LightReader

Chapter 8 - 8

Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menyilaukan mata seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Mia menggeliat lemah, sebelum tubuhnya menegang seketika.

Matanya membelalak saat mendapati sesosok pria asing tertidur di sampingnya—tanpa atasan, dengan helaian selimut yang memperlihatkan sebagian tubuhnya yang maskulin.

"Sial… kenapa bisa seperti ini?" gumamnya panik sambil memegang kepalanya yang masih terasa berat. "Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Kenapa aku bisa di sini... bersama pria yang bahkan tak kukenal?"

Ia duduk di tepi ranjang, melihat sekeliling dengan panik. Pakaian miliknya berserakan di lantai. Dengan buru-buru, Mia mengambil satu per satu dan mengenakannya tanpa suara.

"Siapa yang menaruh obat ke minumanku semalam?" pikirnya, menggertakkan gigi. "Pasti dia… perempuan itu. Wina, atau mungkin... Agnes. Mereka yang menjebakku."

Saat Mia hendak meraih gagang pintu dan kabur dari hotel itu, tiba-tiba terdengar suara dalam, berat, dan mengancam dari balik ranjang.

> "Jangan coba-coba lari dariku. Diam di tempat… atau aku potong kakimu. Kalau kau pergi, aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia."

Mia menegang. Jantungnya berdetak cepat. Suara itu... suara pria tadi malam.

Ia menoleh pelan. Pria itu masih tertidur, namun kata-katanya terasa terlalu sadar. Atau... apakah dia sedang pura-pura tidur?

Mia mendekatinya dengan langkah hati-hati, lalu menatap wajah pria itu dari dekat. Tatapan tajam, garis rahang tegas... Ryu Chen. Pria yang terkenal dingin dan tak tersentuh.

> "Cih, kamu pikir aku takut? Memangnya siapa kamu?" bisik Mia pelan, bibirnya mengejek.

 "Kalau kamu berani mengancamku, aku juga bisa melawanmu."

Tangannya sempat terangkat, nyaris menyentuh wajah Ryu, tapi urung. Dengan dengusan kesal, ia mundur dan kembali menuju pintu. Namun hatinya masih berdebar tak karuan.

Setelah kabur dari hotel, Mia melesat pergi ke rumah keluarga Xiao dengan langkah gemetar, wajah memerah karena amarah dan malu. Tubuhnya masih lelah, tapi emosinya lebih dulu membakar.

Sementara itu, Ryu terbangun sendirian. Matanya menyapu seluruh sudut kamar hotel, tapi bayangan Mia tak terlihat.

> "Brengsek!" bentaknya, melempar bantal ke dinding. "Berani-beraninya dia kabur. Padahal dia yang memohon padaku semalam!"

Ryu mengacak rambutnya, kesal. Namun matanya lalu menatap sprei putih yang ternoda samar.

> "Ternyata dia... gadis polos," gumamnya pelan, entah kenapa hatinya terasa sedikit terhimpit. Tapi raut wajahnya tetap dingin.

Ia segera mengenakan pakaian, meninggalkan hotel, lalu langsung menuju mansion untuk berganti dan kembali bekerja.

---

Di Kantor RC Group

Ryu sedang fokus di ruang kerjanya, menandatangani beberapa berkas penting, saat pintu kantornya dibanting keras.

> "RYU!!!" teriak Dio sambil masuk dengan wajah merah padam.

Ryu mendongak pelan, tenang.

> "Ada apa kamu teriak-teriak di kantorku?" tanyanya datar.

> "Kemana kamu membawa Mia? Apa yang kamu lakukan semalam?" bentak Dio, dadanya naik turun menahan emosi.

> "Bukan urusanmu," balas Ryu tajam. Matanya menyipit, menantang.

Tanpa aba-aba,

BUGH!

Satu tinju mendarat tepat di rahang Ryu. Kepalanya menoleh, tapi ia tidak jatuh. Hanya menyeka darah tipis di sudut bibirnya.

> "Berani sekali kamu memukulku," gumamnya, suaranya rendah tapi berbahaya.

Dio menahan napas.

> "Jawab aku. Kamu tak menyakitinya, kan? Kau tidak—"

> "Kau pikir aku tidur bersamanya hanya untuk berpelukan dan cerita masa kecil?" potong Ryu dingin, lalu menepuk pundak Dio sambil tersenyum sinis. "Dia yang datang padaku. Dia yang mulai."

Mata Dio memerah. Rahangnya mengeras.

> "Sialan..."

BUGH! BUGH! BUGH!

Pukulan-pukulan Dio kembali menghujani Ryu—di wajah, di dada. Tapi Ryu tak membalas. Ia hanya menatap sahabatnya itu, tak berkedip, tak bersuara.

> "Kalau kau menyakitinya... aku tak peduli siapa kamu. Aku akan menghancurkanmu, Ryu," desis Dio, suaranya hampir bergetar karena amarah dan rasa bersalah.

Ryu diam. Namun dari sorot matanya, jelas—ini belum selesai.

"Mia bukan wanita sembarangan. Dia berbeda dari semua wanita yang pernah kamu temui. Dia tidak akan pernah tergiur oleh wajah tampanmu, apalagi hartamu. Jadi, jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan Mia dengan mudah," ujar Dio dengan dingin, lalu melangkah keluar dari ruang kerja, meninggalkan Ryu seorang diri.

Ryu, yang baru saja menerima pukulan telak dari Dio, hanya terdiam. Ia mengusap sudut bibirnya yang masih mengeluarkan darah, sembari menahan amarah yang membara di dalam dadanya.

