LightReader

Chapter 3 - 2 RED ROSES

Suasana kelas siang itu tenang, hanya suara AC dan denting jam dinding yang terdengar. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar berbingkai putih, menyoroti barisan kursi yang tersusun rapi. Dinding kelas dihiasi lukisan dan rak buku klasik—mewah, khas sekolah elite.

Liane duduk di bangku dekat jendela, dagunya bertumpu di tangan. Pandangannya terpaku pada taman kecil di bawah pohon besar. Di sana, tumbuh setangkai mawar merah yang tampak kontras di antara rerumputan. Ia mengernyit setahunya, bunga itu tak pernah ada sebelumnya.

"Apa yang lo lihat?" tanya Zelin, teman sebangkunya, mengikuti arah tatapan Liane.

"Bunga itu..." jawab Liane pelan. "Aneh, sebelumnya aku gak pernah lihat. Baru ditanam ya?"

Zelin mengedikkan bahu, acuh. "Kata anak-anak, itu ditanam Setra."

"Setra?" Liane menoleh heran. "Preman yang sering mangkal di ruang BK itu?"

Zelin terkekeh pelan. "Iya. Gak nyangka juga kan? Katanya, ada mitos... siapa pun yang tertarik pada mawar itu, mungkin takdirnya si penanam."

Liane mendengus pelan, mencibir. "Takhayul. Gak masuk akal."

"Tapi lo ngelihatin terus," sahut Zelin dengan senyum menggoda.

Belum sempat membalas, Liane melihat seorang lelaki keluar dari gedung sebelah, berjalan ke arah bunga itu. Ia menuangkan air dari botol minum ke tanah, lalu menatap mawar itu sebentar sebelum berbalik pergi.

Liane terdiam. Wajah lelaki itu asing, tapi caranya memperlakukan bunga itu… lembut, penuh perhatian.

"Siapa sangka... preman juga bisa punya sisi lembut," batinnya.

Selama dua tahun bersekolah di sana, Liane nyaris tak pernah bertemu langsung dengan geng preman sekolah. Mereka seperti bayangan—ada, tapi tak terlihat.

"Kamu tahu wajah mereka?" tanya Liane.

Zelin mengangguk, santai. "Pernah lihat. Gak semua berandalan itu urakan. Justru karismatik. Tapi ya gitu… sering dihukum. Bolos, tawuran, merokok di belakang aula."

Liane mengerutkan dahi. "Aku gak nyangka dunia mereka sebebas itu..."

Zelin tersenyum. "Namanya juga preman, Lin."

***

Bengkel tua yang terletak di sudut belakang sekolah itu sudah lama menjadi tempat favorit bagi para pemuda bermasalah. Dindingnya yang penuh coretan grafiti, lantainya yang dipenuhi oli dan bekas ban, serta bau asap rokok yang tercampur dengan aroma kopi hitam yang selalu terhidang, menjadikan tempat ini lebih mirip tempat berteduh bagi anak-anak nakal daripada sebuah bengkel. Di sini, aturan tak berlaku. Yang ada hanya peraturan tak tertulis yang mengikat, yaitu jangan ganggu yang lebih kuat, dan jangan tunjukkan kelemahan.

Sekelompok pemuda duduk bersantai, sebagian sibuk dengan permainan catur, ada yang saling tertawa-tawa sambil bermain kartu, sementara lainnya sedang asyik memainkan permainan judol. Suara lantai yang berderit saat dipijak dan bunyi tutup botol yang tercampur dengan celotehan dan tawa mereka mengisi ruang bengkel itu. Hampir semua dari mereka mengenakan jaket kulit yang sudah usang, tato di kulit mereka menggambarkan kisah hidup yang penuh liku, dan mata mereka yang tajam menunjukkan betapa sedikit yang mereka peduli dengan dunia luar. Mereka adalah generasi pembangkang yang dengan bangga mengenakan label "preman sekolah."

Di tengah keramaian itu, hanya Setra yang duduk diam, matanya kosong menatap seberkas cahaya yang masuk melalui celah-celah kecil di dinding bengkel. Ia tak terganggu oleh hiruk-pikuk di sekitarnya. Pikiran Setra melayang jauh, mengingatkan dirinya pada mimpi yang mengganggu semalam. Mimpi yang terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar mengalaminya.

Malam tadi...

Di dalam mimpinya, Setra berada di sebuah ruangan yang samar-samar, dipenuhi dengan bayang-bayang gelap. Ia melihat seorang gadis muda yang mengenakan gaun putih selutut, duduk di bawah sebuah pohon besar, memegang sebuah sapu tangan tua yang tampaknya rusak. Saat ia mendekat, ia menyadari sapu tangan itu adalah miliknya—sapu tangan pemberian neneknya yang telah di buang kemarin.

