LightReader

Chapter 5 - BAB 5: NAMA YANG MENGGEMPARKAN DUNIA

Raja Alaric IV duduk tenang di singgasananya, namun pandangannya tajam mengamati pemuda asing yang berdiri di tengah ruangan megah itu. Para petinggi kerajaan, termasuk Panglima Aldebrand, Penasehat Liam, dan Ksatria Agung Ser Valiant, ikut hadir dalam audiensi mendadak ini.

Mereka mulai melontarkan pertanyaan satu demi satu.

"Dari mana asalmu?"

"Siapa namamu?"

"Apa tujuanmu datang ke wilayah Eldrador?"

"Kenapa kau bersama Putri Elysia?"

"Apakah kau seorang petualang?"

Rion menjawab dengan tenang dan penuh kehati-hatian, suaranya tetap tenang walau pandangan mata semua orang menusuk dirinya.

"Aku tidak ingat banyak… Aku pernah diserang monster dan kehilangan kesadaran. Saat sadar, aku sudah berada di luar dungeon."

Ia berhenti sejenak, lalu berkata mantap,

"Namaku Rion Aethoria."

Seketika ruangan sunyi. Nama itu bergema seperti mantra kuno yang mengguncang hati mereka.

Panglima Aldebrand menoleh cepat ke arah raja dan berbisik, "Yang Mulia… Aethoria… Bukankah itu nama negeri peri yang tak pernah diketahui lokasinya?"

Raja Alaric menatap lurus ke arah Rion, lalu menjawab pelan, “Benar. Nama yang hanya hidup dalam legenda.”

Diam-diam, raja memberi isyarat pada Penasehat Liam.

"Liam, gunakan Skill Pengamatan-mu. Lihat status anak itu... tanpa menimbulkan kecurigaan."

Liam mengangguk malas, mengira ini hanya perintah remeh. Ia menggumam, "Paling juga hanya anak desa yang tersesat." Namun, saat ia mengaktifkan Skill: Penetrating Gaze (Tingkat-S) dan melihat status Rion...

STATUS

Nama: Rion Aethoria

Usia: 16 tahun

Level: 99+

Mana: ???

Skill:

Glacier Dominion – Mengendalikan es dalam skala besar hingga membekukan wilayah luas.

Frozen Rebirth – Mengembalikan tubuh ke kondisi sempurna setelah mati, satu kali per hari.

Veil of Anonymity – Menyembunyikan status, mana, dan aura dari semua bentuk deteksi.

Mata Liam membelalak. Ia terpaku. "Apa... status macam apa ini?!"

"Ada apa, Liam?" tanya Raja Alaric.

"T-Tidak, bukan apa-apa…" jawab Liam cepat, tapi keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dalam hatinya ia berteriak, Itu bukan status manusia biasa. Itu... setara dengan dewa muda!

Status itu hanya muncul sekejap sebelum menghilang kembali, seolah melindungi pemiliknya. Liam tahu ini bukan pemuda biasa.

Liam pun segera berbisik pada raja. "Yang Mulia, mohon suruh Tuan Putri dan anak itu keluar. Aku harus bicara empat mata."

Alaric mengangguk, lalu bersuara, "Elysia, anak itu terlihat bosan. Ajaklah ia berkeliling istana sebentar."

"Baik, Ayah." jawab Elysia dengan senyum ceria. Ia lalu menoleh pada Rion. "Ayo, Rion. Aku akan tunjukkan keindahan istanaku."

Rion sedikit terkejut mendengar "istana ku." Tatapannya menyipit pelan.

"Jadi... dia seorang putri?" gumamnya dalam hati.

Saat mereka berjalan menyusuri koridor emas dan taman istana, Rion mencuri pandang ke arah Elysia. Dalam benaknya, ada keraguan, kekaguman, dan sedikit waspada.

“Dia menyembunyikan identitasnya dariku… tapi tidak tampak berbahaya. Apa dia hanya gadis biasa yang ingin lepas dari statusnya? Tapi kenapa rasanya aku percaya padanya begitu saja…”

Elysia menoleh ke arah Rion dan tersenyum lembut. "Kau melamun?"

