LightReader

Chapter 7 - Retaknya Harapan

Malam itu, aula sekolah dipenuhi lampu berkelap-kelip dan musik lembut. Acara perpisahan tim basket berlangsung meriah. Melody berdiri di depan cermin toilet, memperbaiki pita di rambutnya. Gaun sederhana berwarna pastel membuatnya tampak anggun. Ia tersenyum kecil, membayangkan akan menghabiskan malam itu bersama Toni.

Di luar aula, Kenny dan Larry duduk di bangku taman, menatap pintu aula yang terbuka. Mereka sengaja tidak masuk, hanya ingin memastikan Melody baik-baik saja.

"Kamu yakin kita nggak harus ngomong ke Melody sekarang?" tanya Kenny pelan, suaranya penuh keraguan.

Larry menggeleng, matanya tajam menatap lantai."Belum. Kita harus punya bukti kuat. Kalau kita salah langkah, Melody bisa saja nggak percaya sama kita."

Di dalam aula, Toni menyambut Melody dengan senyum menawan."Kamu cantik banget malam ini, Mel," ujarnya.

Wajah Melody memerah."Makasih, Kak."

Toni menggandeng tangan Melody, membawanya ke meja teman-temannya. Melody tak menyadari bahwa setiap kali Toni memperkenalkannya, teman-teman Toni tersenyum penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya mereka ketahui.

Saat Melody pergi sebentar ke toilet, tawa Toni dan teman-temannya pecah.

"Jadi, lo udah siap menang taruhan, Ton?" tanya salah satu temannya sambil menahan tawa.

"Ya, tinggal bikin dia bilang 'aku cinta kamu' di depan semua orang. Habis itu, gue menang," jawab Toni dengan nada meremehkan.

Mereka tertawa keras, tanpa sadar Melody berdiri di dekat pintu, mendengar semuanya.

Tangannya gemetar, napasnya tercekat. Dunia Melody runtuh seketika. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Ia berlari keluar aula, melewati kerumunan tanpa peduli pada pandangan orang.

Di luar, Kenny dan Larry langsung berdiri saat melihat Melody berlari dengan wajah penuh air mata.

"Melody! Kamu kenapa?!" seru Kenny panik.

Melody tak menjawab, hanya terus berlari ke taman sekolah. Kenny dan Larry saling berpandangan sebelum segera mengejar.

Di taman yang sepi, Melody terduduk di bangku, wajahnya tertutup kedua tangan. Isak tangisnya terdengar pilu.

Larry berlutut di hadapannya."Melody… tolong lihat kami."

"Aku bodoh… aku bodoh banget…." isak Melody. "Dia nggak pernah sayang sama aku… semua ini cuma taruhan…"

Kenny duduk di sebelah Melody, menepuk punggungnya dengan lembut."Kamu nggak bodoh, Mel. Kamu cuma tulus pada orang yang salah."

Larry menatap Melody dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Kami di sini, Mel. Dari dulu… sekarang… dan selamanya. Kami nggak akan biarin siapa pun nyakitin kamu lagi."

Melody menatap mereka dengan mata merah."Kalian… kenapa kalian selalu ada? Padahal aku bahkan nggak pernah sadar… kalian lebih dari sekadar sahabat…"

Kenny tersenyum pahit."Karena itulah yang sahabat lakukan—menjaga orang yang mereka sayangi, bahkan jika mereka nggak pernah tahu."

Air mata Melody kembali mengalir, tapi kali ini terasa sedikit hangat.

More Chapters