LightReader

Chapter 14 - Chapter 14

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya.

Aino tidak menyadarinya. Dalam sekejap, seolah otot-otot tubuhnya mengeras. Tubuhnya kaku, dan ia terjatuh ke meja bartender. Kilasan ingatan muncul dalam benaknya — tangan seorang pria yang mencengkeram pergelangan tangannya, lalu bayangan dirinya yang terkapar di pesisir pantai dengan dress kotor yang menempel pada tubuh basahnya.

Brakk.

"Ada apa denganmu, nona?" tanya seorang pria berambut keriting yang duduk di sebelahnya. Mabuk, namun masih cukup sadar untuk berdiri dari kursinya dan menolong Aino.

Aino terengah, nafasnya berat. Pandangan matanya buram, tapi perlahan kembali jernih. Beberapa orang di sekitar meja bar meliriknya heran, tapi tak ada yang ikut campur lebih jauh. Situasi kembali seperti semula.

"Apa kau baik-baik saja, Miss?" tanya bartender wanita berambut merah muda, ekspresinya terlihat sedikit khawatir.

Aino mengusap pelipisnya yang nyeri akibat benturan. Ia mencoba tersenyum, meski lemah, dan menggeleng pelan. "Tidak... bukan apa-apa," katanya, menyembunyikan gejolak dalam dadanya.

"T-Tuan Maevi... apa yang Anda lakukan?" tanya pria mabuk itu pelan.

Maevi, pria yang menepuk pundak Aino, hanya melirik singkat. "Kenapa? Aku hanya ingin duduk di kursiku," jawabnya datar.

Pria itu hanya mengangguk, menggaruk pipi dengan canggung. Ada rasa segan yang kentara.

Aino menoleh ke belakang, memperhatikan pria bernama Maevi itu. Ia berwajah tajam, dengan hidung mancung dan rambut hitam disisir rapi ke belakang. Tubuhnya tinggi dan tegap, mengenakan setelan jas formal. Di pergelangan tangannya, tergantung sehelai kain biru mencolok.

"Kain biru?" pikir Aino. Ia sedikit bingung. "I-ini kursi Anda?" tanyanya.

Maevi mengangguk datar. "Kursi tempat dudukku sebelumnya. Aku hanya keluar sebentar."

"Apa-apaan pria ini... aneh!" gerutu Aino dalam hati. Meski begitu, nalurinya berkata bahwa pria di depannya ini bukan orang sembarangan. Ia bangkit dari kursi dan duduk di sebelahnya. "Ahh, begitu... maaf," ucapnya sopan.

Maevi tak menjawab. Ia hanya duduk di kursi Aino sebelumnya dan menatap bartender. "Lina, satu gelas gin."

Bartender wanita itu, Lina, menghela napas pelan. Sorot matanya menyiratkan ketidaksukaan yang berhasil ia sembunyikan. Ia menyerahkan segelas jus kepada Aino.

"Ini," katanya sambil menyodorkan segelas jus jeruk dengan hiasan potongan jeruk di bibir gelas. "Apa kamu menunggu seseorang, Miss?" tanyanya sembari tersenyum.

Aino mengangguk, sedikit gugup. "Terima kasih. Y-ya... aku sedang menunggu temanku," jawabnya berbohong.

"Rod, pergilah. Acara akan segera dimulai dua jam lagi," perintah Maevi tiba-tiba pada pria keriting tadi.

Rod langsung berdiri, menyimak perintah itu. "Acara?" pikir Aino. Ia melirik sekeliling. "Tak ada yang terlihat seperti acara besar kecuali panggung musik dan wanita-wanita penari. Tapi... ucapannya tadi... perbudakan?"

Aino terdiam. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan.

---

Distrik Haumea, Bar Aphrodite's Den

Mobil mewah milik Viscount Paul berhenti dengan mulus di area parkir Aphrodite's Den. Theodore, yang mengemudi, membuka pintu untuk tuan sementaranya.

Dari dalam mobil, Licht menatap papan nama bar itu. "Apa yang Viscount Paul lakukan di tempat seperti ini?" pikirnya.

Begitu keluar dari kendaraan, ia segera mengikuti Paul bersama dua rekannya: Theodore dan Ren. Ren membawa kotak biolanya seperti biasa.

"Ini tempatnya?" tanya Licht kepada Paul.

"Kurasa itu benar. Rone, temanku, memberitahu lokasinya," jawab Paul, lalu berjalan menuju pintu masuk. "Ayo."

Theodore mendahului mereka dan membukakan pintu bar. "Silakan," katanya sopan.

"Dia sangat profesional..." pikir Licht.

Begitu masuk, aroma alkohol langsung menyergap. Suara musik live dari panggung bercampur dengan suara riuh para pengunjung. Penari-penari wanita meliuk di atas panggung, diiringi gitar dan piano.

"Musik mereka buruk," komentar Ren pelan, melirik para pemain musik.

Mereka bertiga menyusul Paul menuju meja bartender.

Dari kejauhan, Aino memperhatikan mereka. "Siapa mereka?" pikirnya curiga.

