LightReader

Chapter 2 - Barcelona, Spanyol 41°23'33"N 2°08'24"E

Bab 2-Mireya de la Creda

Dokter Mireya de la Cerda membuka maskernya. Dia baru menyelesaikan operasi berat Kraniotomi pada pasien penderita Aneurisma. Hari ini sangat melelahkan. Selain operasi Kraniotomi yang menghabiskan waktu selama 4 jam sendiri, pagi-pagi sekali tadi Dokter Mireya juga harus menangani pasien lain yang didiagnosa menderita tumor otak dengan melakukan operasi Neuroendoskopi.

Dokter wanita berusia empatpuluhan yang masih terlihat sangat seksi itu mencopot baju operasi di ruang ganti khusus. Sambil berjalan menuju ruang dokter, tangannya meraba saku baju. Dari tadi handphonenya bergetar-getar terus. Dokter Mireya enggan mengangkat. Tidak ada hal sangat penting atau prioritas jika terkait dengan handphone bagi Dokter Mireya. Bagi sang dokter, handphone tak lebih dari aksesoris yang terkadang saja berguna. Terutama saat order taksi online. Itu saja.

Ayah dan ibunya baru membelikan Mireya handphone saat dia sudah menginjak bangku Fakultas Kedokteran Universitas Oxford. Karena itulah, saat kuliahpun Mireya jarang sekali menggunakan handphone. Mireya hanya sekali-sekali menggunakannya. Apalagi ayah dan ibunya juga memiliki kebiasaan sama. Cukup anti dengan gadget kecil itu. Mereka lebih suka berkomunikasi via email. Mireya akhirnya juga melakukan hal yang sama. Email adalah sarana komunikasi terbaik baginya.

Sebagai lulusan terbaik dari fakultas kedokteran terbaik di dunia, Mireya didukung terus oleh ayahnya yang juga seorang dokter untuk melanjutkan ke jenjang spesialisasi. Di usia 30 an Mireya telah meraih gelar sebagai Dokter Spesialis Bedah Otak. Setelah itu Mireya mengabdikan dirinya di rumah sakit umum Barcelona. Ayahnya yang juga spesialis bedah otak, dulu pernah mengabdi di rumah sakit tersebut selama puluhan tahun sebelum akhirnya pensiun dan menghabiskan masa tua di Tenerife.

Dokter Mireya menjadi salah satu dari sedikit dokter ahli bedah otak terbaik di Spanyol. Waktunya tersita begitu banyak setiap hari di rumah sakit. Dokter Mireya jarang punya waktu luang. Hari liburnya malah diisi dengan melakukan penelitian sendiri di laboratorium kecil yang sengaja dibangun olehnya. Wanita yang masih melajang hingga usia empat puluhan itu tergila-gila dengan penelitian medis mengenai jaringan otak. Super komputer yang tak akan pernah ada habisnya untuk dipelajari oleh dokter spesialis seperti dirinya.

"Maaf Dokter Mireya, banyak pasien baru masuk di ruang gawat darurat! Gejalanya sama! Mungkin semacam gangguan kelistrikan di otak, Dok!"

Belum 5 menit Dokter Mireya duduk di ruangannya yang kecil namun bersih dan rapi, dokter jaga ruang gawat darurat menerobos masuk dengan tergesa-gesa.

Dokter Mireya melompat dari tempat duduknya sambil mengenakan jas dokternya. Dokter wanita bermata biru itu melangkah keluar sambil bertanya kepada dokter jaga.

"Banyak katamu? Berapa orang?"

"Banyak Dok. 6 orang. Dengan gejala yang sama persis!"

Dokter Mireya mempercepat langkahnya. 6 orang terlalu banyak jika disebut sebagai kebetulan!

Mendadak Dokter Mireya menghentikan langkahnya saat melewati meja administrasi. Ada keributan. Dokter Mireya menyibak kerumunan para suster dan perawat. Mereka sedang sibuk memegangi seorang pegawai administrasi yang cantik dan seksi. Pegawai wanita yang masih muda itu nampak kejang-kejang hebat. Dokter Mireya meletakkan jarinya di leher si pegawai wanita. Detak nadinya cepat sekali! Buru-buru Dokter Mireya mengambil senter kecil di saku jasnya. Diperiksanya pupil mata si pegawai wanita yang sedang membeliak lebar dan hanya terlihat skleranya saja.

