LightReader

Chapter 4 - Bab 4 Istri Yang Tak Pernah Ditunggu

Bab 4 – Istri yang Tak Pernah Ditunggu

Alarm pagi berbunyi nyaring, memecah keheningan di kamar apartemen yang luas namun terasa hampa. Naira membuka mata perlahan, menatap langit-langit putih yang dingin. Tangannya meraba sisi ranjang yang kosong. Tak ada siapa-siapa. Lagi-lagi.

Damar tak tidur di sini semalam. Sejak pertengkaran itu, pria itu lebih sering pulang larut malam, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Alasannya selalu pekerjaan. Meeting mendadak. Acara keluarga. Tapi tak pernah satu pun mengandung namanya—istri yang sah di mata agama, tapi tak punya tempat di kehidupannya yang nyata.

Naira bangkit dengan langkah lesu. Ia tidak terlambat, tapi jiwanya terasa seperti sudah tertinggal jauh di belakang. Sarapan yang biasa ia siapkan untuk dua orang kini ia lewatkan. Apa gunanya menyiapkan sesuatu untuk seseorang yang bahkan tidak pernah menanyakan kabarmu?

Di kantor, wajah Damar begitu berbeda. Tegas. Karismatik. Semua karyawan memujanya. Seorang CEO muda dengan pencapaian luar biasa. Tapi hanya Naira yang tahu, pria itu tidak sempurna seperti yang terlihat.

Saat coffee break, teman sekantornya, Rena, mendekat dengan bisik-bisik heboh.

"Eh, katanya Damar mau dilamar Laras bulan depan. Kamu tahu nggak sih? Kok dia mendadak banget deket?"

Naira terdiam. Jantungnya memukul keras dada. Ia tersenyum hambar.

"Damar nggak pernah cerita ke aku soal urusan pribadinya," jawabnya ringan. Bohong. Tapi sudah terlalu sering ia belajar pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak peduli.

Siangnya, Naira melihat Damar dari jauh sedang berbicara dengan Laras. Tawa Laras mengisi ruangan dengan bebas. Bahkan ada momen Laras menyentuh lengan Damar dengan cara yang tidak biasa. Tidak pantas, jika Damar sudah menikah. Tapi siapa yang tahu?

Tidak ada yang tahu. Karena istri sahnya hanya bayangan.

Sore hari, saat semua karyawan mulai pulang, Naira masih di meja kerjanya, menyelesaikan laporan bulanan. Damar mendekat, tanpa suara.

"Pulang bareng?" tawarnya datar.

Naira menoleh pelan. "Mau dianggap istri hari ini?"

Damar memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih belakangan jadi sensitif banget?"

"Karena aku hidup dalam diam. Dalam bayang-bayang. Dalam hubungan yang bahkan kamu sembunyikan dari dunia."

"Ini sementara, Nai. Aku janji."

Naira menatap matanya tajam. "Sementara yang kamu omong dari bulan lalu. Tapi yang kamu peluk malah Laras."

Damar tak menjawab. Ia hanya membalikkan badan, pergi begitu saja.

Naira tertawa dalam hati. Pedih. Ada hal yang lebih menyakitkan daripada ditinggalkan—yaitu dilupakan, padahal masih bersama.

Malam itu, ia pulang sendiri. Dalam taksi yang menyusuri jalanan kota, ia menangis diam-diam. Bukan karena tak dicintai, tapi karena mencintai seseorang yang tak pernah berani memilih.

Naira menatap pantulan dirinya di cermin dengan sorot mata kosong. Gaun kerja berwarna pastel yang membalut tubuhnya seolah tak memiliki makna lagi. Bibirnya yang biasanya dipulas tipis kini tak disentuh gincu. Wajahnya yang selalu dirias lembut tampak lelah. Cermin itu seperti mengingatkan, bahwa dirinya adalah seorang istri yang tak terlihat. Sah secara agama, tapi tak dikenal dunia.

Pagi itu kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Atau mungkin hanya hati Naira yang sepi. Damar belum muncul. Sejak pertemuan singkat semalam yang berakhir dengan keheningan, Naira merasa ada jurang makin lebar di antara mereka. Ia ingin marah, tapi juga rindu. Ia ingin pergi, tapi tetap berharap.

Ketika memasuki ruang kerjanya, Naira mendapati selembar memo tergeletak di atas meja.

