LightReader

Chapter 3 - Bab3: Surat yang Tidak Pernah Terkirim

Pagi itu, langit Fedarna menggantung abu-abu. Hujan tidak turun, tapi kabut begitu pekat hingga seolah-olah kota sedang menyembunyikan napasnya sendiri. Suara burung pun seakan takut berkicau. Bagi Abbas, ini adalah pagi yang berbeda. Bukan karena cuacanya Fedarna selalu seperti ini melainkan karena semalam, ia menerima sebuah telepon dari hantu masa lalu: Gakusi.

Setelah membersihkan wajah dengan air dingin yang menggigit, Abbas mengenakan mantel panjang berwarna gelap. Ia menyelipkan pistol ke pinggangnya, lalu mengambil satu benda dari laci tua: sebuah surat lusuh yang tak pernah ia kirim.

Surat itu bertanggal 14 tahun lalu. Ditujukan pada seseorang yang tidak memiliki alamat. Hanya tertulis satu nama di depannya: "Gakusi."

"Kau mungkin tidak akan pernah membaca ini. Tapi jika suatu hari kamu kembali, jika suatu hari kamu bisa memahami dunia ini, aku harap kamu tahu… aku menyesal. Aku masih mendengar suaramu dalam tidurku. Tertawa yang tidak seperti tawa. Matamu yang seperti tak pernah berharap apa-apa. Dan kalimat yang kuucapkan hari itu… bukan untukmu. Tapi untuk diriku sendiri yang tak berdaya."

Abbas melipat surat itu dan menyimpannya di saku dalam mantelnya.

Sudah waktunya.

Tujuan pertama Abbas hari ini adalah Perpustakaan Kota Tua Fedarna

bangunan batu besar dengan jendela kaca tinggi yang kini lebih banyak dihuni oleh debu daripada pengunjung. Ia tidak datang untuk membaca, tapi untuk menyelidiki. Beberapa korban terakhir yang hilang, menurut penelusuran Farah, sempat mengakses dokumen arsip khusus di tempat ini. Topik mereka pun aneh dan bervariasi: sistem terowongan bawah tanah zaman kolonial, peta kota rahasia, dan… legenda anak jalanan Fedarna.

Abbas melangkah masuk. Bau buku tua, debu, dan kayu tua menyeruak. Seorang pustakawan tua dengan kacamata tebal menatapnya.

"Aku ingin melihat catatan peminjaman bagian arsip," ujar Abbas.

Pustakawan itu tidak banyak bertanya. Mungkin sudah biasa melihat polisi datang kemari sejak gelombang hilangnya orang-orang mulai terjadi. Ia menyerahkan sebuah buku catatan besar.

Abbas membalik halaman-halaman yang dipenuhi nama, tanggal, dan topik. Lalu… ia berhenti pada satu baris:

Nama Peminjam: Jorrin F. / Topik: Terowongan Rahasia dan Eksperimen Anak Jalanan (1870–1890)

Tanggal: 3 hari sebelum menghilang

Jantung Abbas berdegup pelan.

Eksperimen anak jalanan?

Ia meminta pustakawan menunjukkan ruangan arsip. Dan di sanalah, di lorong gelap dengan rak-rak penuh dokumen tua, Abbas menemukan satu kotak yang tertutup debu tebal bertuliskan: "KODE: 4.8.3 – EDISI TERBATAS, DIARSIPKAN."

Ia membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, ada foto-foto buram hitam putih. Anak-anak dengan wajah kosong. Matanya tertutup kain, tubuhnya penuh tanda luka. Sebuah berkas menyertainya

laporan eksperimen sosial yang dilakukan oleh lembaga rahasia pemerintah kolonial Fedarna dulu. Mereka mengambil anak-anak terlantar dari jalanan, memberinya makanan, lalu memanipulasi emosi mereka melalui skenario palsu: kasih sayang, pengkhianatan, kekerasan, bahkan cinta.

Hanya untuk melihat bagaimana manusia bisa menjadi "senjata sempurna" melalui trauma.

Abbas merasa mual.

Di lembar terakhir, ada catatan:

"Subjek #483: Berhasil. Menunjukkan kecerdasan tinggi, manipulatif, mematikan. Namun hilang sebelum dapat dikarantina."

4.8.3.

Abbas jatuh terduduk.

Gakusi… bukan hanya anak yatim piatu. Ia adalah produk dari eksperimen jahat, dan Abbas, tanpa tahu, telah menjadi bagian dari drama yang membentuknya.

Saat Abbas berjalan keluar dari perpustakaan, langit sudah mulai gelap. Kabut menggantung lebih rendah. Ia tahu Gakusi sedang menyaksikannya. Di kejauhan, di dinding bata merah seberang jalan, tulisan merah besar muncul entah dari mana:

"APA KAU MENYUKAI PERMAINANNYA, ABBAS?"

Abbas mengepalkan tangan.

Malam itu, Abbas bertemu dengan Farah di markas.

"Ada sesuatu yang harus kamu lihat," ujarnya tanpa basa-basi, lalu menyerahkan sebuah amplop.

Di dalamnya adalah potongan rekaman CCTV yang mereka peroleh dari stasiun kereta di Distrik Barat tempat hilangnya korban ke-70.

Farah menunjukkan satu bagian. Seorang pria tua sedang berjalan. Lalu seseorang berpakaian seperti badut jalanan muncul dari sudut tapi bukan badut biasa. Wajahnya tertutup cat putih kasar, senyuman digambar lebar di wajahnya, dan di tangan kirinya… ia membawa sepotong roti.

Ia berdiri di hadapan pria tua itu, lalu melemparkan roti itu ke tanah, dan menghilang begitu saja dalam satu langkah.

Tidak ada pintu. Tidak ada lorong. Ia lenyap seperti asap.

"Apakah ini…?"

"Ya," jawab Abbas. "Gakusi sudah menjadikan ini permainan."

Malam itu, Abbas duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang tidak punya bintang. Surat di sakunya terasa berat. Ia tahu ini bukan sekadar kasus lagi. Ini adalah panggung. Panggung yang dirancang oleh anak yang pernah ia temui, yang pernah ia kecewakan, dan yang sekarang mengubah luka menjadi senjata.

Dan Abbas tidak bisa lari.

Karena kali ini, panggungnya adalah dirinya sendiri.

More Chapters