LightReader

Chapter 1 - Dibuang Ke Lembah Neraka Terkubur

Langit memerah, seperti murka para dewa yang mengawasi dari balik kabut keemasan. Di puncak Paviliun Langit Biru, lonceng kematian bergema tiga kali — berat, menggema, dan mengabarkan satu hal: pengusiran seorang murid inti.

Di hadapan ribuan mata murid, tetua, dan penguasa sekte, seorang pemuda bersimbah darah ditundukkan paksa, lututnya mencium lantai batu dingin yang retak karena pukulan sebelumnya. Pakaiannya robek, lambang Sekte Langit Biru tercabik, dan ikat pinggangnya — simbol status murid inti — telah dibakar.

Nama pemuda itu adalah Jin Seong.

"Pengkhianat," bisik seseorang dari kerumunan.

"Dia mencuri kitab terlarang milik pendiri."

"Layak mati."

Mata Jin Seong tetap terbuka, meski darah menetes dari pelipisnya. Tak ada air mata. Hanya keheningan… dan kilatan dendam.

Di hadapannya berdiri Elder Wu Jian, salah satu tetua besar sekte — yang juga orang yang mengangkatnya menjadi murid tiga tahun lalu.

"Jin Seong," ucapnya datar, suaranya berat namun tanpa emosi. "Kau telah mencoreng kehormatan Sekte Langit Biru. Sebagai murid yang kami besarkan, pengkhianatanmu adalah luka di tubuh sekte ini."

"Dan sebagai tetuamu…" Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jin Seong tajam. "Aku menghukummu dengan pembuangan ke Lembah Neraka Terkubur. Kau akan hidup, tapi tidak sebagai manusia."

Para murid terdiam. Beberapa terkejut. Beberapa bersorak dalam hati.

Lembah Neraka Terkubur — tempat terkutuk di bawah gunung, di mana energi yin murni berkumpul dan hanya mayat serta iblis roh yang bisa bertahan. Belum pernah ada yang keluar hidup-hidup dari sana.

Jin Seong tertawa kecil. Pelan. Retak.

"Jadi begini caramu membersihkan jejakmu, Tuan Tetua?"

Wu Jian memicingkan mata. "Diam."

"Aku tahu siapa yang mencuri kitab itu. Dan itu bukan aku."

Wu Jian melangkah maju, telapak tangannya menyala dengan energi biru. Satu pukulan menghantam dada Jin Seong — dan tubuhnya melayang seperti kain kotor, menabrak tiang batu sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dunia menjadi gelap.

Saat Jin Seong membuka mata, yang ia lihat hanyalah kabut.

Dingin, kental, dan seolah mengandung bisikan jiwa-jiwa mati.

Ia tersungkur di bebatuan tajam. Sekujur tubuhnya lebam, dan jiwanya seperti tercekik aura kelam yang menindih segala harapan.

Namun di tengah kehancuran, sesuatu memanggilnya. Cahaya. Merah tua. Berkedip dalam kabut hitam.

Dengan langkah terseok, ia mengikuti cahaya itu — sampai tiba di depan sebuah altar batu tua, ditutupi lumut dan retakan zaman.

Di atasnya, tergeletak kitab kulit hitam, tertutup segel darah yang telah lama mengering. Di depannya, terukir nama yang telah dilupakan sejarah:

> Kitab Langit Pemutus Takdir

Heaven-Slaying Path

Tangannya terulur… lalu berhenti.

Bisikan menggema — bukan dari luar, tapi dari dalam jiwanya.

> "Apakah kau rela kehilangan segalanya... demi kekuatan yang bisa membunuh langit?"

Jin Seong menatap kitab itu.

Ia telah kehilangan kehormatan. Nama. Sekte. Bahkan tubuhnya yang terluka tak bisa lagi mengumpulkan energi.

Apa lagi yang tersisa?

Ia tertawa... lalu menjawab:

> "Tidak ada langit yang pantas ditaati."

Tangannya

menyentuh kitab.

Segel darah meledak.

Kabut menjerit.

Langit menangis.

