LightReader

Chapter 1 - Chapter 01: Kamar Biru

Aku tidak tahu sejak kapan semuanya terasa kabur.

Mungkin sejak hari itu, ketika suara-suara mulai berdengung di kepalaku. Ketika kenyataan tak lagi punya batas yang jelas. Namaku Matt Watson, Aku hanyalah anak 14 tahun yang terperangkap dalam kamar biru ini-tempat di mana waktu seolah berhenti. Lampu di langit-langit selalu menyala, karena aku terlalu takut akan kegelapan. Bukan gelapnya yang kutakutkan... tapi apa yang mungkin muncul dari sana.

Aku terbaring, menatap langit-langit yang retak halus. Dari celah-celahnya, aku membayangkan ada dunia lain yang menunggu. Dunia yang kubuat sendiri.

Di sana aku bukan anak kecil yang lemah. Aku adalah penguasa.

Aku menciptakan tanah dari bisikan, bangunan dari bayangan, dan langit dari pikiranku sendiri. Karakter-karakter hidup di dalamnya-makhluk dengan suara, wajah, dan perasaan. Mereka tidak nyata, aku tahu itu. Tapi... mengapa mereka terasa begitu hidup? Kadang aku bisa mendengar mereka memanggilku, seperti teman yang tak pernah ada di dunia ini.

Aku menggerakkan jari-jariku di udara, seolah menyulam benang tak kasatmata. Dan di sana, di ruang itu, semuanya bergerak sesuai keinginanku. Aku bisa berjalan, berlari, bahkan terbang. Tidak ada batasan. Tidak ada rasa takut.

Sampai suatu malam-malam seperti biasanya-aku terbangun dari tidurku. Tapi kali ini, ada yang berbeda.

Kamar biruku... tidak lagi kamar biasa.

Langit-langitnya berganti warna. Dinding-dindingnya bergelombang seperti air. Dan saat aku duduk, tubuhku terasa ringan-terlalu ringan. Suara langkah kaki terdengar dari balik pintu, tapi aku tahu... itu bukan Ibu. Bukan Ayah. Bukan siapa pun dari dunia ini.

Dunia yang kubuat kini menjadi sangat nyata. Aku tidak bermimpi, aku tidak menghayal. tapi kini semuanya ada didepanku.

Aku berdiri perlahan. Kaki telanjangku menyentuh rumput yang lembut dan sejuk. Bukan seperti rumput biasa, tapi seperti karpet hidup yang membelai kulitku dengan dingin yang menyegarkan.

Semuanya terasa salah. Tapi di saat yang sama... begitu familiar.

Aku berdiri diam, menatap sekeliling dengan napas tertahan.

"Apa ini... dunia yang kuciptakan?" - Matt Watson

Tapi semakin lama aku menatapnya-warna-warna yang tak mungkin ada di dunia nyata, langit yang bergerak mengikuti suasana hatiku, rumput yang memantulkan cahaya seperti kaca-aku tahu itu benar.

Dan saat kesadaran itu benar-benar masuk ke dadaku, sesuatu dalam diriku meledak.

"Ini nyata... ini sungguhan!" teriakku, suaraku memantul di udara kosong yang entah bagaimana mengerti maksudku.

Aku berlari. Kaki telanjangku menyentuh rumput yang tak masuk akal, hangat dan dingin sekaligus.

Dunia ini... duniaku.

Aku perlahan-lahan kembali berjalan dengan santai sembari melihat-lihat pemandangan indah dari imajinasi yang ku buat.

Gunung-gunung melayang, tak menancap pada tanah, melainkan menggantung di udara, diam seperti lukisan. Di kejauhan, ada sungai yang mengalir ke atas, bukan ke bawah-mengikuti lengkungan langit seperti pita air yang tidak pernah jatuh. Pohon-pohon tumbuh menjulang dengan daun bercahaya, dan batang yang berdenyut seperti nadi makhluk hidup.

Aku pernah membayangkan semua ini. Saat aku sendirian. Saat aku tak bisa tidur. Saat aku merasa dunia nyata menolakku.

"Aku menciptakan semua ini," gumamku lagi. Kali ini bukan dengan kaget, tapi bangga. Tanganku terangkat, seperti ingin menyentuh semuanya sekaligus. Tapi tak ada yang bergerak. Tak ada yang berubah. Dunia ini... tetap seperti apa adanya saat aku pertama kali masuk.

