LightReader

Chapter 1 - ch 1 keceriaan seorang anak

Di sebuah pekarangan rumah yang tenang, Baskara duduk bersila di bawah rindangnya pohon Kalaban. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya teratur, tapi matanya tetap menyala penuh semangat. Sore itu, sinar mentari menyusup lembut di antara dedaunan, menciptakan suasana damai yang hanya bisa dirasakan di rumah.

Tak lama kemudian, langkah ringan seorang wanita terdengar mendekat. Ia membawa nampan berisi minuman herbal dingin dan potongan buah berwarna cerah yang tampak menyegarkan. Wajahnya cantik dan anggun, dengan senyum yang sejuk seperti embun pagi. Dalam hatinya, wanita itu bergumam pelan, "Dasar anak yang rajin."

"Baskara, apakah kamu haus, nak?" sapanya lembut sambil mendekat.

Mendengar suara itu, Baskara menoleh dengan semangat seperti anak kecil yang baru menemukan mainan favoritnya. Senyumnya melebar, polos dan ceria.

"Ibuuuu!" serunya riang.

Ya, wanita itu adalah ibunya, Tirta. Seorang ibu dengan kecantikan yang langka, bukan hanya karena parasnya, tapi karena ketulusan dan kelembutannya yang tak pernah berubah.

Tirta terkekeh melihat putranya. "Hahaha, seperti biasa ya kamu. Walaupun sudah bercucuran keringat, masih saja semangat. Duduklah, Ibu bawakan minum dan buah spiritual Suo supaya kamu tetap sehat dan bertenaga."

"Baiklah!" jawab Baskara sambil duduk kembali, senyumnya lebar seperti matahari pagi. Ia mengambil minuman dan buah itu dengan ekspresi dramatis.

"Wah! Ibu benar-benar penyelamat padang latihan yang tandus ini," ucapnya lebay.

Tirta tertawa kecil. "Kamu ini, ada-ada saja. Latihannya serius, tapi mulutnya nggak pernah berhenti bercanda."

Mereka duduk berdampingan di bawah pohon, angin sore berembus pelan membawa aroma dedaunan dan tanah lembap. Sambil menikmati buah Suo, mereka mulai mengobrol tentang latihan dan pilihan Baskara ke depan.

"Ibu, aku bingung. Aku suka latihan di rumah, tapi teman-temanku bilang kalau masuk perguruan, aku bisa belajar lebih banyak jurus hebat. Tapi kalau sama Ibu dan Paman, aku bebas bercanda dan latihan sambil ketawa."

Tirta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. "Kamu ini memang unik. Di luar sok serius kayak pendekar, tapi di rumah kayak anak kecil yang nggak mau disuapin, tapi tetap ngambek kalau Ibu nggak perhatiin."

Tawa mereka pecah bersamaan. Di tengah segala latihan dan pilihan masa depan, momen kecil di bawah pohon itu adalah yang paling berharga-saat di mana Baskara bukan pendekar masa depan, tapi hanya seorang anak yang menikmati tawa bersama ibunya.

Keesokan harinya, Baskara duduk bersila di ruang belajar kecil milik keluarganya. Di hadapannya terbuka sebuah buku tua berjudul "Dasar-Dasar Energi Alam dan Sirkulasi Spiritualitas". Buku itu bukanlah kitab rahasia atau teknik tingkat tinggi, melainkan buku umum yang biasa digunakan oleh keluarga besar Semediawan sebagai bahan bacaan dasar. Isinya lebih seperti pengantar untuk memahami seni bela diri dan hubungan manusia dengan kekuatan spiritual alam.

Di halaman demi halaman, Baskara membaca dengan dahi yang berkerut dan bibir yang kadang menggembung karena kebingungan. Tulisan-tulisan di buku itu menjelaskan bahwa di bumi ini, banyak orang mampu mengolah kekuatan spiritual melalui teknik pernapasan khusus yang disebut sirkulasi jiwa. Semakin dalam penguasaan teknik pernapasan itu, semakin cepat seseorang bisa melakukan semedi. Dan semakin baik teknik bela dirinya, semakin besar pengaruhnya terhadap tubuh maupun lawan dalam pertempuran.

