LightReader

Chapter 8 - Bab 8: Panggung yang Lebih Luas, Godaan yang Lebih Besar

Jakarta. Kota yang dulu hanya ada di layar televisi atau surat kabar, kini menyambut Rina dengan sorotan kamera dan Berbagai pejabat tinggi.

Langkah kakinya menyentuh lantai marmer gedung kementerian, sementara suara sepatu orang-orang sibuk berdenting seperti irama asing. Ia mengenakan batik sederhana, berbeda dari para undangan lain yang tampil glamor.

Seorang wanita dengan blazer elegan menyalaminya."Ibu Rina, saya Aurel dari tim komunikasi menteri. Kami sangat terkesan dengan perjuangan Anda. Tapi sekarang, dunia Anda akan lebih besar. Kami akan membantu memoles citra, gaya bicara dan ya, cara Anda tampil."

Rina hanya tersenyum. "Maaf, Bu Aurel. Saya tidak sedang melamar jadi artis. Saya hanya ingin anak-anak di kampung punya buku, dan guru punya suara."

Ucapan itu membuat beberapa staf saling mendengar dan memandang. Namun, Aurel tertawa kecil, menutupi rasa terkejutnya.

"Kita lihat nanti ya, Bu Rina."

Beberapa hari berikutnya, Rina mulai berkeliling ke berbagai daerah. Ia menyentuh hati masyarakat dengan pidatonya yang sederhana namun menyentuh:

"Saya tidak datang sebagai orang pintar. Saya datang sebagai orang yang pernah dihina, tenggelam, dan tetap memilih bangkit."

Namun di balik sorak dan tepuk tangan, Rina mulai merasakan tekanan lain. Banyak pihak yang tidak suka. Ada yang bilang ia hanya "jualan derita", ada yang menyebutnya "boneka pencitraan".

Bahkan, pada suatu malam, ia mendapat tawaran dari sebuah perusahaan besar:

"Kami ingin membantu dana taman membaca Anda, asal Anda mau menjadi brand Ambassador kami. Ganti nama program menjadi 'Literasi Sejahtera Bersama Primax Corp'."

Rina menatap pria di hadapannya. Matanya tajam.

"Anak-anak di kampung saya tidak butuh nama besar. Mereka butuh ketulusan. Dan saya tidak menjual cita-cita mereka demi iklan."

Di hari ulang tahun kemerdekaan, Rina diundang untuk pidato nasional. Disiarkan langsung ke seluruh negeri.

Ia berdiri di podium besar, mikrofon menunggu. Jantungnya berdebar. Tapi dia ingat senyum anak-anak di bawah pohon itu. Ia ingat tangan Arsya yang selalu menggenggamnya saat dunia gelap.

"Negeri ini tidak akan berubah oleh orang-orang hebat di atas panggung," ucapnya lantang. "Negeri ini akan berubah oleh ibu-ibu di dapur yang mengajari anaknya membaca. Oleh petani yang tetap sekolah meski tubuhnya lelah. Dan oleh guru-guru tanpa gaji yang tetap berdiri meski tanpa upah."

Tepuk tangan meledak. Air mata mengalir. Kamera merekam. Tapi Rina hanya menatap langit.

Dalam hati, ia berbisik:

Aku sudah jauh dari kampung. Tapi aku tidak akan pernah jauh dari hati nurani.

Malam itu, setelah pidato nasional yang mengguncang hati banyak orang, Rina duduk sendiri di kamar hotel. Lampu kota Jakarta berkedip di balik jendela. Tapi pikirannya melayang jauh ke desa. Ke rumah sederhana. Ke tawa anak-anak. Dan ke pelukan hangat Arsya.

Tiba-tiba, ponselnya berdering.

Nama pengirim: Bu Sari Desa Rengganis

"Rina maaf ganggu. Ada kabar buruk rumah baca terbakar lagi."

Dunia seakan berhenti. Rina langsung berdiri. Suaranya tercekat. "Apa? Bagaimana bisa?"

"Kami belum tahu siapa pelakunya tapi orang-orang bilang, ada yang tidak suka kamu jadi terkenal. Mereka anggap kamu melupakan desa demi popularitas."

Rina menggigit bibir. Matanya panas. Ini lebih dari sekadar rumah baca. Ini adalah akar perjuangannya dan sekarang akar itu sedang diinjak-injak.

