LightReader

Chapter 11 - Bab 13 (Alkein-Ruhosi)

Bab 13 – Jantung Pusaran dan Bisikan Takdir

Setelah istirahat yang cukup untuk memulihkan tenaga dan mengobati luka-luka kecilnya—meskipun Ruhosi sendiri lebih banyak menghabiskan waktu mencoba "mengajari" beberapa anak Pengukir Angin cara membuat suara kentut menggunakan ketiak—Tetua Kaivan akhirnya mengajaknya menuju inti Wilayah Angin Terukir: Pusaran Suci.

Beberapa Pengukir Angin terpilih, yang wajahnya menunjukkan campuran rasa hormat dan kekaguman yang tak lagi bisa disembunyikan, mengiringi mereka dalam diam. Perjalanan kali ini terasa berbeda. Udara semakin padat dengan energi murni angin, dan Lensa Kabut yang dikenakan Ruhosi menunjukkan pemandangan yang luar biasa: aliran-aliran angin kini bukan hanya berwarna biru dan perak, tetapi juga diselingi benang-benang emas dan putih cemerlang yang berdenyut selaras, semuanya mengalir menuju satu titik di kejauhan.

"Pusaran Suci adalah jantung dari dataran ini, Ruhosi," jelas Tetua Kaivan, suaranya tenang namun penuh hormat. "Sumber dari semua angin yang memberi kehidupan dan membentuk tanah ini. Selama berabad-abad, kami hanya bisa merasakan kekuatannya dari luar, menjaganya, dan hidup selaras dengannya. Hanya sedikit yang pernah mencoba memasukinya, dan lebih sedikit lagi yang kembali dengan kewarasan utuh."

Mereka tiba di depan sebuah gerbang tak kasat mata—sebuah dinding angin padat yang berputar lembut, memancarkan cahaya keemasan. Di sinilah batas terluar dari Pusaran Suci.

"Biasanya, hanya mereka yang telah menguasai tingkat tertinggi Napas Angin yang bisa melewati ambang ini tanpa terkoyak," lanjut Tetua Kaivan. "Tapi kau… kau telah menunjukkan harmoni yang unik dengan angin, bahkan dengan Amarah Badai sekalipun. Pusaran ini sepertinya mengenalimu."

Tetua Kaivan melakukan serangkaian gerakan tangan yang rumit, seperti menenun udara. Dinding angin itu sedikit membuka, menciptakan celah sempit. "Gunakan intuisimu, Nak. Biarkan Lensa Kabut menuntun penglihatanmu, tapi biarkan hatimu yang menuntun langkahmu."

Ruhosi mengangguk, wajahnya yang biasanya penuh cengiran kini menunjukkan keseriusan yang langka, meski matanya tetap berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia melangkah melewati celah itu, diikuti oleh Tetua Kaivan.

Seketika, dunia di sekitarnya berubah total.

Tidak ada lagi suara deru angin yang memekakkan. Di dalam Pusaran Suci, suasana justru hening luar biasa, namun hening yang bergetar oleh energi tak terbatas. Mereka seolah berada di dalam sebuah katedral raksasa yang terbuat dari cahaya angin berwarna-warni. Partikel-partikel energi melayang seperti kunang-kunang, dan di pusat semua itu, melayanglah sebuah objek yang membuat napas Ruhosi tercekat.

Itu adalah artefak berbentuk kunci raksasa yang pernah ia lihat sekilas dalam visinya saat ujian pertama. Ukurannya setidaknya sebesar dua kali tubuh Ruhosi, terbuat dari material seperti kristal yang memancarkan cahaya keemasan lembut dari dalam. Permukaannya dihiasi ukiran-ukiran rumit yang terus bergerak dan berubah, seolah hidup. Tujuh permata kecil tertanam di sepanjang batangnya, masing-masing memancarkan warna berbeda, namun hanya satu yang bersinar paling terang: sebuah permata berwarna biru langit yang beresonansi dengan Jantung Ngarai yang pernah disentuh Ruhosi.

"Itu… dia…" bisik Ruhosi takjub.

Saat ia mendekat, artefak kunci itu mulai berputar pelan. Ukiran di permukaannya semakin bersinar, dan dari ujungnya, sebuah berkas cahaya lembut terproyeksi ke udara, membentuk gambaran peta bintang yang pernah dilihat Ruhosi dalam visinya—peta dengan tujuh titik bercahaya. Titik yang menandakan lokasi mereka saat ini bersinar paling terang.

"Selama ini kami menyebutnya 'Kunci Angin'," kata Tetua Kaivan, suaranya penuh kekaguman. "Legenda kami mengatakan bahwa ini adalah salah satu dari Tujuh Pilar Keseimbangan Alkein, atau pecahan dari sesuatu yang jauh lebih agung. Kami tidak pernah tahu pasti. Ia hanya diam di sini, menjaga harmoni angin."

