LightReader

Chapter 3 - Bab 3 Gadis Beracun, Perampok, dan Cahaya Misterius

Angin bertiup lembut di antara reruntuhan, membawa aroma tanah basah dan darah kering. Sinar matahari pagi yang keemasan menyelinap melalui celah-celah bangunan yang hancur, menerangi tiga sosok yang berdiri di tengah jalan setapak.

Seorang gadis kecil bernama Azelyn berdiri dengan tubuh gemetar, tetapi matanya tetap tajam menentang.

Tangannya mencengkeram tongkat besi hitam yang ia tekan ke tanah, menopang tubuhnya yang ringkih. Dengan cepat, ia menyelipkan kantong kecil ke balik pakaian lusuhnya.

"Apa yang kalian lakukan menghalangi jalan ? Aku tidak punya harta berharga!" suaranya tegas, meski ada nada gugup yang sulit disembunyikan.

Di hadapannya, dua remaja bertubuh besar berdiri dengan tubuh tegap dan kulit kecoklatan. Mereka adalah saudara kembar yang sering melakukan perampokan di wilayah pinggiran ini.

Salah satunya, Draven, mengangkat kapak besar yang berkilat tajam di bawah sinar matahari.

“Bencana kecil, aku tahu kau membawa pil puasa yang berharga,” ujarnya dengan suara serak.

“Serahkan, atau mati.”

"Aku tidak punya pil itu, sudah kukatakan kalian salah lihat" Ucapnya.

"Bahkan jika ada, ini hanya limbah pil, itu tidak akan mampu menahan lapar dalam beberapa hari seperti pil asli" Gadis itu membela diri

"Tentu saja kami tahu kalau itu adalah limbah pil, semua bahan alkimia yang di buang dari dunia atas semuanya adalah limbah pil". Vaskar, saudara kembar yang lebih tua berkata dengan tenang.

Dia kemudian menyeringai sinis. “Kami menahan diri karena takut dengan racunmu. Tapi jika kau tetap keras kepala, kapak kami akan membelah tubuhmu sebelum kau sempat menggunakannya.”

Tangan Azel mencengkeram tongkatnya lebih erat.

Sebutan "gadis racun" menggema di kepalanya, menyeretnya kembali ke kenangan lama.

Vitalitas jutaan makhluk hidup mengalir untuk di serap gadis kecil. Mengubah makhluk hidup yang tak terhitung menjadi tulang belulang.

Samar-samar anak perempuan itu mendengar jiwa yang terkoyak, lebih dari satu, ada banyak, sangat banyak !.

"Anak perempuan itu adalah dia !!.

Namun, ia menepis ingatan itu. Ia tahu situasinya genting saat ini.

---

Dari balik reruntuhan tak jauh dari sana, Fajar memperhatikan dengan mata menyipit. Jari-jarinya mengeratkan genggaman pada pisau kecil yang ia pegang.

"Haruskah aku ikut campur?" gumamnya pelan.

Di dunia yang kacau ini, dia tidak akan mengambil resiko yang membahayakan nyawanya.

Bagi orang buangan di tempat ini, nyawa sama tidak pentingnya dengan rumput.

Namun pemandangan di depannya entah bagaimana menyesakkan dada Fajar.

Menilai dari sifat beringas Draven yang kemarin mencoba merampoknya, Fajar tahu betul bahwa mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bahkan jika harus menghadapi racun terkutuk gadis itu.

Walaupun Fajar ragu, kembar itu mampu menyakiti gadis itu jika semua rumor terbukti benar.

Fajar memfokuskan pandangannya dan akhirnya tahu mengapa dilema memenuhi pikirannya.

Sikap gadis itu… kontras antara tubuh ringkih dan sikap keras kepala mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu.

---

Lima tahun lalu.

Langit sore mulai memerah, membiaskan cahaya hangat ke taman yang dipenuhi tanaman roh. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan rerumputan, membelai dua sosok yang duduk di sana.

Seorang gadis kecil menunduk, jari-jarinya mencabuti helai rumput dengan gelisah.

"Kak," suaranya lirih, hampir tertelan angin. "Apakah Ayah akan baik-baik saja? Kudengar Sekte Pedang Suci mengalami kekalahan."

Fajar menegang sesaat. Kabar itu juga baru saja sampai di telinganya. Dadanya terasa sesak, tapi dia tak ingin menunjukkan kecemasan di depan adiknya.

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Kenapa kamu bilang begitu?" tanyanya lembut.

Gadis itu menggigit bibirnya. "Aku hanya takut... kalau semuanya berubah, jika Ayah..."

Fajar mengulurkan tangan, menepuk kepalanya pelan. "Ayah pasti akan kembali dengan selamat." Suaranya terdengar yakin, meskipun hatinya sendiri dipenuhi kecemasan.

Gadis itu menatapnya beberapa saat, sebelum perlahan tersenyum. "Aku juga berpikir begitu."

Angin kembali bertiup, membawa ketidakpastian, tapi juga secercah harapan.

---

Kembali ke kenyataan.

"Jika aku tidak menolongnya, aku akan menyesal seumur hidup."

Fajar mengepalkan tangan, beringsut perlahan untuk mengambil posisi yang lebih baik.

Di sisi lain, Vaskar melangkah mendekat.

“Kalau kau menyerahkannya sekarang, kami akan pergi. Kami tak ingin terlalu lama berada di dekat makhluk terkutuk sepertimu.”

Namun, Azel tetap diam. Ia hanya mempererat genggamannya pada tongkat besi.

Vaskar mendecak kesal. “Draven, bunuh dia.”

