LightReader

Chapter 13 - BAB 13: AKHIR SANG RAJA KEGELAPAN DAN KEBENARAN DI BALIK BAYANGAN

Velgrath, yang kini kelelahan dan tubuhnya penuh luka akibat pertarungan sengit melawan Rion, kembali memalingkan perhatian pada Elyndor dan para pahlawan yang tersisa.

“Cukup bermain,” gumamnya lirih, sebelum merentangkan kedua tangannya ke udara. “Sihir akhir... Arkh’Noir: Thousand Dread Bows.”

Langit-langit istana runtuh, berubah menjadi lorong kegelapan. Ribuan busur panah hitam muncul dari atas, masing-masing diselimuti aura mengerikan yang menjerit seperti arwah.

“MATILAH KALIAN SEMUA!” teriak Velgrath, melepaskan ribuan panah ke arah Elyndor, Haruto, Aiko, Rin, Daiki, Yui, dan Elysia.

Namun—sebelum panah itu menghantam—

“Ice Domain.”

Seketika, seluruh ruangan membeku. Kristal-kristal es menjulang dari tanah, dinding, bahkan langit-langit. Panah-panah itu terhenti di udara, terbungkus es yang memancarkan cahaya biru berkilau.

“Tidak... ini...?” gumam Elysia, matanya melebar. “Ini... ini sama seperti waktu itu... saat melawan Azazil…”

Aiko dan Haruto saling pandang. “Kalau begitu... ini benar-benar dia…”

Velgrath memundurkan langkah, wajahnya penuh keterkejutan. “Sekarang apa lagi?!”

Sosok berdarah bangkit perlahan dari genangan es merah. Tubuhnya berlumuran luka, tombak hitam masih tertancap di dadanya. Tapi tatapan matanya begitu dingin... dan tenang.

“Padahal aku sudah mencoba mengalah,” ujar Rion datar, suaranya bergema tenang di tengah keheningan beku. “Kubiarkan kau berpikir aku mati, agar kau kabur dan tidak menyentuh mereka…”

Ia mendongak. “Tapi ternyata kau malah mengincar teman-temanku.”

Velgrath menggertakkan gigi. “Kau... kenapa kau masih hidup?! Apa kau tak bisa mati?!”

Rion mencabut tombak dari dadanya. Darah segar mengalir deras, tapi tak membuatnya goyah. Ia hanya tersenyum tipis.

“Sayangnya... aku memang susah mati.”

Dengan satu langkah, Rion menghilang dari pandangan.

Velgrath bahkan tak sempat bereaksi. Dalam sekejap, tubuhnya terpental ke udara oleh hantaman es murni yang meledak dari bawah tanah.

“Glacial Requiem!” seru Rion.

Ratusan pedang es muncul dan mengelilingi Velgrath dari segala arah. Velgrath mencoba membalas, namun tubuhnya tak bisa bergerak. Udara di sekitarnya telah dibekukan pada tingkat molekuler.

“Terima kasih... atas hiburannya,” bisik Rion.

Dengan jentikan jari, pedang-pedang es menembus tubuh Velgrath dari segala sisi.

ZAAKKK—KRAAAKKK—!

Tubuh Velgrath membeku... lalu hancur berkeping-keping bersama teriakan terakhirnya yang tertelan oleh diamnya Domain Es.

Keheningan menyelimuti ruangan. Kristal perlahan mencair, menyisakan aroma dingin dan ketegangan yang masih terasa.

Semua hanya bisa menatap Rion yang berdiri tegak di tengah medan pertempuran—dengan darah menetes, namun ekspresi damai di wajahnya.

Elysia menutup mulutnya, air mata jatuh. “Dia… dia melindungi kami…”

Elyndor menatap langit-langit istana yang runtuh. “Anak ini… bukan manusia biasa. Dia adalah sesuatu yang jauh… lebih dalam.”

Rion menoleh perlahan ke arah mereka semua, lalu tersenyum kecil.

“Sekarang... saatnya istirahat.”