Dibuang ke Lembah Neraka Terkubur

Langit memerah, seperti murka para dewa yang mengawasi dari balik kabut keemasan. Di puncak Paviliun Langit Biru, lonceng kematian bergema tiga kali — berat, menggema, dan mengabarkan satu hal: pengusiran seorang murid inti.

Di hadapan ribuan mata murid, tetua, dan penguasa sekte, seorang pemuda bersimbah darah ditundukkan paksa, lututnya mencium lantai batu dingin yang retak karena pukulan sebelumnya. Pakaiannya robek, lambang Sekte Langit Biru tercabik, dan ikat pinggangnya — simbol status murid inti — telah dibakar.

Nama pemuda itu adalah Jin Seong.

"Pengkhianat," bisik seseorang dari kerumunan.

"Dia mencuri kitab terlarang milik pendiri."

"Layak mati."

Mata Jin Seong tetap terbuka, meski darah menetes dari pelipisnya. Tak ada air mata. Hanya keheningan… dan kilatan dendam.

Di hadapannya berdiri Elder Wu Jian, salah satu tetua besar sekte — yang juga orang yang mengangkatnya menjadi murid tiga tahun lalu.

"Jin Seong," ucapnya datar, suaranya berat namun tanpa emosi. "Kau telah mencoreng kehormatan Sekte Langit Biru. Sebagai murid yang kami besarkan, pengkhianatanmu adalah luka di tubuh sekte ini."

"Dan sebagai tetuamu…" Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jin Seong tajam. "Aku menghukummu dengan pembuangan ke Lembah Neraka Terkubur. Kau akan hidup, tapi tidak sebagai manusia."

Para murid terdiam. Beberapa terkejut. Beberapa bersorak dalam hati.

Lembah Neraka Terkubur — tempat terkutuk di bawah gunung, di mana energi yin murni berkumpul dan hanya mayat serta iblis roh yang bisa bertahan. Belum pernah ada yang keluar hidup-hidup dari sana.

Jin Seong tertawa kecil. Pelan. Retak.

"Jadi begini caramu membersihkan jejakmu, Tuan Tetua?"

Wu Jian memicingkan mata. "Diam."

"Aku tahu siapa yang mencuri kitab itu. Dan itu bukan aku."

Wu Jian melangkah maju, telapak tangannya menyala dengan energi biru. Satu pukulan menghantam dada Jin Seong — dan tubuhnya melayang seperti kain kotor, menabrak tiang batu sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dunia menjadi gelap.

---

Saat Jin Seong membuka mata, yang ia lihat hanyalah kabut.

Dingin, kental, dan seolah mengandung bisikan jiwa-jiwa mati.

Ia tersungkur di bebatuan tajam. Sekujur tubuhnya lebam, dan jiwanya seperti tercekik aura kelam yang menindih segala harapan.

Namun di tengah kehancuran, sesuatu memanggilnya.

Cahaya. Merah tua. Berkedip dalam kabut hitam.

Dengan langkah terseok, ia mengikuti cahaya itu — sampai tiba di depan sebuah altar batu tua, ditutupi lumut dan retakan zaman.

Di atasnya, tergeletak kitab kulit hitam, tertutup segel darah yang telah lama mengering. Di depannya, terukir nama yang telah dilupakan sejarah:

> Kitab Langit Pemutus Takdir

Heaven-Slaying Path

Tangannya terulur… lalu berhenti.

Bisikan menggema — bukan dari luar, tapi dari dalam jiwanya.

> "Apakah kau rela kehilangan segalanya... demi kekuatan yang bisa membunuh langit?"

Jin Seong menatap kitab itu.

Ia telah kehilangan kehormatan. Nama. Sekte. Bahkan tubuhnya yang terluka tak bisa lagi mengumpulkan energi.

Apa lagi yang tersisa?

Ia tertawa... lalu menjawab:

> "Tidak ada langit yang pantas ditaati."

Tangannya menyentuh kitab.

Segel darah meledak.

Kabut menjerit.

Langit menangis.

