LightReader

Chapter 14 - BAB 14 – RITUAL YANG GAGAL

Gedung lama Fakultas Sastra itu sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Sejak terjadi kebakaran kecil di lantai atas lima tahun lalu, seluruh aktivitas akademik dipindahkan ke gedung baru. Sekarang, tempat itu jadi semacam tempat hungu disebut “bangunan mati” oleh mahasiswa.

Malam itu, Angga dan Dina berdiri di depan pintu samping gedung tua tersebut. Angga membawa senter kepala, dan Dina memegang kunci cadangan hasil ‘pinjam’ dari satpam kampus yang kebetulan kenal dengan pamannya.

“Kalau kita ketahuan, bisa DO,” gumam Dina.

“Kita udah kelewat jauh buat mundur,” jawab Angga sambil membuka pintu tua itu.

Derit pelan terdengar, disusul bau lembab yang menyeruak. Udara di dalam terasa lebih dingin dari luar, seolah tidak hanya udara yang berbeda, tapi waktu juga bergerak lebih lambat.

Langkah mereka menelusuri lorong gelap, menyusuri lantai satu yang penuh debu dan meja-meja kayu lapuk. Beberapa poster kegiatan kampus tahun 2019 masih menempel di papan pengumuman pudar dan sobek.

“Tangga ke atas sebelah sini,” kata Dina pelan.

Lantai dua lebih gelap lagi. Lampu darurat di dinding sudah mati total. Hanya cahaya senter yang menjadi petunjuk arah. Lantai tiga berada di ujung tangga sempit, dengan pintu besi tua yang sedikit terbuka.

Mereka masuk.

Dan langsung merasakan hawa berbeda.

Tak hanya dingin tapi tekanan. Seperti udara menekan tubuh mereka dari segala arah.

Rak buku di lantai ini lebih tinggi dan rapat, penuh debu dan laba-laba. Tapi satu area di pojok kiri belakang kosong lantainya bersih, seolah sering didatangi seseorang.

“Di sini tempatnya,” kata Angga, mengingat petunjuk dari buku harian Windi.

Di lantai, ada garis lingkaran samar. Sisa kapur putih masih terlihat di pinggir-pinggirnya, membentuk pola yang rumit: tiga lapis lingkaran dan enam titik di sekelilingnya.

Angga berjongkok, menyentuh permukaan lantai.

Dingin.

Seolah tak pernah disentuh cahaya.

“Ini... sisa ritual itu,” bisik Dina.

“Ritus Pembuka Gerbang,” jawab Angga pelan.

Dan detik itu juga senter mereka berkedip.

---

Senter di kepala Angga mendadak padam. Begitu pula lampu HP Dina. Kegelapan menyelimuti ruangan dengan tiba-tiba bukan gelap biasa, tapi gelap yang terasa berat dan tebal, seolah menyerap suara dan cahaya sekaligus.

Dina menggenggam lengan Angga erat. “Lo ngerasa itu?”

Angga mengangguk pelan. “Kayak... tempat ini masih hidup.”

Tiba-tiba, hawa di sekeliling berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan suara samar mulai terdengar seperti bisikan dari dinding.

“…jangan lanjut… ritus belum selesai… akan terbuka lagi…”

Suara itu tidak berasal dari satu arah. Ia muncul dari segala penjuru, menyusup ke telinga, langsung menuju ke dalam pikiran.

Angga menutup mata. Dan saat itu terjadi…

Kilasan muncul.

Ia melihat Windi duduk bersila di tengah lingkaran ritual. Di sekelilingnya, enam orang berdiri, masing-masing memegang lilin dan membaca mantra dari kertas yang kini terbakar di udara.

Alvan berdiri paling dekat.

Wajahnya serius. Penuh konsentrasi.

Tapi di balik dirinya, ada sesuatu muncul di udara retakan hitam, seperti sobekan di udara itu sendiri. Dari dalamnya, tangan-tangan kurus muncul, berusaha meraih tubuh Windi.

Windi menjerit tapi suaranya tidak terdengar.

Dan di momen terakhir sebelum kilasan itu menghilang, Angga melihat simbol yang sama dengan di lehernya muncul perlahan di lantai, bercahaya merah tua, lalu...

Gelap.

Angga terhempas ke belakang dengan napas terengah.

“Lo kenapa?!” seru Dina panik.

Angga bangkit perlahan. Wajahnya pucat, tangan gemetar. “Gue... ngelihat semuanya. Ritus itu. Alvan... dia buka gerbang itu. Dan Windi dia ditarik, bukannya pergi sendiri.”

Dina menatapnya tajam. “Berarti Windi bukan media sukarela?”

