ibu juga bisa merasakannya," ucap Ibu Marie, suaranya pelan namun tegas. "Namun kita berdoa… semoga semua itu tidak benar."

Kael menggeleng, matanya menahan amarah. "Itu semua benar, Bu. Jika benar Minea mengandung bayi… bayi yang disebut setan atau bahkan iblis, maka bukan hanya kita yang terancam. Panti ini pun akan menjadi tempat kehancuran!"

"Spekulasi," sahut Licht, suaranya tajam namun rapuh. "Dan jika yang kau katakan benar… Maka Misty Flores akan membunuhnya. Minea… akan dibunuh jika mereka menganggap ia mengandung bayi iblis."

Ia menunduk. "Kita hanya bisa berharap… semoga itu semua ilusi. Semoga keadaan Minea membaik."

"Licht, aku juga berharap seperti itu. Tapi jika kita menunggu, membiarkan segalanya terjadi, dan ternyata benar… maka akan ada kematian massal yang mengerikan!" Kael menegaskan, menggertakkan giginya. Keteguhan hatinya terlihat jelas.

Namun suara lembut menghentikan perdebatan. "Cukup… Tidak perlu berdebat," ujar Lisshie, lirih namun tegas.

"Dia benar." Ibu Marie berdiri dari kursinya, sorot matanya tajam namun lelah. "Kita tak boleh saling menyalahkan. Tidak sekarang."

Hening menggantung sejenak sebelum Kael berjalan keluar ruangan, wajahnya murung. Licht mengikutinya dengan langkah cepat, diikuti oleh Lisshie yang masih menggenggam cardigan-nya erat.

Di ruang depan panti, Kael berjalan menuju pintu utama. Namun tangan Licht menahan bahunya.

"Kael, kau mau ke mana?" tanyanya, ekspresi wajahnya tegas.

"Aku pergi… mencari angin," jawab Kael tanpa menoleh.

"Jangan terlalu malam!" perintah Licht, matanya melirik jam dinding yang menunjuk pukul sepuluh malam.

Kael tak berkata apa-apa lagi. Ia membuka pintu dan melangkah keluar, membiarkan angin malam menyambut tubuhnya.

"Licht…" Suara pelan Lisshie memanggil dari belakang. Licht menoleh, menatapnya dengan lembut.

"Ada apa?" tanyanya, mencoba tersenyum.

"Kita semua… baik-baik saja, kan?" Wajah Lisshie dipenuhi kekhawatiran, matanya memohon jawaban yang bisa menenangkan hatinya.

Licht mengangguk pelan, lalu mengelus rambut gadis itu. Namun hatinya sendiri tidak pernah setenang senyum yang ia tampilkan.

...

Langkah-langkah Kael bergema di jalanan berbatu, menapaki batas antara wilayah underground dan kota Vilvath Barat yang gemerlap. Kota itu tak begitu jauh dari Underground—cukup dekat untuk dikejar oleh kaki yang penuh beban, namun cukup jauh untuk merasa seolah melarikan diri.

Pikiran Kael berputar tak karuan. Kepalanya dipenuhi bayangan wajah-wajah di panti asuhan—keluarga yang bukan darah daging, namun lebih nyata dari segalanya. Ia tak tahu apakah ia sedang mencari jawaban, atau sekadar udara untuk bernapas.

Langkahnya membawanya melewati gerbang besi Vilvath Barat. Kota itu masih terjaga, malam hari belum cukup kuat untuk memadamkan denyutnya. Pedagang malam masih berteriak menawarkan dagangan, anak-anak tertawa di dekat air mancur, dan di kejauhan, lampu-lampu lentera bercampur cahaya neon menyala terang.

Pandangan Kael terpaku pada sebuah poster raksasa yang terpampang di dinding gedung tinggi di pusat kota. Sosok pria paruh baya dengan sorot mata tajam dan rahang kuat menatap dari balik seragam putih bersih. Jubah panjangnya dihiasi lambang Lioren—mata bersayap yang menyimbolkan keadilan ilahi.

“Grand General: Marshal D’Holger.” Kael membacanya dalam hati.

Sosok yang disebut-sebut sebagai tangan kanan gereja dan pemegang kekuasaan militer tertinggi dalam tatanan dunia. Simbol dari ketertiban. Atau mungkin... ancaman tersembunyi bagi mereka yang dianggap 'tidak sesuai'.

Kael mengalihkan pandangannya. Ia berbelok menuju taman Nerhal, tempat kecil di tengah kota yang masih menyimpan sunyi meski dunia di sekitarnya terus bergerak. Ia duduk di bangku besi tua, mencondongkan tubuh, menopang kepalanya dengan siku, menatap kosong ke rerumputan malam.