Keesokan harinya, Rina menolak wawancara TV dan undangan talk show. Ia hanya berkata singkat pada asistennya, "Saya pulang."

Setibanya di desa, aroma tanah basah menyambutnya. Tapi bukan dengan senyuman melainkan kekacauan. Sisa abu, papan hangus, dan tatapan tajam dari beberapa warga.

"Lihat, baru sebentar jadi orang kota, sudah lupa kampung!"

"Cuma peduli kamera, bukan kami!"

Suara-suara itu menyayat hati. Tapi sebelum Rina menjawab, Arsya melangkah maju. Dengan mata tajam dan suara penuh api.

"Cukup!"

Ia berdiri di tengah kerumunan.

"Rina mungkin pergi ke kota. Tapi dia pergi untuk kita. Bukan meninggalkan kita. Kalian semua tahu, anak-anak kalian bisa baca tulis karena dia! Kalian lupa siapa yang bangun taman baca dari nol?!"

Warga mulai diam. Beberapa menunduk. Rina menahan air mata.

Lalu, perlahan, ia maju dan berkata:

"Aku tidak marah kalian meragukanku. Aku hanya sedih karena yang dulu ikut membangunku, kini justru ikut menjatuhkanku."

Seorang ibu muda menangis dan berlutut di depan Rina. "Maafkan kami, Rina kami takut kehilanganmu. Kami pikir kamu sudah berubah."

Rina memeluk wanita itu. Lalu berdiri tegak dan berkata:

"Kalau rumah kita dibakar, kita bangun lagi. Tapi kali ini kita bangun lebih besar. Lebih kuat. Sampai tak ada satu pun api kebencian yang bisa meruntuhkannya."

Hari itu, seluruh warga kembali bergotong royong. Tak peduli siapa yang membakar, Rina memilih untuk membangun daripada membalas.

Dan malamnya, Arsya datang membawa rancangannya sendiri.

"Sini," katanya, membuka lembaran kertas besar. "Kita bangun taman baca yang bukan cuma dari kayu tapi dari mimpi."

Rina menatapnya. "Kamu selalu percaya, bahkan saat aku sendiri mulai ragu."

Arsya tersenyum. "Karena aku tahu kamu bukan sekadar perempuan kuat. Kamu adalah cahaya untuk tempat ini."

Ketika dunia membakar tempatmu, jangan padam. Jadilah api yang menghangatkan, bukan yang membalas.

Dua minggu setelah kejadian itu, tanah tempat rumah baca lama berdiri kini dipenuhi semangat baru. Para ibu datang membawa bambu, para ayah memikul kayu. Anak-anak membantu mengecat papan dengan warna-warna cerah. Suasana desa berubah bukan karena bantuan luar, tetapi karena hati yang kembali bersatu.

Di tengah keramaian, Rina duduk bersama Arsya di bawah pohon beringin besar.

"Ini bukan cuma bangunan," kata Rina sambil menatap kerangka taman baca yang mulai berdiri. "Ini lambang bahwa kita tidak bisa dihancurkan semudah itu."

Arsya mengangguk. "Dan kamu yang jadi bara semangat itu, Rina. Semua ini tidak akan terjadi tanpa kamu."

Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar. Dua mobil hitam berhenti di dekat lapangan desa. Dari dalamnya, turun beberapa orang berpakaian rapi. Salah satunya wanita tua berambut perak dan berkacamata hitam.

Rina melangkah mendekat. "Selamat datang bisa saya bantu?"

Wanita itu tersenyum. "Saya Ibu Martha. Saya perwakilan dari UNESCO. Kami mendengar perjuangan Anda. Dan kami ingin menjadikan desa ini sebagai model proyek pendidikan mandiri perempuan desa se-Asia Tenggara."

Warga yang mendengar langsung bersorak.

Tapi tak semua senang.

Malamnya, Rina menerima surat misterius di bawah pintu rumahnya. Tulisannya tangan, kasar, dan mengancam:

"Berhenti sekarang, atau kamu akan kehilangan lebih dari sekadar bangunan. Desa ini bukan panggungmu. Ini milik kami."

Rina terdiam. Ia tahu, semakin tinggi ia berdiri, semakin banyak bayangan yang muncul. Tapi kali ini, ia tidak akan mundur.

