LightReader

Chapter 3 - Bab 3 – Langkah Pertama: Membangun Masa Depan

---

Bab 3 – Langkah Pertama: Membangun Masa Depan

"Aku butuh bantuan, Onii-chan."

Kakakku, Hiroshi, menatapku di meja makan keluarga dengan ekspresi curiga. Pria itu—usia 30-an, dokter sukses di Shibuya, karismatik, rasional, dan terlalu terbiasa menganggapku sebagai adik manja yang kutu buku.

"Apa lagi, Aira? Kamu butuh uang buat seminar? Magang ke luar negeri?"

Aku menarik napas.

"Bukan. Aku ingin bikin startup AI. Media sosial berbasis AI Chat. Fokus pada privasi, kecerdasan buatan yang benar-benar mengerti manusia, dan sistem koneksi yang tidak dimonopoli iklan."

Hiroshi terdiam. Sudah kuduga reaksinya.

"Kamu serius?"

Aku menatap matanya.

"Lebih serius dari apa pun dalam hidupku. Aku punya ide, desain dasar, dan prototype-nya bisa mulai dikembangkan. Tapi aku butuh teknisi AI—yang benar-benar tahu deep learning dan NLP. Kamu kenal seseorang dari kenalanmu di Amerika, kan?"

Kakakku diam sebentar, lalu berkata, "Teman SMA-ku, Kento. Dia sekarang di Google DeepMind cabang California. Dia lead engineer."

Mataku menyala.

"Aku butuh dia. Atau seseorang sekelas dia."

"Aira... startup itu bukan mainan. Kamu siap dikritik, gagal, dan mungkin dibenci?"

Aku tersenyum tipis.

"Dulu... aku pengecut. Tapi sekarang, aku punya alasan untuk bertarung. Aku ingin menciptakan sesuatu yang membanggakan. Aku ingin dikenal bukan karena siapa aku sebelumnya, tapi karena apa yang kulakukan."

Dia menghela napas panjang. "Baik. Aku akan hubungi Kento. Tapi kamu harus siapkan proposal, business model, dan apa yang kamu butuhkan dengan jelas. Dia tidak akan tertarik kalau ini hanya omong kosong."

---

Malam itu...

Aku duduk di depan laptop dan mulai menyusun dokumen berjudul:

> Ainote Project

Platform AI Chat Sosial Berbasis Emosi dan Privasi.

Kali ini, aku tidak hanya ingin mengubah dunia finansial.

Aku ingin membentuk kembali cara manusia berinteraksi—dengan bantuan AI yang benar-benar memahami mereka.

> "Jika manusia bisa mengobrol dengan AI yang bisa mendengar lebih baik dari manusia lain, dunia akan berubah." – Aira Hoshikawa

---

"Ayo, Aira. Jangan gugup."

Suara kakakku menenangkan, tapi perutku tetap terasa seperti ada kupu-kupu yang pesta kembang api.

Kami berada di sebuah kafe premium di Shibuya yang biasa digunakan untuk meeting informal. Di sana duduk Kento Yamazaki, pria Jepang-Amerika dengan hoodie Google dan tatapan tajam. Ia tidak banyak bicara, hanya menatapku dengan tenang.

"Jadi kamu yang katanya mau bikin 'AI revolusioner'?" katanya langsung.

Aku mengangguk.

"Aku Aira Hoshikawa. Dan ya, aku serius. Ini bukan proyek main-main."

Ia menyilangkan tangan. "Baik. Presentasimu. Lima menit. Impress me."

Laptopku langsung terbuka. Slide pertama muncul:

> Ainote – AI Chat Berbasis Emosi, Privasi, dan Koneksi Sejati.

'Because humans want to be heard, not harvested.'

Aku berbicara dengan tenang, perlahan. Menjelaskan bagaimana algoritma AI sosial saat ini hanya memanipulasi perhatian, menciptakan adiksi, dan mengejar klik. Aku menunjukkan konsep AI Empatik—menggunakan deteksi emosi, NLP, dan model interaksi yang memperkuat kesehatan mental, bukan mengeksploitasinya.

Kento mulai tampak tertarik. Tapi saat aku buka bagian teknis, dia mengangkat tangan.

"Tunggu. Kamu pakai LLM open-source? Kamu mau nyambungin ke user realtime? Lalu integrasi privasi? Itu tiga sistem yang secara arsitektur bertabrakan."

Aku menelan ludah.

"Aku tahu. Karena itu aku butuh kamu."

Dia mengangkat alis. "Kamu tahu ini tidak bisa dibuat oleh satu-dua orang saja, kan? Kamu butuh tim backend scalable, NLP specialist, mungkin bahkan model hybrid baru. Kamu siap dengan biayanya?"

