LightReader

Chapter 1 - The Villainess Reborn as the CEO's Secret Wife

Bab 1 – Pernikahan yang Tak Dirayakan

Petir menyambar di langit malam, menggoreskan cahaya putih yang tajam di balik kaca jendela besar vila mewah milik keluarga Aldrich. Hujan turun deras, membasahi jalan setapak menuju altar kecil yang terletak di taman belakang tempat upacara pernikahan dilangsungkan secara tertutup, sunyi, dan dingin. Tidak ada musik. Tidak ada undangan. Tidak ada kebahagiaan.

Evelyne berdiri diam di hadapan altar, mengenakan gaun putih sederhana dengan kerudung yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Jemarinya mengepal pelan, mencoba menahan rasa gugup yang menyelinap ke dalam dadanya.

Di hadapannya, pria itu Leonhart Aldrich berdiri tegap. Wajahnya tak memperlihatkan sedikit pun emosi. Dingin. Tajam. Jarak antara mereka terasa lebih jauh dari sekadar beberapa langkah.

"Apakah kau yakin?" Suara Leonhart terdengar rendah, nyaris seperti bisikan. Bukan karena lembut, tapi karena ia tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi.

Evelyne menatapnya matanya tajam, tenang, penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. "Ini hanya perjanjian. Aku tidak butuh cinta. Kau tidak perlu berpura-pura."

Leonhart terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat pria itu sedikit terganggu bukan karena kata-katanya, tapi karena ketenangan wanita itu. Ia bukan seperti wanita kebanyakan yang tergila-gila pada kekayaannya. Ia… lain.

Pendeta membaca akad pernikahan dengan cepat. Hanya butuh lima menit sebelum kalimat penutup meluncur dari bibirnya.

"Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri."

Cincin sederhana melingkar di jari Evelyne. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya angin malam yang menyambut pernikahan mereka dingin dan penuh rahasia.

Malam Hari, Dalam Mobil Rolls Royce Hitam

Mobil melaju pelan menembus kota yang masih dibasahi hujan. Di dalamnya, keheningan mendominasi. Evelyne menatap keluar jendela, melihat pantulan lampu jalanan di aspal basah. Leonhart duduk di sampingnya, dengan laptop terbuka di pangkuannya, sibuk mengetik sesuatu.

"Kita akan tinggal di penthouseku," katanya tanpa menoleh. "Lantai 65, Private Sky Residence."

Evelyne tidak menjawab.

"Ada beberapa aturan yang harus kau patuhi," lanjutnya. "Jangan membawa media. Jangan bicara tentang pernikahan ini. Dan jangan menanyakan urusanku."

Wanita itu tertawa kecil sinis tapi manis. "Sama-sama. Aku pun tak tertarik pada urusanmu, Tuan CEO."

Leonhart akhirnya menoleh. Untuk pertama kalinya malam itu, tatapan mereka bertemu.

"Aku penasaran. Apa yang membuatmu menerima tawaran ini?" tanyanya.

Evelyne membalas dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan ribuan rahasia. "Mungkin karena aku tahu cara bertahan hidup lebih baik daripada kebanyakan orang."

Kilasan Masa Lalu

Di kehidupan sebelumnya, ia adalah Lady Evelyne Virell seorang bangsawan berdarah biru dari Kerajaan Solis. Terkenal akan kecantikannya, kekejamannya, dan tentu saja… peran jahatnya sebagai villainess dalam kisah kerajaan.

Namun kebenaran yang tak pernah diketahui siapa pun: ia tidak pernah benar-benar jahat. Ia hanya tak pernah diberi kesempatan untuk mencintai… atau dicintai.

Ia dibunuh oleh sahabatnya sendiri Claria, wanita yang merebut tunangannya dan menjebaknya dalam skandal yang menghancurkan seluruh keluarganya.

Namun saat mata terbuka kembali, ia telah menjadi Evelyne Gracia seorang wanita muda di dunia modern, terlahir di keluarga miskin dan dibebani utang yang tak pernah ia buat.