"Ah, tidak. Aku hanya berpikir... istanamu ini sangat besar," jawab Rion cepat, menyembunyikan perasaannya.

"Kalau begitu, aku akan tunjukkan tempat favoritku. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?" katanya sambil berkedip nakal.

Rion sedikit tersenyum. “Baiklah, Putri Rahasia.”

Wajah Elysia memerah. “Jangan panggil aku begitu…”

Sementara itu, kembali di dalam ruangan audiensi, suasana berubah menjadi serius.

"Jadi... apa yang kau lihat, Liam?" tanya Raja Alaric.

Liam menarik napas dalam-dalam. "Level 99 lebih. Mana tak terbaca. Tiga skill yang sangat langka. Salah satunya bahkan bisa menyembunyikan seluruh eksistensinya. Aku hampir tidak bisa melihatnya…"

Ksatria Ser Valiant membantah, "Kau pasti salah. Aku tidak merasakan sedikit pun tekanan mana dari anak itu. Mana mungkin dia—"

"Tidak!" potong Liam. "Justru itulah bahayanya. Jika benar dia bisa menyembunyikan semuanya... maka siapa dia sebenarnya?"

Panglima Aldebrand berdiri dari kursinya. "Kita tidak boleh sembarangan mengambil keputusan. Tapi yang jelas... pemuda itu bukan orang biasa."

Raja Alaric bangkit dari singgasana. Suaranya tegas.

"Baik. Untuk saat ini, kebenaran tentang dirinya menjadi rahasia antara kita berempat. Tak ada yang lain boleh tahu."

"Setuju," jawab Liam, Aldebrand, dan Valiant serempak.

Namun dalam hati mereka… benih ketakutan dan rasa penasaran telah tumbuh terhadap satu nama:

Rion Aethoria.

kembali ke Rion dan Elysia

 

Rion mengikuti langkah Elysia menyusuri lorong-lorong istana yang semakin sepi dan jauh dari pusat keramaian. Pilar-pilar batu putih berhiaskan sulur emas dan jendela kaca patri memantulkan cahaya sore yang hangat. Di bawah cahaya itu, rambut perak Elysia tampak bersinar lembut.

“Tempat ini tidak banyak orang tahu,” katanya sambil menoleh ke Rion, senyumnya lembut. “Bahkan pelayan istana pun jarang ke sini.”

Rion tak menjawab, hanya mengamati. Langkah Elysia ringan, seperti menari, dan ia berjalan dengan percaya diri tanpa ragu. Rion bisa merasakan bahwa tempat ini penting baginya—bukan sekadar tempat sembunyi.

Akhirnya mereka tiba di ujung koridor, di sebuah pintu kayu kecil yang nyaris tersembunyi di balik tirai ungu tua. Elysia mendorongnya perlahan.

Di balik pintu, terbentang taman rahasia kecil. Pohon sakura bermekaran meski bukan musimnya, dan kolam bening memantulkan langit jingga. Bangku marmer putih berdiri di tengah, di bawah lengkungan tanaman rambat yang membentuk semacam kanopi alami.

“Ini...” Rion menatap sekeliling, untuk pertama kalinya tampak sedikit terpesona. “Bukan tempat biasa.”

Elysia duduk di bangku, menepuk sisi kosongnya. “Dulu, ibu sering membawaku ke sini. Saat beliau masih hidup.”

Rion perlahan duduk di sampingnya. Ada jeda hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma manis bunga-bunga.

“Kau selalu bersikap tenang,” kata Elysia pelan. “Tapi kurasa... kau menyembunyikan banyak hal, ya?”

Rion menoleh pelan. Tatapan mereka bertemu. “Kau juga,” jawabnya tanpa senyum, tapi nada suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kau menyembunyikan siapa dirimu saat kita pertama bertemu.”

Elysia menunduk, menahan senyum malu. “Aku hanya ingin tahu... bagaimana rasanya dikenal sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai putri kerajaan.”

“Lalu, menurutmu aku mengenalmu?” Rion bertanya, serius.

