LightReader

Chapter 3 - Chapter 3: Perasaan yang Tertunda

Pementasan telah usai. Riuh tepuk tangan dan sorakan dari para penonton masih terngiang-ngiang di benakku. Tapi, yang lebih membekas bukanlah tepuk tangan itu—melainkan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kelima gadis itu kepadaku di akhir pementasan. Seolah-olah semuanya terasa begitu nyata, seperti mereka mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.

Namun aku tahu, itu hanya bagian dari naskah.

Aku tidak boleh menyimpulkan apa pun. Aku tahu betul bahwa aku bukan seseorang yang pandai membaca perasaan orang lain. Bahkan bisa dibilang, aku tidak terlalu memikirkannya. Entah sejak kapan, aku terbiasa menjalani segalanya dengan lurus, logis, dan datar.

Fokusku adalah belajar, menyelesaikan tugas, dan... mungkin membantu mereka kalau mereka butuh. Tapi cinta? Perasaan? Aku belum tahu seperti apa rasanya.

Pagi hari berikutnya, langit sedikit mendung. Biasanya aku akan bertemu Lila di jalan, tapi kali ini tidak. Aku berjalan sendiri sambil memikirkan ulang semua yang terjadi kemarin.

Pementasan itu, tepuk tangan penonton, dan momen saat aku memeluk Akane... meski hanya akting, aku merasa dia benar-benar gemetar.

Namun, sekali lagi... itu hanya bagian dari pementasan.

"Pagi juga, Takeru," sapa Akira saat aku tiba di gerbang sekolah.

"Pagi, Akira. Kau datang lebih awal?"

"Aku memang biasa datang pagi. Supaya bisa bantu di dapur sekolah sebentar sebelum kelas mulai."

"Oh... begitu ya," jawabku pendek.

Kami berjalan berdampingan menuju kelas. Sepanjang jalan, Akira hanya bercerita tentang menu baru yang sedang dicoba klub memasak.

 Aku hanya mengangguk-angguk, memberi komentar singkat ketika perlu. Sejujurnya, aku tidak tahu harus menanggapi apa.

Di kelas, suasana sedikit canggung.

Lila duduk di mejanya sambil menopang dagu. Wajahnya terlihat agak lesu. Sophia terlihat sibuk membaca sesuatu, sementara Yui melipat tangan di depan dada sambil melihat ke arah jendela. Akane... seperti biasa, hanya duduk diam.

Aku meletakkan tasku dan duduk. Tak lama kemudian, Sophia bangkit dan berbicara.

"Baiklah, kita sudah menyelesaikan pementasan dengan baik. Tapi ini belum akhir. Kita masih punya acara musim panas. Aku ingin kita semua bersiap."

"Pantai, kan?" tanya Yui tanpa menoleh.

"Ya. Tapi kita harus merencanakan semuanya dengan matang. Transportasi, penginapan, dan kegiatan di sana. Aku tidak ingin kita pergi tanpa rencana."

"Aku bisa bantu carikan tempat," sahut Akira sambil membuka ponselnya.

"Aku... bisa bantu cari makanan khas lokal," kata Lila dengan senyum tipis.

Aku hanya mendengarkan. Tak satu pun dari mereka menanyakan pendapatku, dan aku juga tidak merasa perlu ikut campur. Aku akan ikut jika mereka ingin aku ikut. Tidak lebih.

Jam istirahat tiba.

Aku membuka kotak bekalku dan duduk di bangku belakang kelas. Hari ini aku membawa bekal sendiri, seperti biasa.

 Namun, hari ini berbeda. Tak ada yang mendekatiku seperti biasanya. Mungkin mereka sibuk, atau... mungkin sedang memikirkan hal lain.

Yui yang biasanya duduk paling dekat denganku, justru makan bersama Sophia hari ini. Akira tampak duduk di ruang klub memasak. Lila entah ke mana. Akane... seperti biasa, makan dengan tenang di pojok kelas.

Aku tidak terganggu. Justru aku merasa ini adalah suasana yang lebih tenang. Tidak ada percakapan yang membuatku bingung harus merespons bagaimana.

Tapi rasa itu tidak bertahan lama.

Saat aku hendak membuang sampah bekalku, aku melihat Lila di lorong kelas. Ia bersandar di dinding, menatap langit dari jendela yang terbuka. Aku menghampirinya.

"Kau tidak makan, Lila?"

Dia sedikit terkejut, lalu tersenyum kaku.

"Ah... makan sih. Tapi entah kenapa rasanya tidak nafsu."

"Apa kau sakit?"

"Enggak... cuma... agak bingung aja."

Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Kemarin saat pementasan... semua orang terlihat bahagia. Tapi entah kenapa... aku merasa aneh."

Aku diam saja. Menunggu kalau dia ingin melanjutkan.

"Takeru... kamu tahu nggak... rasanya kayak..." dia menggantung kalimatnya, lalu tertawa kecil. "Ah sudahlah. Nggak penting."