Paul duduk dan menatap bartender wanita, Lina. Ia tersenyum dan berkata, "Aku boleh pesan mojito?"

Lina membalas senyuman itu. "Tentu."

"Pesanlah minuman yang kalian mau," ucap Paul pada Licht dan dua pengawalnya.

Ketiganya duduk, Licht paling canggung. "Sial... pertama kalinya aku masuk tempat seperti ini. Apa yang harus kulakukan?"

Aino melirik Licht yang duduk tidak jauh darinya. "Apa pria itu pengawal si paman mencolok itu?" pikirnya, memperhatikan Paul, lalu Ren yang membawa biola. "Apa dia musisi?" Tatapannya kemudian pindah ke Theodore. _"Yah, dia kelihatan seperti pelayan biasa..."

Namun Licht menangkap tatapannya dan melirik balik. "Kenapa wanita itu dari tadi melihat ke sini? Apa ada yang salah denganku?"

Aino yang sedang meneguk jusnya langsung terbatuk ketika mata mereka bertemu. Ia buru-buru memalingkan wajah.

Di sebelah kanan Aino, Maevi tampak masih menikmati minumannya. Ia menoleh sekilas ke arah Aino, lalu mengalihkan pandangannya ke Paul. Tanpa basa-basi, ia berdiri dan berjalan mendekat.

"Permisi. Apa Anda Tuan Paul?" tanyanya, memberi hormat.

Paul menoleh. "Tentu. Siapa kau?"

"Saya Daniel Maevi, utusan dari Tuan Rone," jawabnya tenang.

"Utusan?" Licht dan Aino berpikir bersamaan, menganalisis informasi itu.

Paul mengeluarkan tiket hitam dengan corak emas dari saku kemejanya. "Ini..."

Maevi menerimanya. "Izinkan saya memeriksanya."

Setelah memastikan keasliannya, Maevi mengangguk. "Terima kasih telah datang, Tuan Paul. Acara akan dimulai sebentar lagi. Mohon menunggu."

"Baiklah," jawab Paul santai.

Maevi pun pergi ke ruangan di balik meja bartender.

Licht melirik Paul, masih penasaran. "Tuan Paul, urusan penting apa yang Anda maksud tadi?"

Paul menoleh dan mendekat, lalu berbisik, "Acara ini sangat penting... pelelangan budak ilegal. Kualitasnya sangat bagus, katanya."

Ia tertawa pelan sambil meneguk minumannya yang telah diberikan oleh Lina.

Licht membeku. "Budak? Ilegal? Jadi itu maksudnya..." Ia menahan amarah yang membuncah, memaksakan tawa agar tidak mencolok.

Dari kursi lain, Theodore dan Ren melirik Licht, bingung.

"Ada apa dengan Lyrss?" pikir Ren. "Dia tertawa... tapi kenapa terlihat seperti sedang menahan sesuatu?"

Dua jam kemudian, tepat pukul tiga pagi di Bar Aphrodite's Den.

Maevi keluar dari pintu lalu berjalan mendekat ke arah Paul yang sudah setengah mabuk di kursinya. Pria itu sedikit membungkuk, lalu berbisik dengan nada tenang, "Acaranya akan dimulai, Tuan Paul."

Licht mengamati dari samping, matanya tajam menelisik. "Pria ini bukan orang biasa... Apa dia seorang Sinner?" gumamnya dalam hati.

"Ayo," ajak Paul sambil berdiri.

Licht segera mengikuti, di belakangnya menyusul Theodore dan Ren. Wajah Ren tampak tidak nyaman, langkahnya berat disertai dengusan kesal.

Maevi membimbing mereka ke arah ruangan di dekat bartender bernama Lina. Saat pintu terbuka, yang terlihat hanyalah lorong panjang yang sederhana, namun atmosfernya terasa ganjil. Lampu-lampu berwarna ungu terpajang di sepanjang dinding lorong, menciptakan suasana remang-remang misterius.

Setelah berjalan beberapa meter, mereka tiba di hadapan sebuah pintu biasa.

Maevi membukanya, menampakkan sebuah ruangan kosong. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah karpet bundar yang tampak mencolok.

"Silakan ke sini," ujar Maevi datar tanpa ekspresi.

Licht, Paul, Ren, dan Theodore mengikuti instruksi. Begitu mereka berdiri di atas karpet, Maevi menekan bagian tertentu dari lantai dengan kakinya.

Crack.

Sebuah bunyi mekanis terdengar. Karpet itu perlahan turun, ternyata merupakan sebuah lift rahasia yang tersembunyi.

"L-lantai ini turun?" pikir Licht, sedikit terkejut.

Paul tampak kagum. "Mengagumkan. Tak kusangka di bar seperti ini ada lift tersembunyi."

"Terima kasih. Ini adalah jalur masuk keempat, khusus tamu VIP," jelas Maevi.

Lift berhenti. Mereka tiba di lantai bawah, disambut ruangan dengan interior minimalis. Di sana tergantung beberapa topeng putih polos di rak kayu.

