Hari itu, hujan belum benar-benar reda. Udara Jakarta masih dingin dan mendung menggantung rendah. Di lantai 56 Wira Tower, Nayla duduk terpaku di depan layar komputernya. Data yang ia temukan semakin memperkuat dugaan: Branta Lintas bukan hanya menyembunyikan transaksi fiktif, tapi juga menjadi jalur cuci uang dalam skala besar.
Di tengah kebisuannya, pesan masuk ke ponselnya:
Rio: "Butuh ketemu. Ada yang harus kamu tahu. Rahasia lama."
Nayla membalas cepat: "Di mana?"
Rio hanya mengirim satu lokasi: sebuah kedai kopi kecil di daerah Cikini. Ia mengerutkan kening. Rio bukan tipe orang yang mudah bicara jika tak genting.
---
Sore menjelang. Kedai kopi itu sepi, hanya ada tiga pengunjung. Rio duduk di sudut, wajahnya tampak gelisah. Ketika Nayla datang, ia langsung berdiri menyambut.
"Ada apa, Mas?" tanya Nayla, langsung duduk.
Rio menatapnya dalam. "Kamu masih ingat tentang proyek Nova Satu yang dibatalkan tiga tahun lalu?"
Nayla mengangguk. "Itu proyek energi baru yang gagal, kan? Banyak dana lenyap."
"Bukan gagal. Dibatalkan secara paksa. Dan Adrian... dia sebenarnya menolak tanda tangan pencairan anggaran terakhir."
Nayla terperangah. "Adrian? Kenapa enggak pernah ada di laporan?"
"Karena dia dipaksa diam. Ada tekanan waktu itu. Salah satu petinggi grup mengancam keluarganya."
Nayla menelan ludah. Ini menjelaskan banyak hal. Dingin dan kerasnya Adrian selama ini mungkin bukan karena ia berubah... tapi karena ia berusaha bertahan.
"Tapi kenapa kamu baru cerita sekarang?"
Rio menunduk. "Karena aku juga bagian dari tim legal proyek itu. Dan aku... ikut bungkam."
Ada keheningan. Nayla menatap pria itu, mencoba menahan kecewa. Tapi ia tahu, dalam dunia ini, tidak semua orang bisa memilih jadi pahlawan.
---
Malam hari – Apartemen Nayla
Langit mulai gelap. Nayla menatap dinding penuh catatan tempel—nama-nama, tanggal, alur transaksi. Ia mengambil satu kertas kuning dan menuliskan:
Nova Satu = kunci.
Ia teringat tatapan mata Adrian. Dulu, mata itu selalu bisa menyembuhkan. Tapi mungkin selama ini, Adrian juga butuh disembuhkan. Bukan oleh dokter. Tapi oleh kebenaran.
Pikirannya terganggu ketika sebuah amplop putih diselipkan di bawah pintu apartemennya. Tak ada nama. Ia membukanya pelan.
Di dalamnya, ada satu foto hitam-putih: Adrian sedang bertemu dengan seseorang berseragam polisi. Di belakangnya tertulis:
"Kau yakin dia di pihakmu?"
Tangan Nayla bergetar.
Antara yang terlihat dan yang tersembunyi, siapa sebenarnya Adrian?
Dan... siapa yang sedang bermain dalam bayangan mereka?
Nayla memegang foto itu erat-erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tak tahu ke mana harus dilampiaskan. Selama ini, ia mempercayai nalurinya—bahwa Adrian, dengan semua jarak dan dinginnya, masih menyimpan kebaikan. Tapi foto ini... apakah cukup untuk meruntuhkan keyakinannya?
Ia melangkah cepat ke jendela, mengintip lorong apartemennya. Sepi. Tak ada jejak siapa pun. Siapa yang bisa tahu alamatnya? Dan bagaimana mereka tahu ia sedang menggali kembali proyek Nova Satu?
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.
Dengan ragu, Nayla mengangkat. "Halo?"
Tak ada suara di seberang. Hanya napas berat.
"Halo?" ulangnya, lebih keras.
Lalu suara serak terdengar. "Berhenti, Nayla. Atau kau akan jadi nama berikutnya di laporan kematian."
Klik. Sambungan terputus.
Nayla terdiam, napasnya terhenti sejenak. Laporan kematian? Kata-kata itu menggema di kepalanya. Seperti... Adrian.
Tiba-tiba semua terasa masuk akal—mengapa Adrian menghilang dari sistem perusahaan, mengapa proyek Nova Satu terkubur begitu dalam, dan mengapa hanya segelintir orang yang tahu. Ia melirik lagi ke foto itu. Polisi. Bisa jadi penyidik. Atau malah pelindung mafia?
Ia kembali ke meja, menyalakan laptopnya. Mencari data lama, berita-berita kecil yang luput dari perhatian, nama-nama yang muncul dalam proyek Nova Satu. Dan satu nama mencuat, berkali-kali:
Komisaris Polisi Indra Surya Putra.
Pria itu dikenal bersih. Dulu. Tapi dua tahun lalu, ia pindah ke unit cyber crime, lalu tiba-tiba pensiun dini tanpa alasan jelas.
Nama itu juga muncul di laporan keuangan anak usaha Branta Lintas, di kolom "konsultan eksternal." Jumlahnya tak kecil. Puluhan juta rupiah per bulan.
"Adrian..." gumam Nayla lirih. "Apa yang sedang kamu lakukan?"
---
Pagi harinya, Nayla memutuskan untuk mendatangi seseorang yang sudah lama ia hindari—Ayunda Sari, mantan mentor sekaligus jurnalis senior yang dulu dikenal sebagai pembongkar kasus-kasus besar. Tapi Ayunda sudah keluar dari dunia jurnalistik setelah menerima ancaman yang nyaris membunuhnya.
"Kalau kamu datang ke sini, artinya kamu benar-benar dalam masalah," kata Ayunda, menyeduh kopi di dapur rumah kecilnya di Depok.
Nayla mengangguk pelan. "Aku perlu bantuanmu. Aku nemu potongan kasus lama yang masih hidup sampai sekarang. Nova Satu."
Ayunda menatapnya tajam. "Nova Satu itu... bisa membunuh orang, Nay. Bahkan yang cuma dengar desas-desusnya."
"Aku tahu," jawab Nayla. "Tapi kali ini... aku gak bisa mundur."
Ayunda menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah map dari laci tua di ruang tamunya.
"Kalau kamu mau masuk ke sana, kamu harus mulai dari sini. Ini adalah satu-satunya salinan laporan investigasi internal yang tak pernah dirilis. Dulu aku hampir menyiarkannya. Tapi seseorang... menyuap redaksi dan menghapus semua bukti. Hampir semua."
Nayla membuka map itu perlahan. Di lembar pertama, tertulis:
Proyek Nova Satu – Operasi Penyamaran Internal
Nama Agen: ADRIAN HAKIM.
---
Lidah Nayla kelu. Ia membalik halaman demi halaman, matanya menyapu setiap paragraf.
Adrian... bukan hanya korban.
Ia adalah penyamar. Seorang agen internal yang menyusup ke Branta Lintas, mencoba membongkar sindikat pencucian uang dari dalam.
Dan kini, kemungkinan besar... ia sedang diburu oleh dua pihak sekaligus.