Aku terus berjalan, melewati padang rumput yang berubah warna saat aku melewatinya. Dari hijau menjadi ungu, lalu kembali ke hijau. Seolah tanah mengenal kehadiranku.

Langkahku terhenti saat pandanganku menabrak sesuatu di kejauhan.

Di seberang pesisir pantai yang tenang, tersembunyi di balik kabut tipis, berdiri sebuah desa kecil. Atap-atap rumahnya runcing dan berwarna putih pucat, seperti terbuat dari kain tua yang dijahit menjadi bangunan. Asap tipis mengepul dari cerobong, membubung lurus ke langit yang lembut-terlalu lurus, seperti digambar dengan penggaris.

Aku memicingkan mata.

Aku tidak ingat pernah menciptakan ini.

Desa itu tampak sunyi, tapi tidak mati. Ada kehidupan di sana-entah bagaimana aku tahu. Entah siapa mereka, dan mengapa mereka ada. Tapi satu hal pasti: aku tidak pernah membayangkannya.

Langkahku mundur sedikit.

"Kenapa desa itu ada?" Gumam ku

"Kenapa desa ini terlihat kosong? Apa yang terjadi di sini?" gumamku pelan

suara Matt Watson memantul lemah di atas pasir pesisir yang sunyi.

Aku mulai berjalan-jalan di sekitar desa.

Rumah-rumah kecil berjajar rapi, pintu-pintunya tertutup rapat. Beberapa jendela terbuka, tapi tak ada wajah yang mengintip. Tak ada suara langkah, tak ada suara pintu dibuka atau ditutup. Bahkan tidak ada suara burung, angin, atau detak waktu.

"Desa ini... benar-benar kosong" - Matt Watson

Aku mengetuk salah satu pintu. Tidak ada jawaban. Aku berjalan ke tengah desa, ke sebuah lapangan kecil yang dikelilingi rumah-rumah seperti pelindung. Di tengahnya berdiri sumur batu, tua dan berlumut.

Aku menunduk, mengintip ke dalam sumur itu. Gelap. Terlalu dalam. Terlalu... diam.

Aku melangkah lagi, ke ujung desa. Mencari satu tanda-apa pun-yang bisa menjelaskan tempat ini. Tapi tak ada jejak. Tidak ada alat yang tertinggal. Tidak ada asap dari dapur. Tidak ada suara. Hanya... diam.

"Kenapa desa ini terlihat kosong?" - Matt Watosn

ulangku pelan. "Apa yang terjadi di sini?" - Matt Watson

Angin mulai berembus. Tapi anehnya, aku tidak merasa dingin.

"Halo?" - Matt Watson

seruku, suaraku menggema di antara dinding kayu dan batu.

"Apa ada orang di sini? Aku adalah pendatang!" - Matt Watson

Tidak ada jawaban.

Hanya gema suaraku sendiri yang kembali, terlambat dan berat-seperti enggan menjawab. Sesaat kemudian, seolah dunia menahan napas. Tidak ada angin. Tidak ada gerakan. Waktu terasa membeku.

Aku menunggu. Tapi yang kudapat hanya keheningan yang menusuk lebih dari teriakan.

Aku berdiri diam di tengah keheningan, mataku menyapu setiap sudut desa yang seharusnya hidup. Tapi semuanya tetap... sunyi.

"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" gumamku, suaraku lebih lembut, hampir seperti bertanya pada diriku sendiri. "Aku padahal sudah menciptakan manusia di dalam imajinasiku... kenapa mereka belum terlihat? Hewan-hewan yang pernah kubayangkan juga tidak ada di sini." - Matt Watson

Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh-bukan takut, tapi... ganjil. Seolah ada lapisan lain di balik pemandangan ini. Sesuatu yang tidak kutuliskan. Sesuatu yang tak kukendalikan.

Dunia ini hidup, tapi kosong

Aku masih berdiri di tengah desa, ketika tiba-tiba langit mulai berubah.

Matahari yang tadi menggantung tenang di langit kini bergerak-terbenam terlalu cepat, menenggelamkan desa dalam gelap sebelum aku sempat bereaksi. Dalam sekejap, bulan muncul. Tapi bukan bulan yang kukenal.

