LightReader

Chapter 3 - Pengejaran di Tengah Badai

Laut bergejolak seperti binatang yang terluka, ombak menampar lambung Ksatria Ombak dengan kemarahan yang tak kenal ampun. Langit di atas Teluk Karang telah berubah menjadi lautan abu, petir menyambar membelah cakrawala, dan hujan turun seperti tombak. Aruna berdiri di dek, tangannya mencengkeram papan logam dengan kristal hijau yang masih berdenyut di tengahnya, seolah memiliki nyawa sendiri. Denyut itu terasa di telapak tangannya, hangat, hidup, dan, yang paling membuatnya gelisah, seperti memanggil sesuatu dari kegelapan laut.

Di kejauhan, struktur logam raksasa yang muncul dari air kini bergerak lebih jelas, lampu-lampunya berkedip merah seperti mata predator. Simbol lingkaran dan garis miring di sisinya, sama seperti yang ada di papan logam, peti besi, dan layar kapal hitam Pemburu Bayang, terlihat jelas meski kabut badai mulai menyelimuti. Kapal hitam itu sendiri masih mengejar, sinar senjata aneh mereka sesekali membelah udara, menghantam air di sekitar Ksatria Ombak dengan ledakan uap dan busa.

"Dren!" teriak Aruna, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin.

Dia berbalik menghadapi mantan bajak laut itu, yang kini berdiri di dekat meriam tombak, wajahnya seperti batu.

"Kau bilang ini kunci! Kunci untuk apa? Dan jangan coba berbohong lagi!" Dren tidak langsung menjawab.

Matanya beralih dari papan logam di tangan Aruna ke struktur raksasa di cakrawala, lalu kembali ke Aruna.

"Kau tidak akan suka jawabannya," katanya akhirnya, suaranya rendah tapi tajam, seperti pisau yang ditarik perlahan dari sarungnya.

"Tapi jika kau ingin hidup, simpan benda itu dan bantu kami menjaga kapal ini tetap utuh." Sebelum Aruna bisa memaksa jawaban, Kasim berteriak dari roda kemudi.

"Aruna! Kita tidak bisa lari selamanya! Kapal hitam itu lebih cepat, dan struktur itu… apa pun itu, sedang mendekat! Kita butuh rencana, sekarang!" Aruna merasakan dadanya sesak.

Pikirannya berputar, mencoba menyusun potongan-potongan yang masih kabur: peta, peti besi, Naga Laut, Pemburu Bayang, dan sekarang struktur logam yang seolah bangkit dari legenda. Dia bukan hanya penyelam relik lagi, dia terjebak dalam sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang bisa menenggelamkan mereka semua.

"Mira!" panggil Aruna, berlari ke arah navigator muda yang sedang berjuang mengikat layar yang robek.

"Peta itu, kau bilang ada tanda lain. Di mana?" Mira, wajahnya pucat tapi matanya penuh tekad, mengangguk.

Dia menarik gulungan kulit ikan pari dari sabuknya, membentangkannya di atas peti kayu yang basah. Angin nyaris merobek peta itu, tapi Mira menahannya dengan tangan yang gemetar.

"Di sini," katanya, menunjuk simbol lingkaran dan garis miring di sudut peta.

"Ini menunjuk ke arah timur laut, ke Kepulauan Pecah. Tapi itu bukan tempat yang aman. Badai di sana tidak pernah berhenti, dan ada cerita tentang… sesuatu yang menjaga pulau-pulau itu."

"Sesuatu seperti Naga Laut?" tanya Aruna, alisnya terangkat.

Mira menggeleng.

"Lebih buruk. Orang-orang di dermaga menyebutnya Penjaga Kabut." Aruna tidak punya waktu untuk mencerna cerita baru.

Sinar lain dari kapal hitam menghantam air hanya beberapa meter dari lambung kapal, membuat Ksatria Ombak bergoyang keras. Tiro, pengintai muda, berteriak dari menara, "Mereka menyiapkan tembakan lagi! Dan ada penyelam di air, menuju kita!"

"Penyelam?" Kasim mengerutkan kening, berjuang menjaga roda kemudi.

"Mereka gila, menyelam di badai seperti ini!"

"Bukan gila," sahut Dren, suaranya dingin.