Draven menyeringai. Ia mengangkat kapaknya tinggi, siap menebas gadis itu.

---

SREETT!

Pisau kecil melesat dari balik reruntuhan.

Nyaris menembus tengkorak Draven.

Refleksnya menyelamatkan nyawanya, tetapi mata pisau itu berhasil menyayat pipinya. Darah segar mengalir, meninggalkan luka yang dalam.

"ARGH!"

Draven menggeram, tangannya refleks meraba pipinya yang berdarah. Wajahnya merah padam oleh campuran rasa sakit, amarah, dan malu.

“Bocah pengecut! Beraninya kau menyerang diam-diam seperti tikus!”

Vaskar menatap ke arah sumber serangan. Matanya menyipit. “Draven, apakah bocah ini yang menyerangmu kemarin?”

Draven mendengus geram. “Benar! Bajingan ini pelakunya!”

Fajar melangkah keluar dari persembunyiannya. Matanya tajam menusuk.

"Tinggalkan dia!."

Vaskar tersenyum. “Lihat siapa yang datang. Pahlawan bodoh yang tidak tahu diri.”

Draven tertawa terbahak. “Kau akan mati hari ini, bocah.”

Tanpa peringatan, kapaknya meluncur ke arah Fajar dengan tenaga penuh.

---

"KRAKK!"

Tanah bergetar saat kapak menghantamnya, menciptakan retakan kecil.

Namun, Fajar lebih gesit. Ia sudah memperkirakan serangan itu dan melompat ke samping sebelum kapak menyentuh tanah.

Draven terkesiap saat Fajar melemparkan sesuatu ke udara.

Bubuk penyembuh.

Serbuk hijau itu melayang, lalu masuk ke mata Draven.

“ARGH!”

Draven mundur, mengusap matanya yang terasa perih. Dalam kebutaan sesaat, ia mengayunkan kapaknya secara liar.

Aksi ini membuat Fajar yang memiliki jangkauan serangan pendek sulit mendekati Draven.

Saat itu juga, Azel mencengkeram tongkat besinya lebih erat.

Dari ujung tongkat itu, kabut hijau gelap muncul dan menggeliat seperti makhluk hidup.

Saat racun itu menyentuh tanah, rerumputan menguning dan mati dalam hitungan detik.

Garis-garis hijau tua memanjang dari gas beracun, tampak seperti tentakel yang menggeliat mencari mangsa.

Vaskar mundur selangkah. Jantungnya berdegup lebih cepat.

“Apa-apaan ini…?”

Garis hijau itu memanjang seperti ular, mencambuk udara. Kabut hijau gelap melesat, membentuk garis-garis tipis yang cepat dan mematikan.

Vaskar menghindar dengan cekatan, kapaknya berputar untuk membelah udara.

Di luar dugaan Vaskar, Garis racun itu terbelah menjadi dua garis cabang, Vaskar memiringkan kepalanya, dan garis pertama lewat satu inci di samping telinganya.

Satu garis cabang lagi bermanuver dan berbelok ke arah dada Vaskar.

Mata Vaskar terbelalak, namun gerakannya tidak berhenti. Dia mengangkat kapaknya menggunakannya sebagai perisai melindungi dadanya.

Garis tipis itu menghantam kapak itu, mengirim Vaskar terbang beberapa meter.

"Apa... Apakah dia monster ? " Vaskar gelagapan.

Vaskar merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya. Saat ia menunduk, matanya melebar ngeri—ujung kapaknya perlahan mencair, menetes seperti lilin yang meleleh.

Namun, sebelum Azel melanjutkan serangannya, sesuatu terjadi.

Kalung matahari biru di leher Fajar mulai bersinar.

Cahaya biru terang terpancar, melingkupi seluruh reruntuhan sekitar.

Rerumputan, bebatuan, hingga Reruntuhan bangunan bersinar kebiruan.

Racun yang ganas itu seketika terkikis, menyusut hingga menghilang.

Mata Azel membelalak. “Bagaimana mungkin…?”

Fajar juga terkejut. Di hadapannya, delapan tiang semi transparan dengan ukiran kuno muncul, ada simbol orang-orang berlutut di hadapan simbol matahari di setiap tiang, tiang-tiang ini membentuk formasi yang mengelilingi mereka.

Energi spiritual di tarik dari segala arah ke dalam kalung, menciptakan pusaran energi yang semakin besar.

"Formasi array macam apa yang membutuhkan aliran energi spiritual sebesar ini untuk di aktifkan ?"

"Hentikan benda itu, pemulung lain akan tertarik kesini jika pusaran energi spiritual terus terbentuk".

Vaskar berteriak panik.

Fajar mengumpat dalam hati, dia juga tahu hal ini, tapi dia tak berdaya menghentikannya.

Azel merasakan tubuhnya melemah. Kelopak matanya terasa berat, kepalanya pusing seolah ada banyak lonceng yang berbunyi. Akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri.

Vaskar dan Draven mengalami hal yang sama. Mereka bertahan beberapa saat sebelum kesadaran mereka terlelap.

Fajar berdiri di tengah pusaran energi, berusaha menahan kantuk dan menjaga pupilnya fokusnya pada kalung matahari biru.

Ia menatap kalung matahari biru yang melayang di udara.

Pusaran energi semakin mengamuk. Suara gemuruh memenuhi udara, seperti raungan angin yang terkunci dalam formasi kuno.

Cahaya birunya kini jauh lebih menyilaukan dari pancaran cahaya yang menyembuhkan lukanya kemarin, seperti cahaya Kunang-kunang dan bulan purnama.

“…Apa sebenarnya kalung ini ?” Gumamnya heran.

---

More Chapters