“Hee?...Kael?”

Suara itu lembut, nyaris seperti melodi.

Kael menoleh, matanya bertemu dengan sorot teduh seorang gadis. Rambutnya bergoyang lembut tertiup angin. Azen. Mantel tipis menutupi tubuhnya, memberi kesan tenang yang justru membuat Kael makin menyadari betapa ia sedang tenggelam.

“A-ah... Azen. Selamat malam,” sapanya, mencoba menyembunyikan kegundahan di balik senyum canggung.

“Selamat malam.” Azen tersenyum, lalu duduk di sampingnya setelah meminta izin. “Boleh aku duduk?”

Kael mengangguk. “Silakan.”

Diam sejenak. Azen menatap Kael dengan pandangan lembut, namun penuh rasa ingin tahu.

“Ada apa denganmu, Kael? Kau terlihat... tidak seperti biasanya.”

Kael tertawa pelan, namun hampa. “Hah... hah... tidak. Bukan apa-apa.”

Namun Azen tidak percaya. Ia meraih tangan Kael, menggenggam jari-jarinya erat.

“Jangan menyembunyikan sesuatu... Aku bisa tahu. Tapi kalau memang belum bisa kau ceritakan, aku bisa menghiburmu.”

Kael nyaris tergagap saat tangan gadis itu memeluk lengannya. Pipinya memerah, namun hatinya sedikit terasa ringan.

Ia menghela napas.

“Salah satu adikku... Minea... dia sedang mengandung bayi.”

Kata-kata itu jatuh pelan, nyaris seperti kutukan.

Ekspresi Azen langsung berubah. “Apa? Siapa yang melakukannya?!”

Kael sudah menceritakan tentang dirinya yang tinggal di panti asuhan dan keluarga panti asuhannya kepada azen sebelumnya.

Kael menggeleng. “Kami tidak tahu. Dia baru lima belas tahun. Kami... kami lalai. Kami tidak memperhatikannya.”

Azen mendekat, mengelus lembut kepala Kael, memberi kehangatan yang tak bisa dijelaskan.

“Yang lebih menyakitkan lagi... bayi yang dikandungnya bukanlah bayi manusia.”

Keheningan menyelimuti taman. Lampu taman berkedip pelan. Suara angin terdengar lebih keras dari biasanya.

“A-apa maksudmu?” tanya Azen, suaranya pelan, bingung.

“Tubuhnya... ada sesuatu di dalamnya. Kami pikir—tidak, kakakku, Licht, yakin itu bukan kehamilan biasa. Ia percaya Minea hanya kerasukan. Tapi... tanda-tandanya...” Kael menunduk, air matanya mulai menetes. “Itu lebih mirip iblis daripada roh.”

Azen membeku. Wajahnya menunjukkan keterkejutan, lalu kegelisahan.

“Lalu... bagaimana keadaannya sekarang?”

“Dia masih bertahan. Ibu Marie ingin melapor ke Misty Flores. Tapi Licht menolak.”

Azen menarik napas tajam.

“Itu melanggar hukum...” ucapnya perlahan, mengelus rambut Kael yang kusut.

Dalam dunia ini, siapa pun yang menunda pelaporan kasus kerasukan kelas tinggi kepada Lioren—baik dari pihak gereja maupun militer—bisa dihukum berat. Hukumannya bukan main: puluhan tahun penjara, bahkan hukuman mati. Sistem dunia tidak pernah lunak pada kekacauan.

Namun Licht percaya. Ia percaya bahwa ini bukan ulah iblis. Ia percaya Minea hanyalah korban dari ketidakstabilan mental—dan bahwa masih ada jalan untuk menyelamatkannya.

Azen tiba-tiba memeluk Kael, erat.

“Kamu pasti bingung... Tapi lakukanlah apa yang hatimu katakan. Jika benar bayi itu bukan manusia... maka banyak orang bisa mati. Dan jika kau bisa mencegahnya... hidupmu akan berubah selamanya dan aku akan mendukungmu!”

Suaranya nyaris seperti bisikan, menembus ke benak Kael lebih dalam daripada teriakan.

Kael tak menjawab. Ia hanya terdiam di pelukan Azen, tubuhnya tak bergerak, pikirannya berkecamuk. Di kejauhan, suara kereta melewati rel tua di belakang taman Nerhal—suara besi yang menandai bahwa waktu terus berjalan, dan pilihan tak bisa ditunda selamanya.

More Chapters