Tiba-tiba, kalung simbol cahaya dan kegelapan di leher Ruhosi mulai bergetar hebat, memancarkan aura hangat. Bersamaan dengan itu, artefak Kunci Angin itu merespons. Permata biru langitnya bersinar semakin terang, dan sebuah suara tanpa wujud, campuran dari ribuan bisikan angin namun terdengar jernih, menggema di benak Ruhosi:

> "Sang Pengembara… Darah yang menyatukan… Takdirmu telah dimulai…"

Kilasan-kilasan visi menyerbu pikiran Ruhosi, lebih jelas dari sebelumnya:

Sosok ibunya yang berjubah gelap, air mata mengalir di pipinya saat meletakkannya di Gerbang Hilang.

Sosok ayahnya yang samar, dikelilingi aura cahaya dan kegelapan yang bergejolak.

Sebuah peperangan dahsyat di masa lalu, melibatkan makhluk-makhluk raksasa dan ras-ras kuno yang bertarung memperebutkan tujuh artefak serupa Kunci Angin.

Dan nama itu lagi, "RUHOS!", diteriakkan oleh sosok raksasa berbadan separuh api separuh air, bukan sebagai panggilan, tapi lebih seperti… sebuah gelar atau nama kuno yang hilang.

"Siapa… Ruhos?" tanya Ruhosi lirih, lebih pada dirinya sendiri.

Suara itu menjawab, lembut namun tegas:

> "Pecahan dari dirimu yang hilang… Kunci-kunci ini akan menuntunmu pada keutuhan… dan pada ancaman yang mengintai Alkein."

Kemudian, dari ujung Kunci Angin, sebuah serpihan cahaya kecil sebesar kuku jari terlepas dan melayang menuju Ruhosi. Serpihan itu masuk ke dalam Lensa Kabut miliknya, dan seketika Lensa Kabut itu terasa berbeda, lebih hangat, dan kini memancarkan cahaya biru redup yang sama dengan permata di Kunci Angin. Peta bintang yang terproyeksi kini menunjukkan satu titik lain yang mulai berkedip samar di lokasi yang sangat jauh.

"Kunci Angin… telah memberimu penunjuk," kata Tetua Kaivan, takjub. "Ia telah memilihmu, Ruhosi. Ramalan Jiwa Pengembara… kini menjadi nyata di hadapan kami."

Ruhosi masih mencoba mencerna semua itu. Kepalanya sedikit pusing, tapi hatinya dipenuhi campuran antara semangat dan sedikit rasa gentar. "Jadi… aku harus mencari kunci-kunci lainnya? Untuk apa?"

> "Untuk menjaga keseimbangan… atau untuk membuka gerbang menuju takdir yang lebih besar. Pilihan ada di tangan para pembawanya. Tapi waspadalah… 'Dia yang Menginginkan Kehampaan' juga mencari mereka."

Suara itu perlahan memudar. Kunci Angin kembali tenang, meski cahayanya kini terasa lebih hidup.

"Dia yang Menginginkan Kehampaan?" Ruhosi mengulang, keningnya berkerut. "Kok namanya serem banget? Apa dia juga suka ngobrol kayak Badai tadi?"

Tetua Kaivan menggeleng. "Aku tidak tahu, Nak. Tapi sepertinya perjalananmu akan jauh lebih berbahaya dari yang kita bayangkan. Kami, para Pengukir Angin, akan membantumu mempelajari Napas Angin secepat mungkin. Kau akan membutuhkannya. Dan Lensa Kabut yang telah disempurnakan itu… kini adalah kompasmu."

Ruhosi menatap Lensa Kabut di tangannya, lalu ke peta bintang yang masih terproyeksi samar. Satu titik baru berkedip, menantinya. Beban tanggung jawab mulai terasa, tapi di atas semua itu, rasa penasaran dan semangat petualangannya berkobar semakin besar.

"Baiklah!" serunya dengan senyum lebar khasnya. "Cari kunci, ketemu orang-orang baru, mungkin lawan monster serem, terus pasti banyak makanan enak di sepanjang jalan! Ini bakal jadi petualangan paling konyol dan paling seru!"

Tetua Kaivan hanya bisa tersenyum melihat semangat anak itu yang tak tergoyahkan. Ia tahu, Alkein berada di ambang perubahan besar, dan bocah campuran dengan tawa renyah inilah yang berdiri di pusatnya.

Sementara itu, di sebuah tempat yang tersembunyi di antara celah dimensi, sosok berjubah ungu itu mengepalkan tangannya. Matanya yang terbuat dari kristal biru gelap berkilat tajam.

> "Jadi, salah satu Kunci telah menunjukkan dirinya dan memilih pewaris… Bocah itu… dia bukan lagi sekadar gangguan. Dia adalah… variabel yang harus segera dikendalikan atau… dilenyapkan."

>

More Chapters