LightReader

Chapter 1 - Gema Api dan Hinaan

Hujan gerimis yang turun tanpa henti terasa seperti bagian dari kutukan itu sendiri. Setiap tetesnya yang dingin menyatu dengan lumpur di jalanan Desa Camain, menciptakan suasana yang kelabu dan menyedihkan. Bagi Arion Valerius, cuaca ini hanyalah cerminan dari dunianya selama enam bulan terakhir.

Dengan tudung jubahnya ditarik dalam-dalam hingga menutupi wajah, ia mencoba berjalan tanpa menarik perhatian, menuju sebuah kedai roti reyot di ujung jalan. Ia hanya ingin membeli sepotong roti—kemewahan kecil di tengah kehidupannya yang kini serba kekurangan.

Namun, takdir seolah senang mempermainkannya. Seorang kuli angkut yang tergesa-gesa menyenggol bahunya dengan keras. Senggolan itu sudah cukup untuk membuat tudung jubahnya tersibak ke belakang.

Seketika, rambut putihnya yang khas, dengan mata merah cahaya warisan ibunya, terpapar di bawah langit yang kelabu.

Hiruk pikuk jalanan yang tadinya riuh mendadak senyap. Semua mata tertuju padanya. Keheningan itu hanya berlangsung sesaat sebelum bisikan-bisikan tajam dan penuh racun mulai merayap seperti ular.

"Lihat... itu dia."

"Darah tiran..."

"Monster itu masih hidup!"

Arion berdiri mematung, punggungnya menegang. Tangannya di dalam jubah terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah yang panas dan penghinaan yang sudah akrab kembali mendidih di dalam dadanya. Ia memasang topeng dingin tanpa ekspresi, sebuah perisai yang telah ia asah dengan sempurna.

Kemudian, sebuah suara parau dari seorang wanita tua yang kehilangan putranya dalam "Festival Penaklukan" berteriak, merobek udara.

"Kau seharusnya ikut terbakar bersama keluargamu!"

Kata-kata itu adalah pemicunya.

Dunia di sekeliling Arion lenyap, digantikan oleh gema api dan jeritan. Ia kembali ke malam itu. Koridor Istana Eldoria yang megah kini menjadi neraka. Bau asap dan daging terbakar menusuk hidungnya. Dari celah dinding, ia melihat bayangan ayahnya, Raja Malakor, bertarung seperti iblis sebelum akhirnya jatuh, menara kekuasaan itu runtuh menjadi mayat.

Ia merasakan genggaman tangan Elara yang gemetar namun kuat, menariknya pergi. Ia menoleh ke belakang, dan di sanalah gambar terakhir yang selamanya terpatri dalam benaknya. Ibunya, Ratu Lyra, berdiri di ambang pintu lorong rahasia. Wajahnya yang lembut kini sekeras baja. Ia tidak menatap Arion, melainkan menatap para prajurit yang datang dengan tatapan menantang.

Arion melihat adik perempuanya tergeletak tak bernyawa Dan ibunya mendorong pintu batu itu hingga tertutup, mengunci dirinya di luar untuk memberi mereka waktu. Tidak ada kata perpisahan. Hanya suara pintu batu yang berdebam, memisahkannya dari dunia yang pernah ia kenal selamanya.

"Arion!"

Suara Elara yang tajam menariknya kembali dari neraka ingatan. Sebuah tomat busuk baru saja meledak di bahunya, meninggalkan noda merah yang menjijikkan.

Elara dengan sigap bergerak ke depannya, tubuh mungilnya menjadi perisai. Ia tidak mengatakan apa-apa pada kerumunan yang marah itu; tatapan matanya yang membara sudah cukup sebagai peringatan. Ia meraih lengan Arion dan menariknya pergi, menjauh dari hinaan dan kebencian.

Mereka berjalan dalam keheningan yang berat, meninggalkan desa itu di belakang. Setelah cukup jauh, di sebuah jalan setapak yang menanjak, Arion akhirnya angkat bicara. Suaranya serak, penuh dengan amarah yang tertahan.

"Satu kandang singa ditukar dengan yang lain," desisnya. "Apa bedanya jalanan ini dengan akademi itu?"

Elara berhenti sejenak, dengan sabar membersihkan noda tomat dari jubah Arion dengan ujung lengan bajunya. Ia menatap lurus ke mata pangerannya yang penuh badai.

"Bedanya, Tuan Muda..." katanya dengan suara lembut namun tegas, "...di kandang singa berikutnya, Anda akan diberi pedang. Ini adalah kesempatan untuk mengasah taring Anda, bukan untuk menyembunyikannya."

Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di puncak bukit. Hujan mulai reda, menyisakan kabut tipis yang menyelimuti lembah di bawah mereka. Dari kejauhan, menembus kabut itu, terlihatlah siluet menara-menara tinggi yang menjulang ke langit.

Akademi Amabel.

Arion menatap bangunan megah itu. Amarah di matanya perlahan mereda, digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dingin, lebih tajam, dan jauh lebih berbahaya.

Tekad.

Ia menatap akademi itu bukan dengan rasa takut seorang korban, tetapi sebagai seorang ahli strategi yang sedang mengamati medan perang barunya.

More Chapters