"Mereka Pemburu Bayang. Mereka tidak peduli nyawa, hanya tujuan. Dan tujuan mereka ada di tanganmu, Aruna." Aruna menatap papan logam itu lagi, kristal hijau di tengahnya berdenyut lebih cepat, seolah menanggapi badai atau kehadiran struktur raksasa itu.

Dia tahu dia tidak bisa menyerahkannya, bukan karena nilai relik, tapi karena firasat bahwa benda ini adalah kunci ke Tanah Fajar, harapan terakhir untuk dunia yang sekarat. Tapi mempertahankannya berarti mempertaruhkan nyawa kru, kapal, dan mungkin lebih.

"Ke Kepulauan Pecah," katanya akhirnya, suaranya tegas meski jantungnya berdegup kencang.

"Jika peta ini menunjuk ke sana, mungkin ada jawaban di pulau-pulau itu. Kita bisa kehilangan Pemburu Bayang di badai."

"Dan Penjaga Kabut?" tanya Mira, suaranya penuh keraguan.

"Kita hadapi nanti," jawab Aruna.

"Satu monster sekaligus." Kasim mendengus, tapi ada kilau bangga di matanya.

"Baiklah, Nak. Pegang erat, semua orang! Kita menuju neraka!" Ksatria Ombak berbelok tajam, layarnya menangkap angin badai, mendorong kapal melaju ke timur laut.

Aruna membantu Mira mengikat tali layar, tangannya bergerak cepat meski air hujan membutakan pandangannya. Di belakang, kapal hitam terus mengejar, sinar senjata mereka kini lebih sering meleset karena ombak yang semakin ganas. Tapi struktur logam raksasa itu, yang kini Aruna yakini bukan sekadar pulau buatan, tapi semacam mesin kuno, tetap mendekat, lampu merahnya berkedip seperti detak jantung.

Tiba-tiba, dek berguncang, bukan karena ombak, tapi sesuatu yang menghantam lambung kapal dari bawah. Aruna tersandung, tangannya mencengkeram papan logam erat-erat. Tiro berteriak dari menara.

"Penyelam! Mereka di lambung! Mereka mencoba masuk!" Dren bergerak cepat, tombak panjangnya sudah di tangan.

"Mereka tidak akan masuk begitu saja," katanya, berlari ke sisi kapal.

Aruna mengikuti, menarik tombak kecil dari sabuknya. Di sisi lambung, dia melihat bayang-bayang bergerak di air, penyelam dengan pakaian aneh, dilengkapi tabung oksigen yang berkilau seperti logam cair.

Salah satu dari mereka memegang alat yang menyala merah, mencoba memotong kayu lambung.

"Dren, apa yang mereka inginkan dari benda ini?" tanya Aruna, suaranya penuh amarah.

"Katakan sekarang, atau aku bersumpah..."

"Bukan waktunya!" potong Dren, lalu melompat ke pagar dek, tombaknya ditusukkan ke air.

Teriakan teredam terdengar dari bawah, dan air di sekitar lambung berubah merah. Tapi penyelam lain terus bekerja, alat mereka mengeluarkan percikan api yang tahan air.Aruna tidak menunggu. Dia meraih meriam tombak terdekat, yang sudah disiapkan Kasim, dan membidik ke air.

"Tiro, arahkan aku!" teriaknya.

"Sedikit ke kiri!" balas Tiro, suaranya nyaris hilang di badai.

"Sekarang!" Aruna menembak.

Tombak besi melesat, menghantam salah satu penyelam tepat di dada. Tubuh itu terhuyung, lalu tenggelam, alat pemotongnya jatuh ke dasar laut. Tapi sebelum Aruna bisa merayakan, lambung kapal berguncang lagi, kali ini lebih keras. Suara kayu retak menggema, dan air mulai merembes ke dek bawah.

"Mereka membuat lubang!" teriak Mira, yang kini berlari ke tangga kabin.

"Kita akan tenggelam jika tidak menghentikan mereka!" Aruna menatap papan logam di tangannya, lalu ke Dren, yang baru saja menarik tombaknya dari air, darah menetes dari ujungnya.

"Dren, jika kau tidak bicara sekarang, aku lempar benda ini ke laut dan kita selesai!" Dren menatapnya, napasnya tersengal.

Untuk pertama kalinya, topeng ketenangannya retak.

"Itu kunci ke Pintu Fajar," katanya, suaranya bergetar.