Aku mengangguk.

"Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Aku tahu kamu bisa bantu menyusun timnya. Aku bisa urus legal, front-end, desain, dan naskah. Aku hanya butuh... kepercayaan."

Dia menatapku lama, lalu tersenyum tipis.

"Aneh. Tapi aku suka idenya."

Ia berdiri dan menjabat tanganku.

"Kalau kamu benar-benar serius, kirim prototipe minggu depan. Aku bantu ajak dua orang dari timku yang sedang free. Tapi ingat, Aira—dunia startup bisa lebih kejam dari dunia akademik atau klinis."

Aku tersenyum, walau tangan berkeringat.

"Itu bukan masalah. Dunia sudah membunuhku sekali. Kali ini, aku yang akan mengukirnya."

---

Malam itu, saat semua orang tidur, aku menatap layar laptop dengan penuh kecemasan.

Setelah meeting dengan Kento, aku sadar satu hal—aku butuh modal. Banyak. Tim AI seperti yang kubayangkan tidak akan bisa bekerja tanpa dana operasional ratusan juta yen. Aku tidak bisa terus bergantung pada nama atau harapan.

Aku menghela napas dan membuka folder terenkripsi lain. Bukan folder Satoshi kali ini.

> /aira_wallet_old.btc

Folder itu terasa asing dan familiar dalam waktu bersamaan. Memori Aira di masa remaja mulai muncul perlahan—tentang bagaimana saat SMP, ia begitu penasaran dengan dunia internet dan cryptocurrency. Tentang bagaimana ia iseng beli Bitcoin pakai sisa uang jajannya, hasil memanipulasi sedikit "izin beli buku pelajaran tambahan" dari orang tuanya.

Tahun 2012. Harga Bitcoin? Sekitar $12–$14 per BTC.

Aira membeli 300 BTC dengan total sekitar $400.

Dan sekarang? Harga 1 BTC telah menembus $40.000.

Aku menghitung cepat, jantung berdetak keras.

> 300 BTC x $40.000 = $12.000.000

12 juta dolar.

Dan itu... bukan termasuk wallet Satoshi.

"Ini... keterlaluan..."

Aku tersenyum getir. Dunia benar-benar aneh. Aku, reinkarnasi dari seorang programmer gagal, kini berada di tubuh seorang gadis jenius yang dulunya juga tanpa sadar membuat keputusan finansial paling cerdas dalam sejarah remaja Jepang.

Dompet itu masih aktif. Masih bisa diakses. Kunci privatnya tertulis dalam dokumen terenkripsi lokal. Ia bahkan menyimpan cadangan di flashdisk fisik tersembunyi dalam boneka boneka Rilakkuma tua yang kini tersimpan di lemari.

"Aira... kau memang gila."

Aku memindahkan sebagian kecilnya ke akun exchange Jepang yang terpercaya. Tidak langsung semua—aku tidak bodoh. Dunia tetap berbahaya, dan aku tidak ingin menarik perhatian hacker atau pemerintah.

Tapi malam itu, aku tidur dengan tenang. Bukan karena uang. Tapi karena satu kenyataan:

> Aku tidak akan mulai dari nol.

Dan aku tidak perlu meminjam kekuatan siapa pun.

Ini uang dari Aira yang dulu.

Dan aku... akan menggunakannya untuk membangun kekaisaran teknologi masa depan.

---

Uang bukan lagi masalah. Tapi itu tidak berarti semuanya akan mudah.

Setelah transfer dana dari wallet lama selesai, aku mulai bergerak cepat. Aku tak ingin menyia-nyiakan momentum. Kakakku mengatur pertemuan ulang dengan Kento—dan kali ini, aku menyewa coworking space kecil di Shibuya sebagai "kantor" pertama kami.

Hanya dua ruangan. Satu untuk brainstorming, satu lagi diisi meja-meja bekas hasil lelang startup gagal yang kutemukan online. Interiornya sederhana, tapi bagiku tempat ini adalah titik awal kerajaan teknologi yang akan kubangun.

"Aira Tech Studio," begitu tulisan kecil di pintu masuknya. Sementara nama internal proyek kami adalah: "Hikari.AI" — sebuah sistem AI percakapan personal berbasis konteks sosial dan emosi, yang nantinya akan menjadi media sosial generasi baru.

Tim awal:

Aku, sebagai CEO dan Product Designer

Kento, mantan insinyur AI Google, CTO kami

Minami, UI/UX designer lepas dari Kyoto, kutemukan lewat forum desainer

Riku, mahasiswa tingkat akhir dari Todai yang jago backend dan optimasi server

Kami bertemu pertama kali minggu itu. Tanganku dingin saat memperkenalkan diri di hadapan mereka. Meski aku punya pengetahuan teknis, mereka ini—nyata, dewasa, dan lebih senior dariku secara pengalaman.