Dan kini, takdir mempertemukannya dengan pria bernama Leonhart pemilik kerajaan bisnis terbesar di benua itu. Seseorang yang lebih dingin dari salju dan lebih tajam dari belati.

Kembali ke Sekarang

Penthouse itu megah. Terletak di tengah kota dengan jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan lampu malam seperti lautan cahaya.

Kamar Evelyne sudah disiapkan berbeda dengan kamar Leonhart, tentu saja. Mereka bukan pasangan dalam arti sesungguhnya.

"Sarapan disiapkan jam tujuh. Jangan terlambat kalau kau ingin menjaga penampilan sebagai istri CEO," kata Leonhart sebelum masuk ke ruangannya sendiri.

Evelyne memandangi pintu yang tertutup itu.

"Tenang saja, suamiku," bisiknya. "Aku tidak di sini untuk mengganggu duniamu. Aku di sini… untuk membangun milikku sendiri."

Matanya menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah baru, kehidupan baru. Tapi tekad yang sama kuatnya.

Evelyne Virell belum mati. Ia hanya bereinkarnasi.Dan kali ini, ia tidak akan menjadi korban lagi.

Bab 2 – Kontrak dan Rahasia

Pagi pertama sebagai istri dari CEO Leonhart Aldrich terasa… tenang, terlalu tenang.

Evelyne bangun sebelum matahari terbit. Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan bangsawan: bangun pagi, rapi, penuh kendali. Dalam balutan jubah sutra abu-abu lembut yang diberikan oleh pelayan pribadi Leonhart, ia berjalan menyusuri koridor penthouse yang luas dan minimalis, seolah seluruh ruang memantulkan kepribadian sang pemilik steril, berjarak, dan elegan dalam kesunyian.

Saat ia tiba di ruang makan, meja sudah tersaji. Makanan bergaya Barat telur orak-arik, salmon asap, croissant hangat, dan kopi hitam.

Namun yang paling menarik bukan makanannya.

Leonhart sudah duduk di sana. Rambutnya masih sedikit basah, menunjukkan ia baru selesai mandi. Kemeja putihnya digulung hingga siku. Di tangan kirinya, ia memegang tablet yang menampilkan laporan keuangan, sementara tangan kanannya sesekali menyeruput kopi.

Tatapannya berpindah padanya hanya sekilas.

"Kau datang tepat waktu," katanya datar.

"Seperti yang kau minta," balas Evelyne sambil duduk. "Aku istri yang patuh, ingat?"

Leonhart menutup tabletnya. "Baik. Kita akan bahas kontraknya sekarang."

Seorang pengacara pribadi masuk membawa dokumen. Dalam bundel kertas itu, segalanya tertulis jelas:

Pernikahan ini hanya berlangsung selama satu tahun.

Tidak ada hubungan intim, kecuali jika kedua belah pihak sepakat.

Evelyne akan menerima kompensasi sebesar 3 juta USD di akhir masa kontrak, asalkan tidak melanggar klausul kerahasiaan atau mempermalukan nama keluarga Aldrich.

Keduanya wajib tampil sebagai pasangan bahagia di hadapan publik.

"Cukup standar untuk pernikahan pura-pura," komentar Evelyne sambil membalik halaman tanpa ekspresi.

"Kau bisa menyewa pengacaramu jika ingin," ucap Leonhart.

"Aku bisa membaca," jawabnya sambil menandatangani halaman terakhir. "Dan aku cukup sering dipaksa membaca kontrak jebakan di kehidupanku sebelumnya."

Leonhart mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Bukan apa-apa," katanya, lalu menyeringai tipis. "Anggap saja... aku pernah menikah dalam kehidupan sebelumnya."

Di Balik Bayangan

Namun di balik semua ini, Evelyne menyimpan rahasia yang tak diketahui siapa pun.

Dalam kehidupan barunya, ia mewarisi lebih dari sekadar ingatan. Ia membawa kecerdasan tajam seorang bangsawan, kemampuan analisis ekonomi tingkat tinggi, dan yang paling penting rasa haus akan kebebasan.