"Struktur itu di cakrawala, itu bagian dari sistem kuno, dibuat sebelum dunia tenggelam. Papan itu membuka pintu, tapi bukan ke Tanah Fajar seperti yang kau pikir. Itu ke… sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa menghidupkan kembali dunia, atau menghancurkannya."

"Sesuatu yang lain?" Aruna mendekat, tombaknya terangkat.

"Apa itu, Dren? Dan bagaimana kau tahu semua ini?" Dren membuka mulut, tapi sebelum dia bisa menjawab, dek berguncang lagi, dan suara ledakan keras terdengar dari bawah.

Mira muncul dari tangga, wajahnya penuh lumpur dan air.

"Mereka masuk! Tiga penyelam, di ruang mesin! Mereka membawa senjata seperti di kapal hitam!" Aruna tidak berpikir.

Dia menyelipkan papan logam ke sabuknya, mengencangkan tali pengaman, dan berlari ke tangga.

"Dren, Mira, ikut aku! Kasim, jaga kapal!"

"Aruna, kau gila!" teriak Kasim, tapi dia sudah menghilang ke bawah dek.

Ruang mesin Ksatria Ombak adalah labirin pipa berkarat dan roda gigi tua, bau minyak dan garam menyengat di udara. Cahaya lentera berikutnya adalah lampu minyak yang berkedip-kedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding. Aruna mendengar suara langkah kaki dan logam berdentang di kejauhan. Dia menarik tombaknya, bergerak pelan, Dren dan Mira di belakangnya.

Di sudut ruangan, tiga penyelam Pemburu Bayang berdiri di dekat mesin utama, salah satunya memegang senjata sinar yang sama seperti di kapal hitam. Mereka mengenakan topeng logam yang menutupi wajah, tapi mata mereka, dingin, tanpa emosi, terlihat jelas.

Salah satu dari mereka mengangkat senjata, tapi Aruna lebih cepat. Dia melempar tombaknya, menghantam bahu penyelam itu, membuatnya tersandung. Dren bergerak seperti bayangan, tombak panjangnya menebas penyelam kedua sebelum dia bisa bereaksi.

Tapi penyelam ketiga lebih cepat. Dia menembak, sinar merah membakar udara, menghantam dinding di belakang Aruna. Dia berguling, menghindari tembakan kedua, dan menyerang, tombak kecilnya menusuk sisi penyelam itu. Pria itu jatuh, tapi tidak sebelum menekan alat di tangannya. Suara dentuman keras mengguncang ruang mesin, dan asap mulai memenuhi udara.

"Mereka meledakkan mesin!" teriak Mira, berlari ke panel kontrol.

"Kita akan kehilangan tenaga jika aku tidak bisa memperbaikinya!" Aruna menatap Dren, yang kini berdiri di atas tubuh penyelam, napasnya tersengal.

"Kau tahu lebih dari yang kau ceritakan," katanya, suaranya penuh amarah.

"Jika kita selamat dari ini, kau akan menjelaskan semuanya." Dren hanya mengangguk, matanya penuh bayang-bayang.

"Jika kita selamat," katanya.

Asap semakin tebal, dan suara badai di atas semakin keras. Aruna meraih papan logam di sabuknya, kristal hijau itu berdenyut lebih cepat, seolah tahu bahwa waktu mereka hampir habis. Di luar, struktur logam raksasa itu kini begitu dekat sehingga lampu merahnya menerangi dek Ksatria Ombak.

Dan di kejauhan, melalui kabut badai, Aruna melihat sesuatu yang lain, bayang-bayang besar, bukan kapal, bukan mesin, tapi sesuatu yang hidup, meliuk di antara ombak, dengan mata yang berkilau seperti api.

Penjaga Kabut. Aruna merasa jantungnya terhenti. Mereka terjebak antara Pemburu Bayang, mesin kuno, dan monster legenda. Dan papan logam di tangannya, kunci ke Pintu Fajar, mungkin adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, atau satu-satunya hal yang akan menghancurkan mereka semua.

Badai mengamuk, kapal bergoyang, dan di tengah kekacauan, kristal hijau itu menyala terang, mengeluarkan suara rendah seperti nyanyian, seolah memanggil sesuatu dari kedalaman laut. Aruna menatapnya, tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, dunia yang dia kenal akan berubah selamanya.

More Chapters