Presentasi pertamaku... gagal total.

Slide terlalu idealis. Penjelasan teknis kurang konkret. Kento mengernyit, Minami kebingungan, dan Riku justru memberi feedback tajam soal estimasi waktu yang tidak realistis.

"Aira, kamu butuh lebih dari ide keren. Tim butuh arah yang jelas, bukan visi kabur."

Kento menatapku serius, seperti ingin menguji apakah aku benar-benar serius membangun ini atau hanya mimpi remaja.

Aku terdiam malam itu, menatap papan ide dan dinding putih.

> Dunia bisnis bukan dunia kode. Ini dunia komunikasi, tanggung jawab, dan keputusan yang tidak selalu adil.

Tapi aku tidak akan mundur.

Malam itu juga, aku menulis ulang proposal teknis dan roadmap 3 bulan pertama. Aku belajar ulang semua istilah manajemen produk, arsitektur sistem, dan membagi roadmap ke fase-fase: riset, validasi model AI, lalu MVP (Minimum Viable Product).

Pagi berikutnya, aku presentasi ulang.

Kali ini... mereka mengangguk. Dan saat rapat selesai, Kento tersenyum kecil, lalu berkata, "Kamu belum sempurna, tapi kamu bukan anak-anak. Kita mulai saja."

Aku hampir menangis.

Hari itu kutandai dalam hati:

> Hari pertama aku benar-benar menjadi CEO.

---

Seminggu setelah rilis HikariAI, kotak masuk email kami meledak. Tapi satu email menarik perhatianku.

> From: venture@arescapital.co.jp

Subject: [Confidential] Tawaran Investasi Seri A untuk HikariAI

Ares Capital—perusahaan modal ventura besar di Jepang. Mereka ingin bertemu langsung dan membahas suntikan dana senilai 500 juta yen untuk pengembangan teknologi dan ekspansi pasar Asia.

Aku terdiam. Tawaran itu menggiurkan, tapi juga... berisiko. Begitu investor masuk, kepemilikan akan terbagi. Visi bisa diganggu.

Kento mendukung menerima tawaran itu. "Kalau kita ingin tumbuh cepat, kita butuh bensin untuk roket kita."

Tapi aku tahu satu hal: aku ingin tetap bisa mengendalikan arah kapal ini.

---

Tantangan pertumbuhan pengguna

Jumlah pengguna HikariAI memang melonjak, tapi... mempertahankannya? Itu hal lain. Banyak yang kembali ke chatbot lawas karena mereka merasa HikariAI kadang terlalu "lembut"—tidak tegas atau terlalu diplomatis.

Kami segera membuat survei pengguna. Ternyata, banyak yang ingin personalisasi lebih agresif. Ada yang ingin AI-nya "ceplas-ceplos", ada yang mau lebih "kawaii", ada juga yang ingin gaya bicara profesional.

Aku pun sadar:

> Kami tidak bisa bikin satu HikariAI untuk semua orang.

Kami harus bikin AI yang bisa menjadi siapa pun—untuk setiap pengguna.

---

Langkah berikutnya: perekrutan tim AI

Aku meminta Kento menyebarkan kabar ke komunitas AI di Stanford dan MIT. Dalam dua minggu, kami mewawancarai 12 kandidat internasional secara online.

Lalu datanglah Amara Zheng, lulusan PhD dari Stanford, pakar NLP dan emotion-aware learning model. Wawasannya tajam, dan dia... ternyata fans Bitcoin juga.

"Aku nggak tahu kenapa kamu bisa bikin AI secerdas ini di usia 21," katanya padaku. "Tapi kalau kamu butuh seseorang yang bisa bantu AI ini memahami manusia lebih dalam... aku orangnya."

Aku langsung menyetujui. Dia datang ke Tokyo seminggu kemudian.

---

Kini, HikariAI bukan hanya startup kecil. Kami punya:

16 anggota tim aktif (AI engineer, UX designer, growth marketer).

Kantor baru di Shibuya.

Pengguna aktif harian mencapai 120 ribu dalam waktu 3 minggu.

Dan tawaran investasi yang masih kutimbang, dengan satu syarat: kendali utama tetap milikku.

Aku melihat ke luar jendela dari kantor kecil kami. Dunia masih belum tahu siapa Aira Hoshikawa sebenarnya. Tapi itu tak penting sekarang.

Karena Aira Hoshikawa... akan membuktikan bahwa mimpi, jika didorong tekad dan kecerdasan, bisa mengubah dunia.

---

More Chapters