Dibuang ke Lembah Neraka Terkubur

Langit memerah, seperti murka para dewa yang mengawasi dari balik kabut keemasan. Di puncak Paviliun Langit Biru, lonceng kematian bergema tiga kali — berat, menggema, dan mengabarkan satu hal: pengusiran seorang murid inti.

Di hadapan ribuan mata murid, tetua, dan penguasa sekte, seorang pemuda bersimbah darah ditundukkan paksa, lututnya mencium lantai batu dingin yang retak karena pukulan sebelumnya. Pakaiannya robek, lambang Sekte Langit Biru tercabik, dan ikat pinggangnya — simbol status murid inti — telah dibakar.

Nama pemuda itu adalah Jin Seong.

"Pengkhianat," bisik seseorang dari kerumunan.

"Dia mencuri kitab terlarang milik pendiri."

"Layak mati."

Mata Jin Seong tetap terbuka, meski darah menetes dari pelipisnya. Tak ada air mata. Hanya keheningan… dan kilatan dendam.

Di hadapannya berdiri Elder Wu Jian, salah satu tetua besar sekte — yang juga orang yang mengangkatnya menjadi murid tiga tahun lalu.

"Jin Seong," ucapnya datar, suaranya berat namun tanpa emosi. "Kau telah mencoreng kehormatan Sekte Langit Biru. Sebagai murid yang kami besarkan, pengkhianatanmu adalah luka di tubuh sekte ini."

"Dan sebagai tetuamu…" Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jin Seong tajam. "Aku menghukummu dengan pembuangan ke Lembah Neraka Terkubur. Kau akan hidup, tapi tidak sebagai manusia."

Para murid terdiam. Beberapa terkejut. Beberapa bersorak dalam hati.

Lembah Neraka Terkubur — tempat terkutuk di bawah gunung, di mana energi yin murni berkumpul dan hanya mayat serta iblis roh yang bisa bertahan. Belum pernah ada yang keluar hidup-hidup dari sana.

Jin Seong tertawa kecil. Pelan. Retak.

"Jadi begini caramu membersihkan jejakmu, Tuan Tetua?"

Wu Jian memicingkan mata. "Diam."

"Aku tahu siapa yang mencuri kitab itu. Dan itu bukan aku."

Wu Jian melangkah maju, telapak tangannya menyala dengan energi biru. Satu pukulan menghantam dada Jin Seong — dan tubuhnya melayang seperti kain kotor, menabrak tiang batu sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dunia menjadi gelap.

---

Saat Jin Seong membuka mata, yang ia lihat hanyalah kabut.

Dingin, kental, dan seolah mengandung bisikan jiwa-jiwa mati.

Ia tersungkur di bebatuan tajam. Sekujur tubuhnya lebam, dan jiwanya seperti tercekik aura kelam yang menindih segala harapan.

Namun di tengah kehancuran, sesuatu memanggilnya.

Cahaya. Merah tua. Berkedip dalam kabut hitam.

Dengan langkah terseok, ia mengikuti cahaya itu — sampai tiba di depan sebuah altar batu tua, ditutupi lumut dan retakan zaman.

Di atasnya, tergeletak kitab kulit hitam, tertutup segel darah yang telah lama mengering. Di depannya, terukir nama yang telah dilupakan sejarah:

> Kitab Langit Pemutus Takdir

Heaven-Slaying Path

Tangannya terulur… lalu berhenti.

Bisikan menggema — bukan dari luar, tapi dari dalam jiwanya.

> "Apakah kau rela kehilangan segalanya... demi kekuatan yang bisa membunuh langit?"

Jin Seong menatap kitab itu.

Ia telah kehilangan kehormatan. Nama. Sekte. Bahkan tubuhnya yang terluka tak bisa lagi mengumpulkan energi.

Apa lagi yang tersisa?

Ia tertawa... lalu menjawab:

> "Tidak ada langit yang pantas ditaati."

Tangannya menyentuh kitab.

Segel darah meledak.

Kabut menjerit.

Langit menangis.

Dibuang ke Lembah Neraka Terkubur

Langit memerah, seperti murka para dewa yang mengawasi dari balik kabut keemasan. Di puncak Paviliun Langit Biru, lonceng kematian bergema tiga kali — berat, menggema, dan mengabarkan satu hal: pengusiran seorang murid inti.