Malam itu, setelah Leonhart pergi ke kantornya, Evelyne membuka laptop barunya.

Satu minggu sebelum pernikahan, ia diam-diam mendaftarkan nama perusahaan kecil atas nama samaran: E.V. Solutions konsultan digital branding yang ia kelola sendiri. Ia menyewa satu karyawan freelance yang tidak tahu identitas aslinya dan hanya berkomunikasi lewat email.

Evelyne punya misi: menjadi lebih dari sekadar istri CEO. Ia ingin mengalahkannya.

Di Kantor Leonhart – Aldrich Corporation

Leonhart duduk di ruangannya yang megah, mengamati profil Evelyne Gracia di layar laptopnya. Data-data yang dikumpulkan oleh tim keamanannya sangat minim.

Tak ada catatan kriminal, tapi juga tidak ada catatan luar biasa. Seorang wanita yatim piatu, bekerja paruh waktu sebagai barista, dan tinggal di apartemen kecil sebelum menikah dengannya.

Terlalu bersih. Terlalu... tidak konsisten.

"Siapa sebenarnya kamu, Evelyne?" gumamnya pelan.

Ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari CEO saingan:"Siapa wanita cantik yang kamu nikahi kemarin? Kami semua penasaran. Dia terlihat... tidak biasa."

Leonhart mengetik balasan pendek."Hanya kontrak."

Namun hatinya berkata lain.

Di Balik Cermin

Sementara itu, Evelyne berdiri di depan cermin di kamar pribadinya. Ia menatap bayangannya sendiri wanita dengan wajah lembut, namun mata tajam seperti pisau.

Ia tersenyum.

"Dulu aku dimanfaatkan. Kali ini, aku yang memegang kendali."

Bab 3 – Pesta dan Paparazzi

Malam itu, langit kota seperti dipenuhi cahaya keemasan dari gedung-gedung pencakar langit. Mobil-mobil mewah berjejer di depan gedung Crystal Palace Hotel lokasi pesta amal eksklusif yang hanya dihadiri oleh kalangan elite. Pengusaha, aktris, bangsawan modern, dan tentu saja… media gosip kelas atas.

Leonhart Aldrich, sang tuan rumah, dikenal jarang muncul di acara publik. Tapi kali ini berbeda. Karena malam ini, untuk pertama kalinya, ia datang bersama "istrinya".

Dan seluruh kota menantikannya.

Di Dalam Mobil

Evelyne duduk tenang di kursi belakang limusin hitam panjang. Gaun malamnya berwarna merah marun, membalut tubuhnya dengan elegan. Potongannya ramping, terbuka di punggung, dan ditaburi kilauan kecil yang mencuri cahaya. Rambutnya digelung rapi dengan hiasan mutiara hitam.

Ia menatap cermin kecil di tangan, lalu menatap Leonhart yang duduk di sampingnya dengan tatapan dingin seperti biasa.

"Kau yakin mau membawaku ke pesta ini?" tanyanya sambil tersenyum kecil. "Bukankah kontraknya mengatakan kita hanya berpura-pura?"

"Kau harus terlihat nyata. Dunia bisnis tidak percaya pada pernikahan tanpa wajah," jawab Leonhart datar.

"Baiklah," Evelyne membalas dengan nada bermain. "Maka aku akan menjadi istrimu malam ini… setidaknya di depan kamera."

Red Carpet

Saat keduanya melangkah keluar dari mobil, kilatan kamera menyambut seperti badai cahaya. Puluhan paparazzi langsung menyerbu dengan pertanyaan:

"Tuan Leonhart, apa benar ini istri Anda?""Nyonya Aldrich, dari mana Anda berasal?""Apa ini cinta pada pandangan pertama?"

Evelyne tersenyum senyum yang dilatih bertahun-tahun sebagai bangsawan. Senyum yang bisa menipu, menyihir, bahkan menusuk dari balik kilau bibirnya.

"Terima kasih sudah datang," ucapnya anggun sambil menggandeng lengan Leonhart. "Kami harap kalian menikmati malam ini."