Tidak ada yang aneh. Dokter Mirea hendak membuka paksa mulut si pegawai wanita yang terkatup rapat untuk memeriksa. Namun tiba-tiba wanita tersebut menjerit keras dengan nada sangat kesakitan. Dari sudut mulutnya mengalir alir liur dan darah kental kehitaman. Kejang-kejangnya berhenti seketika saat jeritan wanita muda itu selesai.

Dokter Mireya mengerutkan alisnya. Wanita muda itu bangkit berdiri, berjalan perlahan ke kursinya lalu duduk dengan tenang. Terlalu tenang. Dokter Mireya segera melakukan prosedur pemeriksaan ulang. Mata, tenggorokan, detak nadi. Wanita muda itu diam saja. Dokter Mireya memperhatikan baik-baik. Wanita muda itu seolah tidak pernah terserang sakit apa-apa. Duduk diam di atas kursinya. Memandang lurus ke depan dengan mata tak bercahaya. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apapun.

Pikiran Dokter Mireya langsung berputar cepat. Ini tidak seperti gejala penyakit apapun! Kejang, berliur darah hitam, lalu tatapan kosong dan hampa. Sementara begitu diperiksa lagi seluruh tanda vitalnya sangat normal.

Sebuah pemikiran yang mengejutkan melintas seperti gulungan petir di kepala Dokter Mireya. Dokter wanita itu menoleh ke arah dokter jaga yang masih berdiri di sampingnya. Dokter jaga yang masih muda itu sedang tertegun dengan tatapan tak percaya. Setengah kaget dan setengah melamun.

"Apakah 6 orang di ruang gawat darurat itu memiliki gejala serupa, Dokter?"

Dokter jaga mengangguk pelan. Jawabanya lebih pelan lagi. Mungkin dokter jaga sedang shock ringan.

"Iya."

Dokter Mireya meminta suster dan perawat supaya mengawasi pegawai muda yang sekarang hanya duduk diam saja tak mau bergerak atau beranjak dari kursinya.

Bergegas dokter wanita itu melangkah masuk ke ruang gawat darurat. Langkahnya terhenti. Matanya terpaku melihat 6 ranjang ruang gawat darurat telah dipenuhi oleh pasien yang bertingkah dan bersikap sama dengan pegawai wanita muda tadi.

Jantung Dokter Mireya makin berdebar saat terdengar suara beberapa mobil ambulance berhenti di depan ruang gawat darurat. 3 brankar didorong masuk. Terbaring di atasnya 3 orang yang juga bergejala sama!

Gawat! Ada sesuatu yang mengerikan sedang terjadi. Entah apa tapi ini sama sekali tidak lazim. Sebuah Pandemi? Tapi pandemi apa? Mereka terlihat baik-baik saja.

Dokter Mireya memeriksa satu demi satu pasien dengan teliti. Tatapan kosong kehilangan cahaya, respon tubuh kaku dan tak mau bergerak sedikitpun. Kalaupun akhirnya mereka bergerak atau bergeser di ranjang, itu karena didorong oleh perawat.

Selesai melakukan pemeriksaan, Dokter Mireya kembali ke ruangan. Dibukanya laptop dan mulai mengetik email kepada ayahnya. Hari sudah menjelang petang. Ayahnya pasti sedang sibuk menyiram tanaman di halaman luas rumah kecil mereka di Tenerife. Dokter Mireya tidak berharap emailnya akan langsung dijawab.

Ayah, ada serangan penyakit misterius yang memiliki gejala serangan tidak lazim. Akibatnya juga tidak lazim. Pasien mengalami kejang-kejang, berliur darah hitam, lalu tatapan kosong dan hampa setelahnya. Mereka seperti kehilangan perintah sensorik maupun motorik dari otak. Tidak mau bergerak kecuali digerakkan. Ini tidak biasa Ayah. Hari ini ICU masuk 9 pasien yang mendapatkan serangan sama, gejala sama dan akibat yang juga sama.

Terdengar suara bip pelan. Kejutan! Ayahnya langsung menjawab emailnya!

Mireya, sepertinya dugaanmu benar. Orang yang tak memiliki keinginan untuk bergerak, berbicara atau aktifitas motorik lainnya, sudah pasti ada yang salah dengan kelistrikan otaknya. Kamu harus mengambil sampel di jaringan lunaknya. Lakukan Neuroendoskopi ke salah satu pasien paling sehat. Kabari Ayah jika kau memerlukan bantuan.

Dokter Mireya meraih telepon di meja kerjanya. Dia harus segera menelpon Direktur rumah sakit untuk melaporkan kejadian misterius ini. Secepatnya.

**

More Chapters