Namun tentu saja, bagi anak berumur tujuh tahun, semua penjelasan itu seperti membaca lirik lagu dalam bahasa asing. Baskara mengerti sepintas, tapi tak mampu membayangkannya dengan jelas. Ia menutup bukunya perlahan, memandang ke langit-langit rumah, lalu tiba-tiba bangkit dan berlari ke arah dapur tempat ibunya sedang menyiapkan sarapan.

"Ibuuuuu!" teriaknya sambil menyeret bukunya seperti membawa barang bukti.

Tirta, yang sedang mencicipi adonan kue akar kelapa, menoleh dengan waspada. "Ya ampun, Baskara. Baru juga Ibu mau duduk, sudah diteriakin."

"Ibu, Ibu! Jadi kalau kita tarik napas pelan tapi panjang, terus tahan lima hitungan, itu bisa bikin energi alam masuk ke dalam tubuh ya? Tapi kenapa kalau aku tarik napas gitu malah cegukan?"

Tirta menatap anaknya beberapa detik sebelum tertawa kecil. "Kamu ini... cegukan karena minum air dingin habis latihan, bukan karena tarik napas."

"Tapi di buku ini dibilang teknik pernapasan itu penting banget! Kalau tekniknya bagus, semedinya jadi cepat. Nah, kenapa aku semedi malah ketiduran?"

Tirta menggeleng pelan sambil menyodorkan segelas susu hangat. "Itu karena kamu semedinya sambil berselimut dan nempel di kasur, bukan duduk tegak. Mana bisa berhasil."

Baskara duduk sambil mengunyah kue, masih menyimpan rasa penasaran di wajahnya. "Ibu, nanti ajarin aku semedi yang benar ya. Kalau perlu, aku juga rela nggak tidur siang asal bisa ngerti semua ini."

Tirta menghela napas panjang. "Baiklah, tapi kamu harus janji, sehari maksimal lima pertanyaan saja ya. Kalau lebih, otak Ibu bisa ngebul."

"Janji... setengah!" jawab Baskara sambil tertawa kencang.

Tirta hanya bisa geleng-geleng, tapi di balik senyumnya, ia bangga. Anak itu mungkin masih kecil, tapi semangat dan rasa ingin tahunya menyala seperti api kecil yang tak pernah padam.

Namun sayangnya, Tirta tidak sepenuhnya mengetahui sifat sejati anaknya. Di balik sikap ceria, polos, dan penuh canda itu, tersembunyi kecerdasan yang tak biasa. Baskara, meski baru berusia tujuh tahun, diam-diam telah menemukan dan membaca salah satu teknik semedi dasar yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga Semediawan yang sudah cukup umur dan memiliki izin.

Dengan kecepatan belajar yang mengagumkan, ia memahami isi teknik tersebut hanya dalam hitungan jam. Ia mempelajari cara menyerap kekuatan spiritual alam melalui pengaturan pernapasan, titik konsentrasi tubuh, dan kondisi pikiran yang tenang. Tapi tentu saja, gaya Baskara tetap saja penuh warna.

Malam itu, di dalam kamarnya yang remang, ia duduk bersila di atas matras tipis, cahaya biru dari lampu energi bergoyang pelan di langit-langit. Matanya bersinar, bibirnya naik membentuk senyuman khas-senyuman jahil dan penuh rencana.

"Hmm... kalau besok aku bisa semedi dan ngerasain energi alam, pasti Ibu bakal kaget! Heheheh..." gumamnya sambil terkekeh pelan, menahan rasa puas. Sudut bibirnya tertarik ke atas, seperti tokoh licik dalam kisah dongeng.

Tapi apa yang dilakukan Baskara bukan sekadar kekonyolan anak kecil. Di balik tingkah polos dan tawa lebarnya, tersimpan rahasia yang belum diketahui siapa pun-termasuk ibunya sendiri.

Baskara adalah anak yang lahir dengan keanehan luar biasa. Saat dalam kandungan, ia tinggal di rahim ibunya selama sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun lamanya! Sebuah kehamilan yang tak masuk akal menurut nalar siapa pun.

Dan ajaibnya lagi, ketika usia kandungan memasuki tahun ketiga, ia mulai mampu mendengar percakapan orang-orang di luar tubuh ibunya. Saat kandungan berusia empat tahun, ia sudah bisa memahami kata demi kata, makna demi makna, seolah pikirannya berkembang di luar batas usia.