"Berbicara dengan Dio tak menghasilkan apa-apa. Lebih baik aku cari Joy. Sepertinya dia tahu sesuatu tentang wanita itu," gumam Ryu lirih, sebelum melangkah keluar dari gedung perusahaan.

Ryu langsung meluncur ke JR Grup. Rasa penasarannya pada Mia tak kunjung reda. Tak ada satu pun wanita yang pernah mencampakkannya begitu saja—apalagi berani melawannya. Dan itulah yang membuat Mia berbeda. Membuatnya ingin tahu lebih jauh.

Di JR Grup, sebuah rapat besar tengah berlangsung. Para petinggi perusahaan sibuk berdiskusi hingga...

Brak!

Pintu ruang rapat terbanting keras, membuat semua mata menoleh ke arah sumber suara.

Ryu berdiri di sana. Sorot matanya tajam, ekspresinya tak terbaca.

"Ada apa denganmu?" tanya Joy heran, berdiri dari kursinya. Ia tak menyangka Ryu akan datang begitu tiba-tiba dan membawa aura yang begitu menekan.

"Aku ingin bicara denganmu," jawab Ryu, datar namun tegas.

"Maaf, Tuan. Tuan Chen tidak bisa dihentikan," sahut salah satu petugas keamanan, mencoba menenangkan situasi yang mulai tegang.

Joy hanya mengangkat tangan memberi kode. Sang petugas pun langsung mundur dan kembali ke posisinya.

"Rapat cukup sampai di sini. Kita lanjutkan besok," ujar Joy, menutup rapat lebih awal. Para peserta rapat pun bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Joy dan Ryu berdua.

Begitu ruangan kosong, Joy mendekati pria yang berdiri tegap di ambang pintu.

"Ayo, kita ke ruanganku. Aku tahu kenapa kamu datang menemuiku," kata Joy tenang, lalu berbalik dan berjalan keluar dari ruang rapat.

Tanpa banyak bicara, Ryu langsung mengikuti langkah Joy menuju ruang kerja. Tatapannya tajam, penuh dorongan emosi yang tak tertahan. Ia tak sabar untuk menginterogasi Joy, berharap bisa menggali informasi tentang Mia—wanita yang kini terus menghantui pikirannya.

Begitu pintu tertutup, Joy langsung membalikkan badan, menatap Ryu dengan sorot mata penuh kemarahan.

"Kau pasti ingin tahu keberadaan Mia! Tapi maaf, aku tidak akan memberitahumu. Bahkan jika kau mengancamku sekalipun, aku tak akan membuka mulut," tegas Joy, suaranya menggema penuh amarah. Luka hatinya masih segar—semalam Mia dibawa pergi, dan Ryu pelakunya.

"Cepat katakan! Di mana wanita itu sekarang?!" desak Ryu sambil menatap tajam, emosinya meledak-ledak.

"Beritahu aku, cepat! Jika kau masih ingin hidup!" bentaknya sambil mencengkeram leher Joy hingga pria itu terhuyung ke belakang.

"Hugh—hugh—Aku... tidak tahu... di mana dia... Dan kalaupun aku tahu... aku tetap tidak akan memberitahumu..." jawab Joy terbata, berusaha mengatur napas di tengah cekikan yang mencekiknya.

Ryu menggeram. "Sialan! Sahabat macam apa kau ini?! Bukannya membantu, malah menyulitkan!" dengusnya kesal, sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya dengan kasar.

Karena masih menganggap Joy sebagai sahabat, Ryu menahan diri. "Anggap saja kau beruntung. Karena kau sahabatku... kau masih hidup."

Ryu melangkah mundur, napasnya memburu karena emosi. "Sudahlah. Percuma bicara denganmu. Kau sama saja dengan Dio. Keras kepala dan menjengkelkan."

Tanpa menunggu reaksi Joy, Ryu berbalik dan pergi, meninggalkan Joy yang terbatuk-batuk sambil memegang lehernya yang memerah.

Setelahnya, Ryu terus bergerak. Ia mencari informasi tentang Mia ke sahabat-sahabatnya yang lain. Tapi, hasilnya nihil. Tak seorang pun bersedia membantunya. Semua menolak memberitahu.

Sementara itu, wanita yang tengah dicari dengan penuh ambisi itu justru sedang santai menikmati sarapan pagi di sebuah restoran kecil.

"Perut ini benar-benar nggak bisa diajak kompromi," gumam Mia sambil menyendok nasi dan lauk ke mulutnya. Wajahnya tenang, seolah tak pernah terjadi badai semalam.

"Hari ini aku nggak akan ke kantor. Kepalaku masih pusing banget," keluh Mia pelan, lalu menyesap air hangat dan membuka ponselnya.

Ia mulai mengetik pesan izin kepada Pak Biromo. "Pak, maaf. Saya butuh waktu istirahat beberapa hari," tulisnya singkat.

Setelah merasa cukup kenyang, Mia menyudahi sarapannya. Ia mengambil tas, berdiri, lalu melangkah keluar dari restoran.

Langkahnya cepat dan penuh tujuan.

"Aku harus segera sampai di rumah keluarga Xiao. Aku tak akan diam saja. Wina harus diberi pelajaran. Berani-beraninya dia merencanakan hal sekeji itu terhadapku…"

Sorot matanya kini berbeda—tajam, penuh bara. Mia tak lagi ingin jadi korban. Kali ini, dia yang akan menyerang lebih dulu.

More Chapters