LightReader

Chapter 1 - BAB 1 MALAM PERTAMA YANG MEMBEKU

Chapter 1: Di Bawah Langit yang Belum Retak

Udara pagi itu membawa embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan. Cahaya mentari baru menembus sela-sela kanopi pepohonan, memantul pada embun dan menyulapnya jadi kilau kristal. Di kejauhan, siluet benteng Arkheia tampak samar dalam selimut kabut, seperti ilusi yang belum sepenuhnya percaya bahwa ia nyata.

Di dalam kamar kecil di ujung koridor sayap timur benteng itu, Aeryn sedang duduk bersila di atas karpet. Usianya baru delapan tahun, tapi tatapan matanya sudah mencerminkan lebih dari sekadar keingintahuan. Ia sedang mencoret-coret halaman kosong dalam buku bersampul cokelat tua—buku pemberian ayahnya saat ia berulang tahun ketujuh.

Buku itu bukan sembarang buku. Memiliki halaman yang terkadang mengisi dirinya sendiri, seakan menulis balik kenangan yang pernah terjadi. Tulisan yang muncul bisa berupa kalimat penuh, kutipan pendek, bahkan... percakapan yang tak pernah diucapkan langsung.

"Kau menulis apa hari ini, Aeryn?"

Suara lembut menyapanya dari ambang pintu. Elyra, ibunya, bersandar di sana sambil memegang nampan berisi dua gelas kecil dan semangkuk buah potong.

"Mimpi semalam," jawab Aeryn tanpa menoleh. "Aku mimpi ayah duduk di atas menara tertinggi Arkheia dan bilang aku harus jadi penjaga dunia saat dia tak ada. Tapi dia juga tertawa dan kasih aku bunga. Aneh ya?"

Elyra hanya tersenyum, lalu duduk di sampingnya. Wajah wanita itu teduh, meski ada bayang-bayang lelah di balik matanya. Rambut putihnya terurai bebas, memantulkan kilau cahaya pagi.

"Ayahmu memang aneh," katanya sambil mengusap kepala Aeryn. "Tapi selalu tahu kapan harus bicara dengan bahasa hati."

Aeryn menoleh, matanya yang abu-ungu memantulkan keseriusan.

"Ibu, kalau suatu hari aku lupa semuanya... ibu dan ayah juga, dunia ini juga... apakah itu berarti aku bukan aku lagi?"

Pertanyaan itu menghantam Elyra lebih keras dari yang ia perlihatkan. Tangannya sedikit bergetar saat ia meletakkan gelas di samping buku.

"Kamu akan selalu menjadi kamu, Aeryn," jawabnya setelah jeda yang panjang. "Bahkan jika semua ingatanmu hilang, hatimu tahu siapa kamu. Dan hatimu... tidak akan pernah sendiri."

Aeryn menunduk, lalu membuka halaman berikutnya. Tulisan yang belum pernah ia buat tiba-tiba muncul:

> Jika kamu takut, ingat ini: bahkan dalam kehampaan, gema dari cinta kami akan tetap menjagamu.

Aeryn tersenyum kecil. Buku itu—"Resonant of Memoir"—selalu tahu kapan harus berbicara.

More Chapters