Para reporter terdiam sejenak. Tidak ada yang menyangka wanita itu bisa bicara dengan begitu tenang, begitu percaya diri.

Di sisi lain, Leonhart meliriknya dari ekor mata. Ia menyadari sesuatu: wanita ini bukan wanita sembarangan. Caranya berjalan, caranya berbicara, bahkan caranya menghadapi tekanan—semuanya bukan milik perempuan biasa.

Di Dalam Ballroom

Ruangan penuh dengan aroma wine mahal dan parfum eksklusif. Musik klasik mengalun, tamu-tamu penting berdansa dan berbincang di bawah lampu kristal raksasa.

"Siapa wanita itu?" bisik seorang istri konglomerat.

"Bukan sosialita, bukan artis, bukan siapa-siapa... tapi bisa berdiri di samping Leonhart?" gumam seorang eksekutif muda.

Evelyne tahu, semua mata menghakimi. Tapi ia tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya ia dijadikan sasaran tatapan iri dan sinis. Di kehidupan lamanya, ia hidup dikelilingi musuh yang tersenyum manis.

Ia berjalan ke arah buffet, mengambil segelas champagne. Namun belum sempat menyesap, seseorang mendekat.

Kemunculan Musuh Baru

"Evelyne, bukan?" tanya seorang wanita tinggi dengan gaun emas yang mencolok. Bibirnya merah menyala, senyumnya tajam.

Evelyne mengenalnya dari foto korporat — Celina Morgen, direktur pemasaran dan mantan tunangan Leonhart.

"Oh?" Evelyne mengangkat alis. "Dan kamu pasti Celina. Senang akhirnya bertemu dengan wanita dari masa lalu suamiku."

Celina tersenyum penuh racun. "Kau cepat belajar… Tapi ingat, tak semua yang terlihat mewah bertahan lama."

Evelyne membalas dengan tenang. "Dan tidak semua yang dibuang itu tak berharga. Kadang, yang baru justru lebih tajam."

Setelah Pesta

Malam semakin larut. Di dalam mobil, keheningan kembali melingkupi mereka berdua.

"Kau pandai bersandiwara," ucap Leonhart tiba-tiba.

Evelyne tersenyum, menoleh ke arahnya. "Dan kau baru menyadarinya?"

Leonhart menatap ke depan. Untuk sesaat, ia tak bisa membaca wanita di sebelahnya.

Ia pikir Evelyne hanyalah wanita biasa yang menerima tawaran pernikahan karena uang. Tapi sekarang, ia ragu. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Bukan sekadar masa lalu... tapi kekuatan yang sedang tumbuh diam-diam.

Dan ia mulai curiga...

Bab 4 – Mantan Tunangan dan Rahasia Kantor

Esok harinya, langit kota masih diselimuti mendung tipis. Tapi suasana di kantor pusat Aldrich Corporation jauh lebih tegang dibanding cuaca di luar.

Di ruang rapat lantai 49, para direktur dan manajer sibuk berdiskusi soal merger mendatang. Namun perhatian Leonhart tak sepenuhnya di layar presentasi. Pandangannya kosong, sesekali melirik ke sisi meja—tempat biasanya Celina Morgen duduk sebagai kepala pemasaran global.

Tapi hari ini, Celina tidak hadir.

Dia tahu kenapa.

Karena semalam, di pesta amal, Celina melihat sesuatu yang tidak pernah ia duga: Leonhart datang bersama seorang wanita lain. Dan wanita itu bukan hanya siapa-siapa. Ia istri barunya.

Di Ruang Kerja Evelyne

Sementara itu, di penthouse, Evelyne duduk di depan laptopnya. Di layar terpampang dasbor awal dari E.V. Solutions, startup kecil yang ia rintis dalam diam.

Hari ini ia menerima dua klien kecil salah satu di antaranya adalah tokoh influencer lokal yang diam-diam ingin rebranding citra. Uang yang ia terima belum banyak, tapi cukup untuk mengembangkan satu fitur baru di situsnya: anonymized AI-powered brand strategy engine. Sesuatu yang belum banyak pemain lokal punya.