Aku hanya menatapnya. Wajahnya seperti menyimpan sesuatu, tapi aku tidak ingin menebak. Aku takut salah.

"Kalau ada yang bisa kubantu, katakan saja."

Dia menoleh. "Kamu selalu seperti itu, ya? Tenang, dingin, kayak nggak pernah mikirin hal-hal kayak... perasaan."

Aku mengerutkan alis. "Maksudmu?"

"Nggak. Lupakan. Aku ke ruang musik dulu."

Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Aku berdiri di sana beberapa saat, menatap langit dari jendela. Kata-katanya tadi terasa menggantung. Tapi... apa aku memang sepolos itu?

Keesokan harinya, aku datang sedikit terlambat. Lorong sekolah sudah kosong, hanya terdengar suara langkah kakiku sendiri. Saat sampai di kelas, semua orang sudah duduk di tempatnya.

"Pagi," sapaku.

"Pagi," jawab Sophia singkat.

Lila hanya mengangguk. Akira menatapku sebentar lalu kembali sibuk dengan catatannya. Yui dan Akane tidak mengatakan apa-apa.

Ada yang berubah.

Entah apa. Tapi aku bisa merasakannya. Sesuatu telah menggeser dinamika kami. Mungkin karena pementasan itu? Atau karena aku... terlihat memilih Akane?

Tapi aku tidak memilih siapa-siapa.

Aku hanya mengikuti naskah.

Saat pelajaran selesai, Sophia menghampiriku.

"Takeru. Kau punya waktu setelah sekolah nanti?"

"Ada apa?"

"Aku ingin membahas rencana liburan musim panas. Aku ingin masukanmu juga."

Aku mengangguk. "Baik."

Setelah sekolah, kami berkumpul di ruang OSIS. Anehnya, bukan hanya Sophia dan aku—semua gadis juga hadir.

"Kalian semua datang?" tanyaku.

"Sophia bilang ini penting, jadi ya aku datang," jawab Yui sambil memutar matanya.

Lila duduk agak jauh, memainkan ujung rambutnya. Akira sibuk mencatat, sementara Akane duduk diam sambil memegang buku resep.

Diskusi berjalan biasa saja, tapi suasananya kaku.

"Aku rasa... kita perlu waktu untuk menyegarkan diri. Liburan ini bukan cuma jalan-jalan, tapi juga kesempatan untuk saling mengenal lebih baik," ucap Sophia.

"Bukannya kita sudah cukup dekat?" tanya Akira, nadanya ringan tapi tajam.

"Tergantung, sejauh apa kita mengenal satu sama lain," balas Sophia sambil melirikku sekilas.

Aku tak berkata apa pun. Aku merasa jadi poros dari sesuatu yang tidak aku pahami sepenuhnya.

Setelah pertemuan selesai, semua orang pergi satu per satu. Tinggallah aku dan Sophia.

Dia menatapku dalam-dalam.

"Takeru... kamu belum menyadarinya, ya?"

"Maksudmu apa?"

Dia menghela napas. "Lupakan. Nanti kamu akan mengerti."

Aku berdiri, mengemasi tasku.

"Aku tidak mengerti banyak soal perasaan orang. Tapi kalau memang ada yang ingin kalian katakan, aku akan mendengarkannya."

Sophia tersenyum tipis. "Itulah masalahnya. Kadang, kamu terlalu mendengarkan... sampai kamu sendiri lupa mendengar hatimu sendiri."

Aku tidak menjawab. Karena... aku memang belum tahu apa isi hatiku.

Dan mungkin... aku belum siap untuk tahu.

Hari libur musim panas akhirnya tiba.

Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru yang nyaris tanpa awan. Aku berdiri di depan gerbang rumah Shinomiya, mengenakan pakaian santai dan membawa tas kecil berisi handuk, pakaian ganti, dan tabir surya—saran dari Akira kemarin.

"Takerruuu! Di sini!"

Lila yang pertama muncul, melambaikan tangan dengan semangat, memakai dress pantai berwarna kuning cerah dan membawa pelampung berbentuk bebek.

"Pagi," jawabku singkat.

Tak lama kemudian, Sophia, Yui, Akane, dan Akira muncul satu per satu dengan gaya mereka masing-masing. Sophia dengan kacamata hitam elegan, Yui yang tampak agak gelisah dengan topi besar menutupi wajahnya, Akira dengan senyum cerah dan minuman dingin di tangan, dan Akane yang berjalan paling belakang, menggenggam erat tas kecil di dadanya.

Perjalanan menuju pantai cukup ceria—dengan Lila yang terus bercerita tentang lagu musim panas, Sophia yang menjelaskan rencana perjalanan, dan Yui yang sekali-sekali menyuruh Lila untuk diam karena terlalu berisik.