Warnanya merah. Terlalu merah. Seperti mata yang mengawasi.

Dan kemudian-dalam hitungan detik-bulan itu pun bergerak cepat ke bawah cakrawala. Gelap. Lalu matahari terbit kembali... hanya untuk segera tenggelam lagi. Bulan muncul... dan menghilang. Terus berulang. Siang dan malam berdansa tanpa aturan, seperti waktu kehilangan arah.

Aku menengadah, mataku membelalak.

"Apa yang terjadi..." napasku memburu,

"Aku tidak pernah membuat dunia seperti ini. Ini... bukan bagian dari imajinasiku." - Matt Watson

Jantungku berdetak keras. Kepalaku mulai dipenuhi pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Kenapa waktu kacau?

Kenapa bulan berwarna merah?

Siapa yang mengatur ini... kalau bukan aku?

Untuk pertama kalinya sejak aku tiba di dunia ini, rasa takut mencengkeram dadaku.

Aku menatap ke bawah, dan jantungku serasa berhenti sejenak.

Rumput di sekeliling kakiku-yang tadi berubah warna seperti hidup-mulai menghitam dan mengering. Daunnya mengerut, berubah menjadi serpihan-serpihan kering yang mudah terbang terbawa angin. Lembutnya rumput yang dulu kurasakan kini berubah jadi hamparan kosong yang retak-retak.

Mataku beralih ke desa.

Rumah-rumah kecil yang dulu berdiri kokoh, tiba-tiba mulai berderak. Kayu-kayunya mengelupas, gentingnya runtuh, dan dinding-dindingnya perlahan roboh, seolah dihancurkan oleh tangan yang tak terlihat. Debu dan reruntuhan beterbangan di udara, menutupi jalan-jalan sepi yang dulu kujelajahi.

Aku terpaku, tak tahu harus berbuat apa.

"Tidak... ini tidak mungkin," bisik matt watson, yang ketakutan.

Dunia yang kuciptakan, yang selama ini kurasakan sebagai tempat perlindungan, kini berubah menjadi neraka yang runtuh di sekelilingku.

Aku merasa kecil, seperti butiran debu yang tak berdaya di tengah kehancuran.

Apa yang salah?

Tanpa berpikir panjang, aku mulai berlari, menjauh dari desa yang runtuh di belakangku. Nafasku memburu, kakiku menghentak tanah yang mulai rapuh, berharap menemukan tempat yang aman, bagian dunia yang belum rusak.

Tapi harapan itu segera pupus.

Rumput di bawah kakiku ikut menghitam, seolah merespons setiap langkahku. Jejak yang kutinggalkan berubah menjadi garis-garis kegelapan yang menyebar, menyebar cepat-seperti noda tinta yang ditumpahkan di atas kertas.

Aku menoleh ke belakang.

Dari tempat aku mulai berlari, desa itu telah berubah menjadi reruntuhan sepenuhnya. Gelap merayap dari sana, dan menyusulku... seperti mengikutiku. Seolah dunia ini tahu aku mencoba melarikan diri.

"Berhenti... tolong berhenti..." desisku, setengah berharap dunia ini masih mendengarkanku.

Tapi tidak ada jawaban.

Dunia ini tidak menuruti imajinasiku lagi.

Aku terus berlari, tapi tak peduli secepat apa aku mencoba kabur, rumput-rumput itu terus menghitam. Tanah di sekelilingku layu. Langit berputar-putar, matahari dan bulan silih berganti dengan kecepatan gila.

Aku terus berlari. Nafasku semakin berat, tapi kakiku tak mau berhenti. Segalanya di belakangku-gelap, mati, dan menjalar cepat. Dunia yang pernah terasa akrab kini berubah menjadi mimpi buruk yang mengejarku tanpa ampun.

Langit terus berkedip, siang dan malam bertukar tanpa irama. Angin berputar-putar, membawa debu hangus dan aroma terbakar. Pandanganku mulai kabur, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin keluar dari semua ini.

Lalu tanah di bawahku... lenyap.

Aku sempat menjerit kecil, lalu tubuhku meluncur jatuh ke dalam sebuah lubang besar, gelap, seperti mulut dunia yang terbuka menelanku mentah-mentah. Aku tak sempat berhenti, tak sempat melompat. Tanah itu tiba-tiba menganga di hadapanku-lubang hitam tak berdasar, gelapnya begitu pekat hingga aku bahkan tak bisa melihat tubuhku sendiri saat jatuh.