Ia tersenyum puas.

Hanya dalam dua minggu sejak menikah, ia sudah mulai membangun jalur kekuatannya sendiri—tanpa bantuan Leonhart, tanpa koneksi keluarganya, dan tanpa nama belakang "Aldrich".

Ponselnya bergetar.

📲 Pesan Masuk – Nomor Tidak Dikenal:

"Kita perlu bicara. Sendiri. Tempat biasa."– Celina

Evelyne menatap pesan itu sejenak, lalu membalas:

"Kau mengundangku? Kukira aku sudah cukup membuatmu kesal di pesta kemarin."

Balasan datang cepat.

"Kau menarik. Tapi tetap musuh."

Kafe Rahasia, Sore Hari

Evelyne datang dengan santai, mengenakan setelan kasual elegan berwarna hitam dan kacamata hitam besar. Celina sudah duduk di sudut kafe, menyesap espresso, dengan ekspresi dingin seperti biasa.

"Langsung ke intinya," kata Celina saat Evelyne duduk. "Apa tujuanmu menikahi Leonhart?"

Evelyne tertawa pelan. "Apa kau tanya itu sebagai mantan tunangan, atau sebagai direktur yang kehilangan posisinya dalam satu malam?"

Celina menyipitkan mata. "Leonhart bukan pria yang percaya pada cinta. Dia menikah karena alasan tertentu. Dan aku ingin tahu apakah kamu bagian dari permainannya… atau malah ancamannya."

Evelyne mencondongkan tubuh, menatap mata Celina dalam-dalam. "Tenang saja. Aku bukan ancaman. Bukan untuk Leonhart."

Dia lalu tersenyum tajam."Tapi mungkin… untukmu."

Celina menggertakkan gigi. "Kau main api dengan orang yang salah."

"Aku terbakar sejak lama," jawab Evelyne. "Dan kau tahu apa yang terjadi setelah seseorang terbakar hidup-hidup? Dia tak takut panas lagi."

Malam Hari – Kantor Leonhart

Leonhart menatap layar komputer. Di sana, laporan investigasi Evelyne yang diminta secara rahasia dari unit intel pribadi mulai terisi perlahan.

Nama asli: Evelyne GraciaPendidikan: Tidak terdaftar resmiCatatan pajak: NolRiwayat pekerjaan: Barista – 6 bulanAktivitas internet: Mayoritas bersihNamun satu detail menarik muncul:Baru-baru ini membeli domain situs digital marketing dengan nama samaran.

Leonhart menyipitkan mata.

"E.V. Solutions?"

Ia menyalakan layar kedua dan membuka situs itu.

Tampilan profesional. Fungsional. Bahkan... cerdas. Terlalu cerdas untuk wanita yang tidak punya latar teknologi.

Ia bersandar di kursinya, sambil menatap layar dalam diam.

"Siapa kamu sebenarnya, Evelyne?"

Ending Scene – Evelyne di Balkon Penthouse

Angin malam bertiup pelan. Evelyne berdiri di balkon, memandangi lautan cahaya kota di bawah sana.

Di tangannya segelas anggur merah. Di pikirannya, jutaan strategi. Ia tahu Celina tidak akan tinggal diam. Dan ia juga tahu… Leonhart sedang mengawasinya.

Tapi itu tak masalah.

Ia akan membuktikan satu hal:

Ia bukan sekadar istri pura-pura.Ia adalah ancaman yang dibungkus dalam balutan gaun malam.Dan dunia belum tahu siapa Evelyne Virell yang sesungguhnya.

Bab 5 – Jejak Masa Lalu dan Peluang Emas

Pagi itu, Evelyne terbangun lebih awal dari biasanya. Tapi kali ini, bukan karena jadwal makan pagi sebagai "istri CEO", melainkan karena mimpi yang mengganggunya.

Dalam mimpinya, ia kembali berdiri di aula istana Kerajaan Solis dunia lamanya. Ia melihat Claria, sahabat yang menusuknya dari belakang, tersenyum sambil menggandeng pangeran yang seharusnya menjadi tunangannya. Ia melihat darahnya sendiri mengalir di lantai marmer putih, dan di detik terakhir sebelum napasnya hilang, ia bersumpah: jika diberi kesempatan hidup kembali, ia akan mengambil kembali segalanya.