"Meeting dengan Pak Damar jam 10.00 – Ruang Rapat Utama."

Jantungnya berdegup cepat. Rasionalitasnya berkata bahwa ini hanya urusan kantor, tapi hatinya—selalu berharap lebih. Ia menarik napas panjang dan memantapkan langkah.

Di ruang rapat, Damar sudah duduk di ujung meja. Tegap, berwibawa, dan dingin seperti biasanya. Ia tak menatap Naira saat wanita itu masuk. Beberapa manajer lain pun ikut duduk, membawa serta dokumen dan presentasi. Pertemuan berlangsung normal, tapi bagi Naira, ini menyakitkan.

Ia duduk di seberang pria yang tidur di sampingnya semalam, yang memeluknya diam-diam, tapi kini bersikap seperti rekan kerja biasa. Rasanya seperti ditelanjangi perasaan sendiri, tapi tak boleh bicara.

Selepas rapat, semua orang keluar perlahan, menyisakan Damar yang masih mengecek sesuatu di laptop. Naira ragu, tapi kakinya tetap melangkah mendekat.

"Kapan terakhir kali kamu benar-benar melihat aku, Mar?" tanyanya lirih.

Damar tak menjawab. Ia hanya menutup laptopnya dan berdiri. Mata mereka bertemu. Mata yang dulu membuat Naira jatuh cinta, kini tampak jauh dan tak tersentuh.

"Kita bicara nanti di rumah," jawab Damar singkat sebelum melangkah pergi.

---

Malam itu, di apartemen mereka, Naira menunggu. Ia duduk di ruang tamu, membiarkan lampu remang menerangi ruangan. Jam berdetik pelan, dan setiap menit membuat hatinya makin gelisah. Pukul sepuluh malam Damar datang, terlihat lelah dan basah oleh hujan.

"Maaf telat," ucapnya sambil melepas jas.

Naira tak menjawab. Ia hanya menatap. Lalu berdiri dan berkata, "Aku sudah masak. Tapi mungkin makanannya sudah dingin. Seperti hubungan kita."

Damar terdiam. Ia tahu nada itu. Nada luka. Nada kecewa.

"Aku tahu ini rumit, Nai. Tapi aku sedang berusaha."

"Berusaha menyembunyikan aku lebih lama? Atau berusaha menjaga warisan yang kamu khawatirkan akan hilang kalau keluargamu tahu kamu sudah menikah?"

Kalimat itu menampar Damar. Ia menatap Naira, kali ini dalam. Tapi tak ada pembelaan. Hanya kesunyian yang menggantung.

"Aku mencintaimu," katanya pelan.

"Lalu kenapa aku merasa seperti wanita simpanan? Aku ini istrimu, Mar. Bukan bayangan."

Damar mendekat. Ia menggenggam tangan Naira, tapi wanita itu menariknya perlahan.

"Aku butuh kamu memilih. Aku atau warisan itu. Karena aku bukan pilihan yang bisa disembunyikan seumur hidup."

---

Malam itu mereka tidur dalam diam. Di ranjang yang sama, tapi hati mereka seperti di dua kutub berbeda. Dan saat fajar menyingsing, Naira merasa ini akan jadi awal dari pertarungan batin terberat dalam hidupnya.

Pertarungan antara cinta yang sah dalam sunyi, dan harga diri yang menjerit dalam senyap.

---

Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Karyawan berlalu-lalang, sebagian sibuk di depan layar monitor, sebagian lagi sedang berdiskusi di ruang rapat. Namun, di balik rutinitas itu, Naira merasa jiwanya bergemuruh. Bukan karena pekerjaan, tapi karena statusnya yang menggantung. Sudah dua bulan sejak pernikahan siri itu berlangsung, tapi Damar masih memperlakukannya seperti karyawan biasa saat di kantor, seolah-olah tak pernah ada ikatan yang mengikat mereka.

"Selamat pagi, Pak Damar," sapa Naira, berusaha profesional.

Damar menatapnya sejenak, matanya dingin dan ekspresinya netral. "Pagi, Naira. Tolong siapkan laporan proyek baru sebelum jam dua siang."

"Baik, Pak."

