LightReader

Chapter 20 - Danau Arxiel: Tempat Kebenaran Terselam

Kabut putih menyelimuti permukaan Danau Arxiel, danau purba yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya para pelihat zaman dahulu. Airnya tenang seperti kaca, namun di dalamnya tersimpan rahasia yang telah lama tenggelam. Di balik ketenangan itu, bisikan halus terdengar bagi mereka yang memiliki ikatan kuat dengan Void atau Cahaya.

Edwin berdiri di tepi danau, Fragmen Takdir kedua menggantung di sabuknya. Aura merah gelap dari kristal itu terus berdenyut pelan, seperti nadi kedua yang berdenyut di luar kehendaknya.

Althea mendekat dengan ragu. "Danau ini tak pernah menampilkan refleksi... kecuali kepada mereka yang siap menerima kebenaran."

"Dan kebenaran yang tidak siap kau terima," tambah Kael, "bisa menarikmu ke dalam untuk selamanya."

Meski begitu, Edwin melangkah maju, mendekat hingga ujung kakinya menyentuh air.

Mirae yang sedang memantau dari belakang berbisik, "Menurut legenda, yang masuk ke dalam danau ini bisa menyaksikan potongan masa lalu... atau masa depan. Tapi tidak semuanya bisa keluar."

Edwin perlahan mengangkat tangannya. Cahaya biru dari Void Sanctum membentuk simbol sihir di permukaan air. Gelombang halus merambat. Tak lama, pusaran muncul di tengah danau, dan sebuah jalan spiral dari cahaya perlahan terbentuk, menurun ke dalam air, seakan danau itu membuka dirinya untuk satu orang.

Tanpa menunggu lagi, Edwin menuruni jalan itu. Begitu tubuhnya melewati permukaan air, ia tak merasa basah, melainkan seperti melangkah ke dimensi lain yang berat dan penuh gema.

Di dalam danau, Edwin tiba di ruang seperti kuil bawah air, dikelilingi oleh patung-patung kuno yang menggambarkan kultivator legenda. Cahaya remang dari atas menembus perlahan, dan di tengah ruangan itu mengambang sebuah kristal besar berbentuk tetesan air.

Kristal Arxiel. Tempat penyimpan memori dunia. Di dalamnya, kebenaran Arkos tersimpan: asal muasal kekuatan, kehancuran lama, dan tujuan sejati dari Fragmen Takdir.

Edwin mendekat. Ketika ia menyentuhnya, dunia sekitarnya hancur berkeping-keping, dan ia terseret ke dalam penglihatan.

Ia melihat masa lalu jauh—zaman sebelum Kekaisaran Aurathar berdiri, sebelum jurus-jurus kultivasi diciptakan. Di masa itu, dunia hanya memiliki dua kekuatan: Void dan Cahaya. Dua kutub yang menjaga keseimbangan.

Namun kemudian muncul entitas ketiga—Primordius, entitas kehendak yang lahir dari keinginan makhluk hidup untuk menguasai kedua kekuatan. Primordius tidak memiliki tubuh, hanya kehendak, dan ia menyusup ke dalam hati para kultivator kuat, menjanjikan kekuasaan dengan imbalan pengorbanan.

Satu per satu, para pelindung keseimbangan jatuh. Dunia diliputi kehancuran. Hingga datang tujuh kultivator suci yang menciptakan Fragmen Takdir—bukan untuk menyegel kekuatan, tetapi untuk membaginya ke dalam tujuh aspek: Keberanian, Pengorbanan, Pengetahuan, Keheningan, Amarah, Kasih, dan Ketakutan.

Namun, seperti semua benda yang berasal dari kehendak, Fragmen itu pun dapat berubah... tergantung siapa yang menguasainya.

Visi berubah.

Edwin melihat dirinya sendiri, berdiri di atas menara tinggi, mata bersinar merah, memegang ketujuh Fragmen. Dunia di bawahnya terbakar. Keseimbangan runtuh. Tidak ada siang dan malam. Tidak ada kehidupan atau kematian. Hanya kehendak satu orang—dirinya.

Kemudian suara berat terdengar, suara yang tidak asing tapi jauh lebih dalam:

 

"Setiap Penjaga membawa benih Kehancuran. Dan setiap Penghancur… pernah menjadi Penjaga."

Edwin jatuh berlutut.

Dalam pikirannya, arwah para kultivator legenda yang pernah ia temui di Void Sanctum muncul kembali. Salah satu dari mereka, seorang wanita tua berjubah putih bernama Seira, berbicara:

"Kau tak bisa menghindari kehendak dunia, tapi kau bisa memilih bagaimana menanggapinya. Arkos bukan hanya dunia, Edwin. Ia adalah cermin jiwa semua makhluknya. Keseimbangan bukan akhir. Ia hanya jalan."

Edwin terbangun dengan terengah di dalam danau. Tapi ia tidak sendiri.

Seseorang berdiri di seberangnya—Lyzael.

Tatapan dingin Lyzael memandangnya. "Kau telah melihatnya, bukan? Dunia tanpa batas, tanpa hukum, tanpa keseimbangan."

Edwin menggenggam Fragmen di sabuknya. "Aku telah melihatnya. Tapi juga melihat harga yang harus dibayar."

Lyzael mengangkat tangannya. "Maka kita sedang berlomba menuju akhir. Siapa yang lebih dulu mengumpulkan semua Fragmen akan menentukan bentuk dunia yang baru."

Dengan itu, Lyzael menghilang seperti bayangan kabut.

Ketika Edwin keluar dari danau, tubuhnya lelah tapi matanya berbeda. Lebih tenang. Lebih berat.

"Kau melihatnya?" tanya Althea.

Edwin mengangguk. "Arkos sedang menunggu. Bukan diselamatkan. Tapi diputuskan nasibnya."

Danau Arxiel kembali tenang. Tapi dunia sudah berubah sejak seorang kultivator masuk dan menyentuh kebenaran yang tersembunyi.

More Chapters