"Siapa kamu? Kenapa sapu tangan itu ada di tanganmu?" tanya Setra, heran.

Gadis itu tersenyum lembut, lalu melambaikan tangan. "Ternyata kamu. Aku cuma benerin sapu tangan kamu. Pola bunganya hampir rusak," jawabnya dengan senyum yang menenangkan.

Setra semakin bingung. "What the fuck? Kamu siapa?"

"Bukannya kamu yang bawaku ke sini? Harusnya aku yang nanya, kan?" jawab gadis itu, terlihat bingung.

Setra terdiam, mencoba mencari tahu kapan ia membawa gadis ini ke sini, namun tak menemukan jawabannya. Ia akhirnya tersenyum kecil, ada kekacauan yang menyenangkan. "Jadi kamu yang mencuri barangku? Ternyata kamu seorang gadis kecil," ujarnya sambil menatap gadis itu dengan tatapan tajam.

"Aku udah dewasa, bukan anak kecil lagi! Lagipula, aku juga nggak tahu kenapa kamu bawa aku ke sini. Aku bukan pencuri, kenapa kamu menuduh?" kata gadis itu, kesal.

Setra tertawa kecil, tak terpengaruh. "Anak kecil kalau marah itu lucu, ya."

Gadis itu menggeram, tampak kesal. "Apa-apaan sih ini? Kamu menuduh, gila pula!"

Setra tersenyum puas saat gadis itu bangkit hendak pergi. Ia dengan cepat menarik pergelangan tangan gadis itu. "Mau ke mana, gadis kecil?"

Gadis itu menatapnya dengan marah, berusaha menarik tangannya dari genggaman Setra. "Lepasin! Aku mau pergi!" serunya.

Setra terkekeh, masih dengan senyuman tengilnya. "Pinjam tanganmu sebentar." Gadis itu akhirnya menoleh dan mengulurkan tangannya, tak bisa mengelak.

Setra mengeluarkan sesuatu dari saku celananya—seutas gelang benang merah. Dengan lihai, ia memakaikan gelang itu di pergelangan tangan gadis itu. "Mulai sekarang, kamu udah terikat sama aku. Apapun yang terjadi, kamu akan terus bersama aku. Oke?" kata Setra dengan senyum penuh arti.

"Gak mau! Aku gak kenal kamu! Aku gak tertarik!" jawab gadis itu, kesal, menatap Setra dengan penuh perlawanan.

"Sudah terlanjur. Kamu udah ada di sini dan udah pakai gelangnya. Itu artinya sekarang kamu milikku," tegas Setra, menatap gadis itu dengan penuh keyakinan.

Gadis itu melotot. "Mana bisa kayak gitu! Kamu curang!" Namun, tidak ada yang bisa menghentikan Setra. Ia hanya tertawa kecil, puas dengan permainan yang baru saja dimulai.

Kembali ke dunia nyata…

Setra tersentak saat suara bising mengalihkan perhatiannya. Kepalanya terasa berputar, pusing. Telinganya berdering seperti ada suara yang terus mengaum.

"Lo kenapa, Tra? Kebanyakan mabok lo?" tanya Mark, salah satu temannya yang duduk di dekatnya.

Setra mengangkat wajahnya, melihat teman-temannya mulai mengerumuninya. Ia merasakan kerumunan itu menambah pusing di kepalanya. "Kayaknya semalem gue kebanyakan minum," jawab Setra sambil tersenyum, berusaha menenangkan diri.

"Lo harus hati-hati, Tra. Minum jangan berlebihan, bisa overdosis!" kata Nick, dengan nada khawatir, sambil menyerahkan cangkir kopi.

Setra tertawa kecil, meskipun kepalanya masih terasa berat. "Sialan, lo pikir gue bakal mati semudah itu?" jawab Setra sambil mencibir, berusaha menutupi rasa cemas yang tiba-tiba muncul.

"Lo bukan superhero yang tahan mabok terus, lo juga bisa capek, Tra." Nick menatapnya serius, tidak terlihat bercanda.

"Enggak dengan gue. Gue Setra Adios Sasro!" jawabnya dengan percaya diri, meskipun hatinya tidak setenang perkataannya.

"Ya, terserah lo aja deh," balas Nick, menyerah, dan kembali menikmati kopinya.

Setra kembali menatap temannya, merasa ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Mimpi semalam, meskipun ia yakin itu hanya halusinasi akibat mabuk, terus menghantuinya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terikat dengan gadis itu entah siapa dia, dan apa makna gelang merah itu. Tapi satu hal yang pasti, Setra tidak pernah merasa seaneh ini sebelumnya.

Di tengah keramaian itu, Setra merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar perasaan mabuk.

More Chapters