Hanya itu. Tak ada senyum, tak ada lirikan manis seperti saat mereka di apartemen. Naira menarik napas dalam. Ini memang sudah kesepakatan mereka sejak awal, bahwa di kantor mereka harus tetap menjaga jarak. Tapi tetap saja, hatinya tak bisa menyesuaikan.

Sepulang kerja, Naira pulang ke apartemen yang diam-diam mereka sewa bersama. Ia meletakkan tas, lalu duduk di sofa, melepas sepatu dan menatap kosong ke arah pintu.

Tak lama, pintu itu terbuka. Damar masuk dengan wajah lelah. Ia melepaskan jas dan dasinya, lalu duduk di sebelah Naira tanpa berkata sepatah kata pun. Hening menyelimuti ruangan.

"Damar… kamu masih mau terus seperti ini?" tanya Naira pelan.

Damar menoleh pelan, sorot matanya tetap sama—dingin, datar, tak terbaca.

"Maksud kamu?"

"Hubungan kita. Status ini. Aku lelah jadi istri rahasia. Di luar sana, aku bukan siapa-siapa buatmu."

Damar menghela napas, lalu bersandar. "Aku melakukan ini semua demi kamu juga, Naira. Kamu tahu apa yang sedang aku hadapi. Kalau Ayah tahu aku sudah menikah, warisan itu bisa lenyap. Semua usaha yang sudah aku bangun bisa hancur."

"Jadi, aku ini cuma alat bagimu untuk menunda perjodohan dan tetap dapat warisan?" Suara Naira mulai bergetar.

"Jangan bawa perasaan ke sini," jawab Damar cepat.

Naira bangkit. "Aku manusia, Dam. Aku punya hati. Aku mencintaimu, tapi aku juga ingin dihargai. Kalau aku cuma bayangan dalam hidupmu, kenapa kamu nikahi aku dari awal?"

Damar terdiam.

Malam itu mereka tidur dengan punggung saling membelakangi. Tak ada pelukan hangat. Tak ada bisikan pengantar tidur. Yang ada hanya kebisuan yang semakin dalam.

Esoknya, suasana kantor memanas. Seorang wanita cantik muncul di ruang lobi, mengenakan gaun elegan berwarna merah marun. Dia melangkah percaya diri menuju resepsionis.

"Saya ingin bertemu dengan Pak Damar. Katakan, Laras datang."

Nama itu seperti petir menyambar. Naira yang kebetulan lewat langsung menoleh. Laras. Nama yang hanya dia dengar dari obrolan samar Damar, wanita yang dijodohkan oleh keluarganya.

Di ruang direktur, Damar terkejut saat Laras masuk tanpa permisi. Wanita itu langsung duduk dengan santai.

"Kamu masih belum bilang apa pun ke orang tuamu, ya? Tentang penundaan pernikahan kita?"

"Aku sibuk, Laras. Aku bilang, aku butuh waktu."

"Jangan terlalu lama, sayang. Mereka sudah mulai curiga. Dan jangan lupa, Ayahmu punya detektif langganan. Jika mereka tahu kamu sudah menikah, semuanya bisa kacau."

Damar mengangguk perlahan.

Sementara itu, Naira berdiri di balik pintu, mendengar semuanya. Tangannya mengepal. Rasanya seperti disayat pelan-pelan. Ia tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari mulut wanita itu membuatnya seperti tidak bernapas.

Hari-hari berikutnya, Naira mulai menjauh. Ia tetap bekerja profesional, tapi hubungannya dengan Damar semakin merenggang. Mereka tak lagi pulang bersama. Di apartemen, Damar sering lembur atau tidur di kantor.

Satu malam, Naira memberanikan diri menulis surat. Sebuah surat sederhana berisi perasaannya.

"Dam,

Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa mencintai diriku sendiri jika terus begini. Kita sudah terlalu jauh dalam diam. Jika aku harus memilih antara kamu dan harga diriku, mungkin kali ini aku ingin memilih diriku dulu.

-Naira."

Ia meletakkan surat itu di meja kerja Damar, lalu mengemasi koper kecil. Air mata menetes saat ia menyentuh kenangan yang belum lama tercipta. Ia keluar dari apartemen dengan langkah pelan, tapi pasti.

Di tempat lain, Damar membaca surat itu sambil terduduk lemas. Untuk pertama kalinya, ia merasakan panik yang tak bisa ia sembunyikan.

More Chapters