"Sebelum masuk ke aula utama, kalian harus memakai topeng," ujar Maevi santai.

Paul mengambil satu, lalu Licht, Ren, dan Theodore ikut memilih topeng serupa. Licht memilih topeng polos putih tanpa motif.

Maevi sendiri mengambil topeng miliknya dari dalam jas, lalu memakainya.

Setelah semuanya siap, mereka dibawa keluar ruangan. Di depan pintu, seorang penjaga bertopeng berdiri menjaga. Ia memberi hormat pada Maevi.

"Jaga keamanannya," ucap Maevi. Penjaga itu hanya mengangguk.

Licht mengamati dengan saksama. "Dia... seorang Sinner. Dan cukup kuat. Aku tak bisa bertindak gegabah."

Mereka berjalan memasuki aula luas. Kursi-kursi tersusun rapi menghadap sebuah panggung besar yang masih tertutup tirai merah tebal. Beberapa tamu bertopeng lainnya sudah duduk, suasana terasa tegang namun formal.

Pandangan Licht melayang ke arah atas—ada beberapa penjaga bertopeng berjaga di balkon atas, dan beberapa lainnya menjaga pintu-pintu di lantai bawah.

Keempatnya duduk.

"Apa acaranya itu konser musik?" bisik Ren ke Theodore, pelan.

Theodore tersenyum di balik topengnya. "Sepertinya begitu."

"Mereka belum tahu," pikir Licht. "Ren dan Theodore tidak tahu acara yang sebenarnya. Aku tak bisa membocorkannya sekarang."

---

Sementara itu, di lantai atas bar, Aino duduk termenung. "Apa yang harus kulakukan..." keluhnya lirih. Napasnya berat, kepalanya penuh dengan kecemasan.

Pandangan matanya terpaku pada seorang pria kurus berambut hitam acak-acakan yang keluar dari bar dengan langkah sempoyongan. Di leher pria itu tergantung kain biru.

"Kain biru...?" gumamnya. Sebuah ide muncul. "Benar... aku harus menyamar!"

Ia membayar minumannya lalu segera mengikuti pria itu.

Pria itu menggerutu, mabuk berat. "Dasar Daniel sialan... akan kubuat dia menyesal..."

Ia berjalan ke sisi bar yang sepi, lalu memuntahkan bir. Aino mendekat perlahan, tanpa suara. Saat tepat berada di belakang pria itu, ia mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi.

"Hee...?" Pria itu menoleh, pandangannya kabur.

Brakk!

Tendangan Aino menghantam kepala pria itu keras. Tubuhnya terhempas ke tanah, aspal di bawahnya sampai retak.

"Ups... terlalu kuat," gumam Aino, menutup mulutnya. Niatnya awalnya hanya ingin mendapatkan informasi. Namun saat melihat kain biru di leher pria itu—identik dengan yang dikenakan Maevi—niat itu ia urungkan.

Aino mencopot kain biru itu dan menggeledah tubuh pria pingsan tersebut. Ia menemukan sebuah topeng putih polos.

Dengan puas, Aino menyeret tubuh pria itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah besar di belakang bar.

"Fiuh... beres." Ia menepuk-nepuk sarung tangannya, lalu mengikat kain biru di lehernya. Namun, langkah kaki mendekat.

Segera Aino bersembunyi di balik tong sampah, menahan napas.

"Tuan Tom?" panggil seorang pria pendek berambut hijau. Ia menoleh ke rekannya. "Kemana dia pergi?"

"Aku tidak tahu. Mungkin dia mabuk berat," jawab rekannya santai. Keduanya mengenakan kain merah.

"Kalau begitu, cari saja sendiri. Aku jaga pintu kedua," ucap si rekan, lalu pergi.

"Pintu kedua?" Aino mencatat dalam pikirannya. Begitu keduanya menghilang, ia mengikuti rekan pria berambut hijau itu dari kejauhan.

Pria itu berjalan ke belakang bar dan menarik sebuah tong sampah besar. Di baliknya tersembunyi sebuah pintu. Ia bersandar dan menyalakan rokoknya.

"Bingo," Aino tersenyum licik.

Ia mengendap mendekat. Pria itu mencoba menyalakan koreknya.

Cklik, cklik. Tidak menyala.

"Cih..."

Sret.

Jari Aino memercikkan api kecil. Ia muncul di samping pria itu.

"Ini," ucapnya tenang, tersenyum.

Pria itu menyalakan rokoknya. "Terima kasih."

Beberapa detik berlalu.

Ia mematung. Rokoknya jatuh. Ia menoleh.

"Hai," sapa Aino sambil mengenakan topeng.

"Si—"

Brak!

Satu tendangan ke rahang, pria itu terhempas ke tanah dan pingsan.

Aino merogoh saku pria itu dan menemukan kunci.

Tanpa ragu, ia membuka pintu tersembunyi dan masuk ke dalam dunia gelap yang tersembunyi di balik Bar Aphrodite’s Den.

More Chapters