Ia hanya berkata pada dirinya sendiri:

"Aku pernah dihina, dicaci, dan ditinggalkan. Tapi aku tetap hidup. Dan aku tidak akan berhenti hanya karena ketakutan orang lain."

Keesokan harinya, Rina berdiri di depan warga, memegang surat ancaman itu.

"Seseorang tidak ingin kita maju. Seseorang takut melihat perempuan berdiri di depan. Tapi aku tanya kalian sekarangapakah kita akan diam?"

"Tidak!!" seru warga serempak.

"Apakah kita akan menyerah hanya karena satu surat?!"

"Tidak!!"

"Kalau begitu ayo kita tunjukkan, bahwa dari desa kecil seperti ini, cahaya bisa menembus hingga dunia!"

Sore itu, ketika matahari hampir tenggelam, taman baca baru akhirnya diresmikan. Bukan hanya buku yang tersusun rapi di rak, tapi juga impian. Bukan hanya meja dan kursi yang baru, tapi juga harga diri.

Dan ketika malam turun, Rina berdiri memandangi bangunan itu dari kejauhan, tangan Arsya menggenggam erat tangannya.

"Dulu aku hidup dalam kegelapan," bisik Rina. "Tapi sekarang aku adalah api yang menyalakan cahaya bagi banyak orang."

Tidak ada yang lebih kuat dari seorang perempuan yang pernah dibakar oleh luka lalu menjadikannya nyala semangat.

Hari itu, udara desa Rengganis sejuk dan tenang, namun hati Rina justru bergejolak. Di tangannya ada dua undangan resmi: satu dari UNESCO, mengundangnya sebagai pembicara utama di konferensi pendidikan dunia di Swiss. Yang satu lagi dari Presiden Republik Indonesia sendiri, meminta Rina menjadi penasihat khusus bidang pemberdayaan perempuan desa.

Kabar itu menyebar cepat seperti api di ladang kering. Media nasional datang. Wartawan mondar-mandir di desa. Nama Rina kembali muncul di TV dan media sosial. Namun kali ini, bukan hanya sebagai korban perjuangan tapi simbol harapan dan kebangkitan.

Sore itu, di beranda rumah bambunya, Rina duduk bersama Arsya, memegang kedua undangan itu.

"Aku tidak tahu, Sya Kalau aku terima semuanya, aku akan jarang di sini. Aku takut menjauh darimu. Tapi kalau aku tolak aku takut menyia-nyiakan kesempatan yang bisa bantu ribuan perempuan lain."

Arsya tersenyum, meski ada luka samar di matanya. Ia memegang tangan Rina.

"Rin kamu tahu kenapa aku mencintaimu?"

"Kenapa?"

"Karena kamu tidak pernah takut memilih yang benar. Jadi pilihlah dan jangan lihat aku. Aku akan tetap di sini. Menjadi tanah tempat kamu bisa pulang, kapan pun kamu lelah terbang."

Rina menunduk. Air mata jatuh. Ini bukan tentang meninggalkan cinta. Ini tentang memperjuangkannya di tengah badai yang lebih besar.

Beberapa hari kemudian, Rina berdiri di bandara internasional. Di pundaknya hanya satu ransel, di hatinya penuh guncangan.

Sebelum naik ke pesawat, ia menulis surat dan menitipkannya pada adik Arsya.

"Sya… Kalau nanti aku terlalu tinggi dan tak bisa melihatmu, tarik aku kembali ke tanah. Tapi kalau aku bisa membawa cahaya dari atas sana untukmu, untuk desa kita izinkan aku mencoba."

Di Swiss, Rina berdiri di panggung megah, di hadapan puluhan negara. Lampu sorot menyinarinya. Kamera merekam tiap kata.

"Nama saya Rina Lestari. Saya bukan akademisi, bukan pejabat. Saya hanya perempuan kampung yang dulu dihina karena miskin, diceraikan karena dianggap tak berguna. Tapi hari ini, saya berdiri di sini bukan karena saya istimewa, tapi karena saya memilih untuk tidak menyerah."

Tepuk tangan membahana. Beberapa tamu terisak. Bahkan perwakilan PBB ikut berdiri memberi penghormatan.

Tapi di lubuk hatinya, Rina tahu semua pencapaian itu tidak akan pernah menggantikan sesuatu.