Dan dalam kehampaan itu, pikiranku mulai berteriak lebih kencang daripada tubuhku.

"Aku tidak mau mati... aku tidak mati... aku tidak mati..." bisikku, lalu berubah menjadi teriakan.

"Aku tidak mati!!" - Matt Watson

Kata-kata itu mengulang terus di dalam kepalaku, seperti gema tak berujung dalam lorong hitam yang tak memberiku jawaban.

Kenapa harus aku?

Kenapa aku harus menderita?

Apa aku pantas menerima ini?

Apa ini benar-benar dunia yang aku ciptakan?

Kenapa...?

Padahal aku hanya ingin dimengerti....

Pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi-tubi, menyiksa lebih dari rasa jatuh yang tak berujung. Aku merasa hampa-tidak punya pegangan, tidak punya kendali. Duniaku sendiri mengkhianatiku. Atau... mungkin sejak awal, aku tidak pernah benar-benar mengendalikannya?

Air mataku menetes, tapi lenyap di udara sebelum menyentuh apa pun.

Aku menutup mataku rapat-rapat. Mungkin kalau aku berhenti melihat, semuanya akan berhenti. Mungkin aku akan terbangun dari mimpi buruk ini.

Dan tiba-tiba... aku merasakannya.

Permukaan yang empuk di punggungku. Udara yang tidak terlalu dingin. Bau seprai yang familiar. Rasa tekanan ringan dari bantal lamaku.

Mataku terbuka perlahan.

Aku duduk di atas kasur biruku, terengah-engah. Tapi saat aku menatap sekeliling... dadaku menegang.

Rumput hijau lembut kembali membentang luas sejauh mata memandang. Langit biru cerah tanpa matahari, hanya cahaya hangat yang tidak bersumber. Angin lembut berembus, tenang, seperti menyambutku kembali.

Ini...

Ini persis seperti saat aku pertama kali tiba di dunia ini.

Tanpa desa. Tanpa kehancuran. Tanpa malam berputar cepat. Semuanya diam, damai... seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya.

Aku memandangi tanganku sendiri, mencoba meyakinkan diriku.

"Apakah... semuanya hanya kembali ke awal?" - Matt Watson

Aku menatap kasur biru di bawahku. Satu-satunya benda nyata dari kehidupanku yang lama.

Semuanya terasa salah. Tapi di saat yang sama... begitu familiar.

Aku masih duduk diam di atas kasur. Tubuhku mungkin tenang, tapi pikiranku kacau.

Perasaanku berputar-putar-campur aduk seperti badai dalam dada.

Aku bingung. Segalanya terasa nyata, tapi tak masuk akal. Dunia ini seolah menyambutku kembali, tapi juga menyembunyikan sesuatu dariku.

Stres menekan kepalaku seperti beban tak terlihat. Mataku berair, tapi tak ada tangisan. Aku hanya... lelah.

Lelah bertanya.

Lelah berlari.

Dan sekarang, aku merasa pusing. Seakan otakku mencoba mencari celah logika di tempat yang tak punya logika. Dunia ini terlalu tenang untuk dipercaya, terlalu sempurna setelah kekacauan. Aku memeluk lututku, dan menunduk.

Aku ingin pulang.

Aku ingin berbaring didalam kamar.

Aku ingin semuanya normal.

Saat aku membuka mata, cahaya lembut menyinari wajahku. Angin tipis menyapu rambutku, dan suara samar dedaunan yang bergoyang kembali terdengar-nyaris tak nyata, tapi menenangkan.

Aku perlahan duduk.

Mataku menatap sekeliling, dan... dunia ini kembali seperti semula.

Hamparan rumput hijau terbentang sejauh mata memandang. Langit masih biru pucat tanpa matahari, tapi cahaya tetap ada. Angin tetap lembut, tanpa arah. Tidak ada desa. Tidak ada kehancuran. Tidak ada lubang hitam.

Hanya aku dan kasur biruku.

Seperti awal lagi.

Entah berapa lama aku tertidur. Atau mungkin hanya pingsan karena pikiran yang terlalu penuh.

Hanya aku dan kasur biruku.

- To Be Continue -

More Chapters