Setelah pertarungan berdarah melawan Diablo palsu, para pahlawan segera kembali ke ibu kota, **Kerajaan Altherion**—pusat peradaban manusia yang megah dan penuh sejarah. Langit mulai mendung saat mereka tiba di gerbang istana, membawa kabar yang akan mengguncang dunia.
Di dalam ruang tahta, **Raja Altherion VI**, lelaki tua dengan jubah emas dan tongkat sihir antik, mendengarkan laporan mereka. Saat mendengar kata "Gunung Mayat" dan "kerajaan yang musnah dalam satu malam," tangannya yang memegang tongkat mulai gemetar. Wajahnya memucat.
"Siapa... yang mampu melakukan semua ini?" gumamnya, suaranya lirih dan tercekat.
Sementara itu, di sudut lain dunia, di tengah hutan yang telah dilahap oleh kehancuran...
**Kagetsu Renjiro** melangkah pelan. Kakinya menyentuh tanah merah yang hangat oleh darah. Matanya kosong, tak ada cahaya kehidupan di sana. Ia seperti mayat hidup, berjalan tanpa arah—mesin pembunuh yang kehilangan tujuannya.
Tiba-tiba...
*GRAAAARRR!!!*
Seekor **beruang iblis**, tubuhnya tertutup sisik hitam dan matanya bersinar merah, melompat dari balik reruntuhan dan menerjang Renjiro. Cakarnya menyapu udara, siap mencabik tubuh Renjiro.
Namun...
*ZRAKK!*
Dalam sekejap, tangan beruang itu terpotong menjadi potongan daging. Benang-benang tak terlihat menari di udara, mengiris tanpa suara.
Beruang itu meraung kesakitan, namun hanya sesaat. Dengan satu kibasan jari, tubuh besar itu terurai—menjadi kabut darah yang membasahi tanah.
Renjiro terus berjalan. Diam. Tenang. Dingin.
Tapi langkahnya terhenti.
Dari balik kegelapan, muncul **aura membunuh** yang jauh lebih kuat dari apapun yang pernah dia rasakan. Suara langkah perlahan terdengar, disusul senyum familiar.
"Lama tak bertemu, Renjiro." Suara itu berat dan licik.
Dari balik bayangan, muncul **Diablo**—yang asli. Sosoknya lebih tinggi, lebih mengerikan dari tiruan yang dibunuh para pahlawan.
"Aku tahu kau bukan orang biasa. Kudengar kau menghancurkan sebuah kerajaan dalam semalam. Dunia ini... terlalu sempit untukmu. Bergabunglah denganku. Bersama pasukan iblis, kita bisa—"
*Srek...*
Diablo terdiam. Matanya melebar. Ia menunduk.
Benang-benang halus melilit tubuhnya, menjerat leher, dada, dan anggota tubuh lainnya—seolah sejak awal ia sudah berada di dalam jaring laba-laba maut.
Renjiro menatap dingin.
**"Sudah berkali-kali kukatakan… aku tidak tertarik dengan kalian."**
*CRAAKKK!*
Dengan satu tarikan jari, tubuh Diablo tercabik menjadi puluhan potongan. Darah dan dagingnya berhamburan di tanah. Renjiro kembali berjalan.
Namun...
Dari kabut berdarah itu, tubuh Diablo perlahan bangkit lagi. Dagingnya menyatu. Tulangnya tumbuh kembali.
"Heh... sayang sekali, kau belum menghancurkan *inti jiwaku,*" gumamnya sambil tersenyum masam.
Renjiro menatapnya tajam. Kali ini, hawa pembunuhnya meledak keluar seperti tsunami.
Langit mendung mendadak gelap sepenuhnya. Pohon-pohon mati, binatang lari terbirit-birit, bahkan pasukan iblis yang tengah bersiap menyerbu kerajaan manusia membeku dalam ketakutan.
Diablo terdiam.
Dia sadar... jika Renjiro benar-benar marah, bukan cuma dia yang akan mati—bahkan pasukannya tak akan sempat melarikan diri.
Dengan napas berat, Diablo menarik diri. "Baiklah... kami tidak akan mengganggumu lagi. Untuk sekarang."
Dan ia menghilang ke dalam bayang-bayang.
Renjiro menatap ke langit sebentar, lalu melanjutkan langkahnya… ke arah yang tak diketahui.