Satu pelukan dari orang yang selalu percaya, bahkan saat dunia tidak percaya.

Sementara itu di desa, Arsya duduk di taman baca, menatap langit malam, memandangi bintang yang sama yang mungkin kini juga dipandang oleh Rina di negeri jauh.

Kalau kamu cahaya di langit, maka aku akan jadi langitnya. Supaya kamu punya tempat untuk bersinar.

Malam itu, setelah pidatonya mengguncang dunia, Rina menghadiri jamuan makan malam tertutup bersama para tokoh internasional. Di tengah ruangan berkilau lampu kristal dan gelas anggur yang bersenggolan, ia merasa seperti berada di dunia asing. Semua terlihat sempurna terlalu sempurna.

Seorang pria berjas putih dengan dasi merah menghampirinya. Wajahnya tampak familiar ternyata dia adalah Damar Prasetya, mantan politisi kontroversial dari Indonesia yang kini menetap di Eropa.

"Rina Lestari," katanya sambil menjabat tangan Rina. "Kamu fenomena. Dan fenomena… butuh panggung lebih besar. Pernah terpikir jadi menteri? Kami bisa bantu mewujudkannya."

Rina tertegun. "Menteri?"

"Ya. Dengan ketenaranmu, satu langkah saja, dan kamu bisa mengubah negeri ini dari atas."

Tapi Rina menatapnya dengan tajam. "Perubahan tidak selalu harus dari atas. Saya percaya pada akar."

Damar tertawa kecil. "Tapi akar tidak akan tumbuh kalau tanahnya terus diinjak. Kadang kamu butuh naik ke langit untuk menyiram hujan ke bawah."

Kalimat itu menggema di kepala Rina malam itu. Ia tak bisa tidur. Ucapan Damar terasa seperti racun yang dibungkus madu.

Sementara itu di desa Rengganis.

Arsya menerima kunjungan mendadak dari seorang wanita muda yang mengaku dari sebuah organisasi nasional. Ia menawarkan dukungan dana besar untuk memperluas taman baca, membangun laboratorium, bahkan menyediakan gaji tetap bagi para relawan.

"Tapi kami minta satu hal," ucap wanita itu. "Kami ingin Anda meyakinkan Ibu Rina untuk bergabung dalam partai kami saat pemilu nanti."

Arsya memandangnya, tidak percaya. "Jadi ini semua demi politik?"

Wanita itu tersenyum licik. "Bukan demi politik, Pak Arsya. Tapi demi kuasa. Dan siapa yang tidak ingin memimpin negeri, jika bisa?"

Hari-hari berikutnya, Rina menerima lebih banyak tawaran, lebih banyak ancaman yang tersamar rapi, lebih banyak tekanan.

Sampai suatu malam, ia membuka kembali surat lama dari Arsya. Kalimatnya mengguncang jiwanya:

"Kalau dunia mencoba membuatmu lupa dari mana kamu berasal, lihatlah mataku. Karena aku adalah rumah dari perjuanganmu."

Malam itu juga, Rina mengambil keputusan.

Ia naik ke atas balkon hotel tempat ia menginap, memandangi lampu-lampu kota, lalu berkata dalam hati:

"Aku tidak datang ke sini untuk dibentuk. Aku datang ke sini untuk menyuarakan mereka yang tidak pernah diberi panggung. Aku bukan boneka kekuasaan. Aku suara dari kampung yang dulu dihina."

Keesokan harinya, dalam konferensi pers internasional yang disiarkan ke berbagai negara, Rina berdiri dengan mantap dan berkata:

"Terima kasih atas tawaran dan kehormatan yang diberikan. Tapi saya menolak menjadi pion dalam permainan kekuasaan. Misi saya adalah mengangkat suara perempuan desa, bukan memperkuat suara yang sudah berkuasa."

Wartawan terdiam. Beberapa berdecak kagum. Tapi Rina tak peduli siapa yang mencibir atau memuji. Karena ia tahu satu hal pasti…

Di balik sorotan, ada bayangan. Tapi aku memilih menjadi cahaya meski kecil, asal jujur.

Di desa Rengganis, Arsya melihat tayangan langsung itu. Ia tersenyum bangga.

Dia memilih kita bukan dunia yang menggilainya.

More Chapters