 Akane hanya sesekali menimpali dengan suara pelan, sementara Akira duduk di sebelahku dan terkadang mengajakku berbicara.

"Pantai kali ini spesial," kata Akira, tersenyum. "Biasanya kami cuma pergi berempat… tahun ini ada kamu juga."

Aku hanya mengangguk. "Semoga tidak merepotkan."

Dia tertawa kecil. "Kamu selalu begitu, ya. Terlalu sopan."

Sesampainya di pantai, kami langsung berganti pakaian. Matahari menyinari pasir yang keemasan, dan ombak bergulung dengan suara menenangkan.

Tawa Lila menggema saat dia berlari ke air, diikuti Sophia yang perlahan membuka sandal dan menyusul. Yui duduk di bawah payung, memainkan handuk di pangkuannya, sementara Akira mengatur makanan dan minuman. Akane... ia duduk agak jauh, memandang ke arah laut dengan tatapan sendu.

"Takerru!" Lila memanggilku dari air, melambai dengan semangat. "Ayo berenang!"

Aku meletakkan sandal dan berjalan ke arahnya, namun baru beberapa langkah, Yui memanggilku. "Tunggu. Pakai ini dulu."

Dia menyodorkan tabir surya.

"Oh… iya. Terima kasih."

Dia mendengus pelan. "Kalau kamu sampai gosong dan sakit, siapa yang repot? Aku juga."

Aku mengangguk. "Aku mengerti."

Setelah bermain air sebentar, aku duduk bersama Sophia yang membawa minuman dingin.

"Lelah?" tanyanya sambil menyodorkan botol minuman.

"Sedikit," jawabku.

Sophia tersenyum. "Lila sepertinya senang sekali hari ini. Kau tahu? Ini pertama kalinya dia tertawa sebanyak itu setelah lama."

Aku menoleh ke arah Lila yang sedang membuat benteng pasir bersama Akira. "Dia memang selalu ceria, kan?"

Sophia terdiam sejenak. "Terkadang, keceriaan adalah cara seseorang menyembunyikan hal yang ingin mereka pendam."

Aku tidak menjawab. Mungkin karena aku tidak paham, atau mungkin karena aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Sore mulai menjelang. Kami duduk di tepi pantai, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Warna langit berubah menjadi jingga keemasan.

Suasana menjadi lebih sunyi. Angin pantai membawa aroma asin dan kelembaban yang menenangkan.

Yui duduk di sebelahku. "Kamu tahu nggak…"

"Hm?"

"Dulu aku nggak suka pantai."

Aku menoleh padanya. "Kenapa?"

"Ribet. Pasir masuk ke sepatu, rambut jadi lengket. Tapi... sekarang aku nggak keberatan."

Aku hanya mengangguk.

Yui menatapku, lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, "Karena kali ini… kita datang bersama."

Aku tidak menjawab. Bukan karena aku tidak mengerti… tapi karena aku takut salah tanggap. Atau mungkin karena aku tidak tahu apa yang seharusnya aku rasakan.

Di kejauhan, Akane berdiri sendiri, memegang kamera polaroid.

Aku menghampirinya. "Sedang apa?"

"F-foto… Aku ingin mengabadikan langit sore ini."

Aku menatap langit yang mulai berubah warna. "Bagus."

Akane tersenyum kecil. "K-kamu mau difoto?"

Aku ragu sejenak. "Boleh."

Dia mengangkat kameranya, lalu menjepret dengan cepat.

"K-kalau kau tidak keberatan, aku ingin menyimpan ini."

Aku menatapnya. "Tentu."

Akane menunduk, wajahnya memerah.

Setelah makan malam bersama di tepi pantai, kami duduk melingkar di atas tikar. Sophia membaca cerita hantu, Lila menjerit karena takut, Yui berlagak acuh tapi diam-diam menempel ke arahku, Akira tertawa puas, dan Akane... duduk tenang di sampingku, memeluk bantal kecil.

"Musim panas yang menyenangkan, ya?" ujar Lila.

"Kurasa iya," jawabku.

Sophia menatapku tajam. "Takeru… kau sadar nggak?"

"Sadar… apa?"

"Bahwa kamu dikelilingi oleh lima gadis yang… mungkin, perlahan-lahan... mulai melihatmu secara berbeda."

Aku terdiam.

Yui berdiri, memalingkan wajah. "A-aku ngantuk. Aku tidur duluan."

Lila menunduk. "Aku juga…"

Satu per satu mereka bubar, menyisakan suara ombak dan angin malam yang menusuk.

Aku duduk sendiri, memandangi langit yang mulai penuh bintang.

"Semuanya berubah, ya?" gumamku.

Aku tidak tahu perasaan mereka. Aku tidak tahu perasaanku sendiri. Tapi aku tahu, musim panas ini… bukan musim panas yang biasa.

Dan mungkin… ini adalah awal dari sesuatu yang tidak bisa kuabaikan lagi.

More Chapters