Ketika akhirnya ia lahir ke dunia, tidak ada tangisan. Tidak ada jeritan bayi. Hanya wajah datar, tenang, dan sorot mata tajam yang membuat waktu seakan berhenti. Para penolong persalinan yang melihatnya tercekat, seperti tubuh mereka membeku dalam keterpanaan.

Tirta dan suaminya kala itu hanya bisa terdiam, bahkan hampir tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Bayi yang lahir itu seolah bukan sekadar bayi-dia seperti menyimpan sesuatu yang belum bisa dijelaskan.

Akhirnya, dengan kesepakatan bersama, mereka meminta semua yang hadir untuk merahasiakan kejadian itu. Mereka khawatir jika rahasia itu tersebar, maka anak mereka akan menjadi sasaran pihak-pihak yang ingin memanfaatkan atau bahkan menghabisinya.

Dan kini, tujuh tahun setelah hari itu, anak itu-Baskara-mulai melangkah menuju jalannya sendiri. Tanpa sepengetahuan siapa pun, malam ini, ia akan melakukan semedi pertamanya.

Dengan napas pelan dan dalam, ia memejamkan mata.

"Semoga besok pagi, aku bisa bangunin Ibu pakai jurus angin kecil, biar kaget," gumamnya dengan senyum puas.

Namun, malam itu... sesuatu yang tak terduga mulai bangkit dari dalam dirinya.

Beberapa saat setelah duduk bersila dan mengatur napas sesuai teknik dalam buku, Baskara mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Udara di sekelilingnya seolah hidup. Energi-energi halus yang sebelumnya tak kasat mata kini mulai tampak seperti cahaya lembut yang mengalir tanpa arah, menari-nari di udara seperti serbuk bintang yang bebas beterbangan.

Ia membuka matanya perlahan, senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Inikah... energi spiritual itu? Sungguh melimpah sekali..." gumamnya pelan. Ia menarik napas dalam, lalu menyeringai, "Baiklah, mulai serap! Wushhh!"

Seketika itu, energi-energi spiritual yang beterbangan mulai berkumpul di atas kepalanya, mengembun layaknya awan yang penuh uap. Lalu, dengan gerakan lembut seperti air terjun, energi itu jatuh ke tubuhnya, menyiram dari kepala hingga ke ujung kaki. Tubuhnya terasa hangat, nyaman, seperti dipeluk oleh kabut lembut yang mengalir ke dalam melalui hidung, pori-pori kulit, hingga ke dalam nadinya.

"Sungguh hangat... dan nyamannya..." bisiknya.

Namun, ia segera menyadari ada yang tak beres. Ruangan sekitarnya mulai bergetar pelan, angin berhembus dari arah yang tak jelas, dan beberapa benda kecil di kamarnya-buku, pena, bahkan sandal di sudut ruangan-terhempas dan jatuh ke lantai.

"Hmmm... kenapa bisa seperti ini? Di dalam buku tidak tertulis ada efek semacam ini," ujarnya, dahi berkerut.

Dari luar kamar, terdengar suara langkah ringan dan panggilan lembut.

"Baskara...? Apakah kamu tidak menutup jendela, nak? Kenapa seperti ada angin dari dalam?" suara ibunya, Tirta, terdengar dari balik pintu.

Baskara tersentak, matanya membelalak. "Waduh, gawat!" gumamnya cepat.

Ia berdiri buru-buru, menenangkan aliran energi yang masih mengitari tubuhnya. "I-iya, Bu! Akan kututup sekarang! Hehehe!" jawabnya dengan nada penuh kepanikan namun tetap berusaha santai.

Tirta diam sejenak, lalu terdengar langkah kakinya menjauh, sepertinya mengira anaknya hanya lupa menutup jendela seperti biasanya.

Baskara menghela napas lega. "Huhhh... hampir saja ketahuan..."

Ia duduk kembali, memandangi sisa-sisa energi spiritual yang mulai menghilang dari udara.

"Sudahlah... cukup sampai di sini dulu," ujarnya pelan, masih terheran-heran. "Tapi kenapa bisa ada efek seperti itu, ya? Buku itu nggak bilang apa-apa soal ruangan jadi seperti dilanda angin..."

Ia menggeliat, lalu menguap lebar. "Sudah ah... tidur dulu. Besok lanjut tanya-tanya Ibu lagi. Heheheh..." gumamnya, menyeringai kecil sebelum merebahkan diri di atas matras, membiarkan pikirannya melayang di antara rasa puas, penasaran... dan sedikit nakal.

More Chapters