Di hadapan ribuan mata murid, tetua, dan penguasa sekte, seorang pemuda bersimbah darah ditundukkan paksa, lututnya mencium lantai batu dingin yang retak karena pukulan sebelumnya. Pakaiannya robek, lambang Sekte Langit Biru tercabik, dan ikat pinggangnya — simbol status murid inti — telah dibakar.

Nama pemuda itu adalah Jin Seong.

"Pengkhianat," bisik seseorang dari kerumunan.

"Dia mencuri kitab terlarang milik pendiri."

"Layak mati."

Mata Jin Seong tetap terbuka, meski darah menetes dari pelipisnya. Tak ada air mata. Hanya keheningan… dan kilatan dendam.

Di hadapannya berdiri Elder Wu Jian, salah satu tetua besar sekte — yang juga orang yang mengangkatnya menjadi murid tiga tahun lalu.

"Jin Seong," ucapnya datar, suaranya berat namun tanpa emosi. "Kau telah mencoreng kehormatan Sekte Langit Biru. Sebagai murid yang kami besarkan, pengkhianatanmu adalah luka di tubuh sekte ini."

"Dan sebagai tetuamu…" Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jin Seong tajam. "Aku menghukummu dengan pembuangan ke Lembah Neraka Terkubur. Kau akan hidup, tapi tidak sebagai manusia."

Para murid terdiam. Beberapa terkejut. Beberapa bersorak dalam hati.

Lembah Neraka Terkubur — tempat terkutuk di bawah gunung, di mana energi yin murni berkumpul dan hanya mayat serta iblis roh yang bisa bertahan. Belum pernah ada yang keluar hidup-hidup dari sana.

Jin Seong tertawa kecil. Pelan. Retak.

"Jadi begini caramu membersihkan jejakmu, Tuan Tetua?"

Wu Jian memicingkan mata. "Diam."

"Aku tahu siapa yang mencuri kitab itu. Dan itu bukan aku."

Wu Jian melangkah maju, telapak tangannya menyala dengan energi biru. Satu pukulan menghantam dada Jin Seong — dan tubuhnya melayang seperti kain kotor, menabrak tiang batu sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dunia menjadi gelap.

---

Saat Jin Seong membuka mata, yang ia lihat hanyalah kabut.

Dingin, kental, dan seolah mengandung bisikan jiwa-jiwa mati.

Ia tersungkur di bebatuan tajam. Sekujur tubuhnya lebam, dan jiwanya seperti tercekik aura kelam yang menindih segala harapan.

Namun di tengah kehancuran, sesuatu memanggilnya.

Cahaya. Merah tua. Berkedip dalam kabut hitam.

Dengan langkah terseok, ia mengikuti cahaya itu — sampai tiba di depan sebuah altar batu tua, ditutupi lumut dan retakan zaman.

Di atasnya, tergeletak kitab kulit hitam, tertutup segel darah yang telah lama mengering. Di depannya, terukir nama yang telah dilupakan sejarah:

> Kitab Langit Pemutus Takdir

Heaven-Slaying Path

Tangannya terulur… lalu berhenti.

Bisikan menggema — bukan dari luar, tapi dari dalam jiwanya.

> "Apakah kau rela kehilangan segalanya... demi kekuatan yang bisa membunuh langit?"

Jin Seong menatap kitab itu.

Ia telah kehilangan kehormatan. Nama. Sekte. Bahkan tubuhnya yang terluka tak bisa lagi mengumpulkan energi.

Apa lagi yang tersisa?

Ia tertawa... lalu menjawab:

> "Tidak ada langit yang pantas ditaati."

Tangannya menyentuh kitab.

Segel darah meledak.

Kabut menjerit.

Langit menangis.

Kitab itu tidak hanya membangkitkan kekuatan… ia membangkitkan dosa yang disegel oleh tujuh sekte tertua di dunia.

Dan sekarang… dosa itu telah memilih tuannya

.

More Chapters