Tentu! Berikut kelanjutan cerita yang sudah dirapikan, dengan reaksi para pahlawan, penjelasan Rion, dan transisi yang tetap kuat dan emosional:

 

Suasana istana yang semula dipenuhi dentuman dan teriakan kini hanya menyisakan keheningan. Potongan es mencair perlahan, meneteskan air ke lantai batu yang retak. Sisa pertempuran terlihat jelas—reruntuhan, darah, dan pecahan sihir yang masih menguap di udara.

Para pahlawan berdiri terpaku. Beberapa terluka, beberapa masih menggigil karena rasa takut... namun semua mata tertuju pada satu sosok.

Rion.

Dia berdiri dengan tubuh terluka, darah mengalir di sisi wajah dan dadanya, tapi sorot matanya... tetap tajam. Tenang.

“Dia... dia benar-benar mengalahkan Velgrath...” gumam Haruto, matanya membelalak tak percaya.

Yui menunduk, tangannya gemetar. “Aku kira kita akan mati... tapi dia... Rion menyelamatkan kita semua.”

Aiko menatap Rion dengan wajah campur aduk antara rasa syukur dan bingung. “Tapi tadi... bukankah dia sudah mati?”

Elyndor melangkah maju, menatap Rion tajam. “Itu bukan dia... yang mati tadi... itu bukan tubuh Rion.”

Rion menoleh perlahan ke arah mereka. Elysia maju satu langkah, wajahnya penuh tanda tanya.

“Rion... kenapa Azazil harus menyamar seperti kau dan bertarung dengan Velgrath?” tanyanya pelan.

Rion menarik napas pendek, lalu menjawab dengan tenang, wajahnya kembali dingin tanpa ekspresi.

“Aku bukan bermaksud menipu. Hanya saja, saat kami tiba di istana ini, aku mendengar suara seorang gadis yang meminta tolong... suaranya berasal dari lorong terdalam. Maka, aku memerintahkan Azazil untuk menyamar sebagai diriku dan menghadapi Velgrath. Sementara itu... aku pergi mengecek suara itu.”

Elysia mengernyit, hatinya merasa tak tenang. “Suara gadis...? Jadi siapa yang kau temukan di sana?”

Rion menunduk sesaat, lalu menatap Elysia kembali.

“Putri dari kerajaan Thorvania ini. Ia dikurung di ruang bawah tanah oleh Velgrath, dijadikan semacam tumbal untuk ritual peningkatan kekuatan kegelapan. Jika aku terlambat sedikit saja... mungkin dia sudah mati.”

Seluruh ruangan terdiam. Tidak ada yang menyangka, di balik pertarungan brutal itu, Rion sempat pergi menyelamatkan nyawa lain.

Daiki ternganga. “Kau menyelamatkan seseorang... sambil bertarung melawan Velgrath?”

Rion hanya mengangguk pelan, lalu duduk bersandar di pilar yang setengah runtuh.

Elyndor menyilangkan tangan, menatap Rion dengan mata dalam. “Azazil... seorang Raja Iblis... menjadi pelayanmu dan rela menyamar untuk mempertaruhkan nyawa. Apa sebenarnya... kau itu siapa, Rion?”

Rion menatap Elyndor dengan datar. “Pertanyaan bagus, tapi bukan untuk sekarang. Aku lelah.”

Semua terdiam. Namun dalam diam itu, ada rasa hormat yang tumbuh dalam hati mereka. Rion bukan hanya pahlawan... dia adalah kekuatan yang berdiri di antara terang dan gelap—yang tidak dimengerti, tapi perlahan mulai dipercaya.

Elysia melirik Rion, matanya melembut. “Kau... selalu membuatku khawatir.”

Rion melirik ke arahnya, lalu mengalihkan pandangan. “Maaf... sudah membuatmu takut.”

Untuk pertama kalinya, Elysia tersenyum tipis meski air matanya belum kering. “Asal kau kembali... itu sudah cukup.”

 

More Chapters