Elysia menatapnya—matanya jernih seperti kolam di depannya. “Aku ingin kau mengenalku... sebagai Elysia. Bukan Putri Kerajaan Eldrador.”

Diam. Rion tak langsung menjawab. Tapi tatapannya melembut. “Baiklah. Dan kau bisa mengenalku sebagai Rion. Bukan siapa pun yang kau curigai.”

Elysia tertawa kecil. “Kesepakatan yang aneh... tapi aku suka.”

Mereka duduk diam beberapa saat, membiarkan waktu mengalir perlahan. Bunga-bunga beterbangan tertiup angin dan jatuh di bahu Elysia. Rion mengangkat tangannya dan pelan-pelan menyibakkan kelopak itu dari rambutnya.

Elysia terpaku, wajahnya memerah. “Kau... kenapa...”

“Kelopak itu,” ujar Rion datar. “Mengganggu pandangan.”

Elysia tertawa pelan, menutup mulutnya. Tapi pipinya yang merah tak bisa ia sembunyikan. “Kau benar-benar… sulit ditebak.”

Rion menatap kolam yang tenang, lalu melirik ke langit. Cahaya senja perlahan memudar. Namun entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak ia terbangun di dunia ini, dadanya terasa hangat.

 

Senja perlahan berganti malam. Cahaya jingga berubah menjadi ungu kelam, sementara bintang-bintang pertama mulai muncul di langit. Di taman rahasia itu, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Rion duduk tenang, tapi pikirannya mulai hanyut—semua yang ia alami terlalu cepat, terlalu asing... namun entah kenapa, bersama Elysia, waktu terasa melambat.

“Rion,” suara Elysia lirih memecah keheningan. “Boleh aku jujur padamu?”

Rion mengangguk pelan. “Tentu.”

Elysia menarik napas dalam. “Kerajaan kami... belum lama ini memanggil pahlawan dari dunia lain.”

Jantung Rion langsung berdegup lebih cepat. Ia menoleh, sorot matanya berubah tajam.

“Dunia lain?” ulangnya dengan nada datar, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Elysia tak menyadari perubahan itu. Ia melanjutkan dengan suara lirih, “Ya... Para pahlawan itu berasal dari dunia yang berbeda. Mereka dipanggil oleh ritual kuno di ruang suci kerajaan untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.”

Rion menunduk, matanya menerawang. Apa itu dunia asalku? Apakah aku juga bagian dari mereka? Kenapa aku terpisah? Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mendengarkan.

“Sekarang, para pahlawan itu sedang belajar dan berlatih di Akademi Astraea,” lanjut Elysia. “Akademi itu adalah tempat terkuat di benua ini... hanya mereka yang memiliki bakat luar biasa dalam sihir atau pertarungan yang bisa masuk ke sana.”

Rion diam, namun matanya tampak berpikir. Astraea... para pahlawan... jika mereka berasal dari dunia yang sama denganku, mungkin aku akan menemukan jawabannya di sana.

“Aku juga sedang belajar sihir di sana,” kata Elysia tiba-tiba, senyumnya kembali hangat. “Dan aku ingin kau ikut bersamaku.”

Rion menatapnya. “Kenapa?”

Elysia menatap matanya dengan tulus. “Aku tak tahu siapa kau sebenarnya, Rion. Tapi aku tahu... kau bukan orang biasa. Bakatmu, aura tenangmu, caramu berbicara... semua membuatku yakin, kau akan menemukan tempatmu di sana.”

Rion terdiam sejenak. Angin malam bertiup, menerbangkan beberapa kelopak bunga sakura. Ia berdiri perlahan, menatap langit.

“Akademi Astraea, ya…” gumamnya. “Mungkin... memang sudah waktunya aku mulai mencari jawaban.”

Ia menoleh pada Elysia dan mengangguk. “Baik. Aku akan ikut bersamamu.”

Elysia tersenyum lega. “Terima kasih, Rion. Aku yakin... ini akan menjadi awal dari banyak hal besar.”

Rion menatapnya. Kali ini, untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Tapi bukan karena pertarungan melainkan karena kehangatan yang baru saja ia alami.

Mungkin… dunia ini tidak sepenuhnya buruk.

More Chapters