LightReader

Chapter 5 - BAB 5 : SUARA DARI HUTAN SENYAP

Kabut pagi menyelimuti tepian ibu kota Liang, menyusup di antara pepohonan yang membatasi dunia peradaban dan kegelapan purba. Tsun Zhu berdiri di pinggir Hutan Senyap—tempat yang disebut di peta berdarah Fang Lin sebagai salah satu dari dua titik di luar kota. Suaranya belum terucap, tapi detak jantungnya menggema lebih keras dari langkah kaki di tanah basah.

Ia menyimpan peta itu di balik bajunya. Masih ada satu titik lain yang harus dicari, tapi nalurinya—dan sesuatu yang lebih dalam—mendorongnya untuk memulai dari sini. Sejak tadi malam, kata-kata Fang Lin terus terngiang: "Suara terakhir ayahmu tersimpan..."

Dan suara itu, entah bagaimana, memanggil dari tempat ini.

---

Langkah Tsun Zhu menembus ilalang yang tingginya selutut, lalu heningnya hutan menyambutnya dengan bisikan halus yang tak bisa dijelaskan. Tak ada burung berkicau. Tak ada serangga. Bahkan angin pun seperti tak ingin masuk terlalu dalam. Tapi ada suara lain—seperti nyanyian samar dari kejauhan, seakan pepohonan itu berbicara satu sama lain dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang kehilangan.

Ia menggenggam kipas warisan ayahnya di pinggang. Benda itu kini terasa berbeda. Sedikit lebih berat. Sedikit lebih hidup.

Di balik pohon pinus tua, ia menemukan reruntuhan altar batu. Lumut menutup sebagian besar ukirannya, tapi bentuknya tak asing. Tsun Zhu berlutut dan menyentuhnya—dingin, kasar, namun penuh gema masa lalu. Di bagian tengah altar, ada cekungan kecil berbentuk bulat—cukup untuk satu tetes darah.

Tsun Zhu menggigit ujung jarinya.

Satu tetes. Menetes ke batu.

Suara itu datang seketika.

Bukan suara manusia. Bukan binatang. Tapi suara diam yang berteriak—seperti seruan jiwa-jiwa yang terperangkap antara dunia dan kematian. Angin berputar. Daun-daun bergemerisik meski tak ada yang menyentuhnya. Dan di hadapan Tsun Zhu, bayangan terbentuk. Kabut menyatu menjadi siluet seorang pria tua berjubah perang. Mata sosok itu—berkilat merah tembaga.

Tsun Zhu tertegun. "Ayah?"

Sosok itu tak menjawab dengan kata, tapi dengan gerakan tangan. Ia menunjuk ke belakang Tsun Zhu.

Tsun Zhu berbalik.

Dari balik pohon, muncul seorang perempuan. Usianya tak lebih tua darinya, wajahnya pucat, rambutnya panjang berurai, dan matanya kosong… tapi ia membawa kitab tua di pelukannya. Kitab yang disebut Fang Lin. Sampulnya merah kecoklatan, bertuliskan huruf-huruf kuno: Kitab Gemuruh Langit.

"Ini milik keluargamu," bisik perempuan itu. "Sudah lama menunggu untuk dibuka…"

Tsun Zhu menyambut kitab itu dengan tangan gemetar. Perempuan itu tersenyum pelan… lalu menghilang seperti embun yang dijilat cahaya matahari pertama.

Ketika Tsun Zhu menoleh ke altar, sosok ayahnya juga telah lenyap.

Namun suara terakhirnya tertinggal.

"Anakku… jangan percaya pada bayangan yang berdiri di terang… dan jangan abaikan cahaya yang bersembunyi di gelap…"

---

Saat Tsun Zhu keluar dari hutan, matahari sudah tinggi. Kitab itu kini ada di tangannya, dan luka di jarinya telah sembuh, menyisakan bekas tipis seperti cap perjanjian.

Satu syarat telah terpenuhi: Kitab itu.

Kipas telah ia miliki.

Kini tinggal satu hal: darah pewaris—dan keberanian untuk membuka pintu rahasia di bawah Balairung Jenderal.

Tapi sebelum ia kembali ke kota, masih ada satu titik terakhir di peta… di sebelah timur, tempat yang disebut hanya dengan satu nama:

Titik Batu Menangis.

Dan Tsun Zhu tahu, suara berikutnya akan jauh lebih menyakitkan dari suara dalam hutan.

More Chapters