Angga mengangguk. “Dia dijebak. Dijadikan alat.”

Mereka berdua diam sejenak, menyadari satu hal:

Ritual itu bukan percobaan spiritual.

Itu adalah pemanggilan.

Dan Windi... adalah korban dari sesuatu yang lebih gelap dari yang mereka kira.

Dina merogoh tas dan mengeluarkan ponsel yang akhirnya menyala lagi. Ia mengambil gambar cepat pola di lantai, lalu berkata:

“Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”

Angga menatap kembali lingkaran itu. Di pusatnya, ia melihat sesuatu.

Sebuah benda kecil, bulat, logam, tergeletak diam.

Ia mengambilnya perlahan.

Sebuah liontin.

Dan di belakangnya, terukir satu kalimat kecil:

“Untukmu, W.”

a lagi. Tanda akan muncul di yang terpilih. Jangan biarkan dia menjadi wadah.”

Dina menelan ludah. “Dia siapa? ‘Dia’ yang dimaksud di sini siapa?”

Angga menggeleng, matanya menyipit. “Mungkin... arwah yang dulu nyeret Windi. Atau entitas yang masuk saat gerbang dibuka.”

Ia meraih leher bajunya dan menariknya sedikit turun.

Dina menatapnya dan matanya membelalak.

“Tanda lo…”

Simbol di leher Angga kini bersinar samar. Tapi bukan merah. Bukan hitam.

Ungu.

“Simbol lo... berkembang lagi, Ga.”

Angga menghela napas berat. “Gue makin dekat sama tempat itu. Sama energi lorong. Sama... makhluk itu.”

“Kalau simbolnya lengkap,” gumam Dina, “lo jadi gerbang hidup.”

Mereka saling pandang dalam diam.

Pikiran mereka kini diliputi satu pertanyaan mengerikan:

Apa yang akan terjadi kalau gerbang itu benar-benar terbuka lagi?

Dan siapa… yang akan keluar darinya?

---

Langkah kaki mereka terdengar terburu-buru menyusuri lorong lantai tiga. Dina menggenggam liontin erat, sementara Angga terus memegangi lehernya yang terasa panas membakar. Senter di kepala Angga berkedip-kedip lagi, seolah menandakan energi gaib di sekitarnya sedang tidak stabil.

“Cepetan, turun!” seru Dina.

Tangga kayu tua berderit setiap kali diinjak, seakan ikut merintih. Di balik jendela sempit lorong, malam turun perlahan, menelan cahaya terakhir sore itu. Begitu mereka sampai di lantai dua, angin dingin bertiup dari arah lorong padahal tidak ada jendela terbuka.

Dan lalu...

BAMM!!

Salah satu pintu kelas tua di lantai dua membanting sendiri.

Dina spontan melompat mundur. “Jangan bilang... kita gak sendirian di sini.”

Angga menyalakan ulang senternya dan mengarahkannya ke lorong sepi.

Tapi di ujung lorong, pada dinding pudar itu, muncul sesuatu.

Tulisan.

Muncul perlahan, seolah ditulis oleh tangan tak terlihat dengan tinta hitam basah yang merayap di dinding seperti darah.

"GERBANG SUDAH RETAK"

"WADAH SUDAH DITANDAI"

"YANG HILANG AKAN KEMBALI BERSAMA KEMATIAN"

Dina melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Kita harus keluar sekarang juga!”

Mereka berlari menyusuri tangga, napas memburu. Pintu samping yang mereka masuki tadi terlihat di depan setengah terbuka.

Begitu mereka menyentuh gagang pintu dan mendorongnya, hawa dingin langsung menghilang. Malam di luar terasa seperti malam biasa lagi.

Namun begitu mereka menoleh ke belakang…

Tulisan di dinding itu sudah hilang.

Seolah tidak pernah ada.

---

Kosan Angga – Malam Hari

Angga duduk sendirian di kamarnya. Di atas meja, liontin kecil itu berputar pelan, memantulkan cahaya lampu redup. Di sekelilingnya, catatan-catatan, foto-foto, dan potongan simbol berserakan.

Ia membuka kembali pesan kecil di dalam liontin.

Kalimat terakhir di bawah lipatan itu belum ia baca tadi.

Ia membuka penuh.

“Jika kamu melihat simbol itu muncul di tubuhmu, jangan percaya siapapun. Termasuk dia.”

“Bahkan jika dia terlihat seperti Windi.”

Angga menatap liontin itu lama, napasnya berat.

Lalu menoleh ke jendela.

Windi berdiri di luar, di bawah cahaya bulan.

Tersenyum lembut.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu…

Matanya bersinar ungu.

More Chapters