Kini, kesempatan itu ada di tangannya.

Bukan dalam bentuk pedang atau sihir… tapi uang, kekuasaan, dan strategi.

Hari yang Sibuk di Pusat Kota

Sore itu, Evelyne menghadiri konferensi bisnis kecil atas nama E.V. Solutions. Ia menyamar sebagai E. Vera, CEO fiktif dari startup barunya, mengenakan wig pendek dan blazer formal warna biru tua.

Acara tersebut menghadirkan para pelaku bisnis digital dan techpreneur dari Asia Tenggara, termasuk satu nama yang membuatnya sedikit terkejut:

Darian Xu – CEO muda dari Xucorp, perusahaan teknologi komunikasi terbesar keempat di benua itu. Usianya baru 29 tahun, tapi reputasinya sudah mendunia karena keberaniannya mengakuisisi perusahaan besar… termasuk satu startup yang hampir dibeli oleh Leonhart.

Saat Evelyne berdiri sendiri di booth kecilnya, Darian menghampiri.

"Aneh," katanya sambil menatap logo di stand. "Aku belum pernah dengar E.V. Solutions sebelumnya, tapi desain brand kamu terlalu rapi untuk sebuah perusahaan kecil."

Evelyne menoleh. "Kadang yang rapi justru yang paling berbahaya."

Darian tertawa kecil. "Kau CEO-nya?"

"E. Vera," jawabnya singkat, mengulurkan tangan.

Saat jabat tangan terjadi, sesuatu dalam diri Darian terdiam sejenak. Tatapan matanya berubah… seolah ia mengenali sesuatu dari sentuhan Evelyne.

"Sikapmu... bukan seperti wanita biasa dari industri teknologi."

Evelyne tersenyum tipis. "Dan kamu terlalu jeli untuk ukuran CEO muda."

Di Kantor Leonhart

Sementara itu, Leonhart sedang mengulas laporan akuisisi dari Xucorp, rivalnya dalam beberapa tender teknologi besar.

Saat ia membaca nama Darian Xu yang tampil dalam acara konferensi yang sama, ia tak memperhatikan satu detail kecil…

Salah satu peserta: E. VeraPerusahaan: E.V. SolutionsDomain: evs-digital.idStatus: High growth activity in early stage

Ia memperbesar logo perusahaan itu. Ada sesuatu yang familiar dalam desainnya. Terlalu elegan untuk perusahaan pemula. Terlalu… "Evelyne".

Leonhart menyandarkan punggung di kursi. Matanya menatap kosong.

"Apa dia benar-benar sedang bermain dua peran di bawah hidungku?"

Malam Hari – Penthouse

Evelyne pulang larut malam, masih mengenakan kacamata hitam dan hoodie panjang untuk menyembunyikan identitasnya.

Leonhart sedang menunggunya di ruang tamu, duduk dengan laptop terbuka dan segelas bourbon di meja.

"Dari mana saja?" tanyanya datar.

"Keluar," jawab Evelyne tanpa menjelaskan.

Leonhart menatapnya tajam. "Aku tidak suka kebohongan."

Evelyne melepas kacamatanya dan menatap balik. "Dan aku tidak suka dikekang. Kita sepakat, kan? Aku bebas selama tidak mempermalukanmu."

Leonhart berdiri, mendekat satu langkah. "Kau bermain api, Evelyne. Dan aku tidak akan segan memadamkannya."

Evelyne mendekat satu langkah juga, kini hanya berjarak beberapa jengkal dari dada pria itu. Suara napas mereka nyaris menyatu.

"Sayangnya," bisiknya tajam, "aku pernah terbakar habis sebelumnya. Dan kau bukan api yang cukup panas untuk menakutiku."

Ending Scene – Email Misterius

Di layar laptop Evelyne malam itu, masuk sebuah email:

📨From: Darian XuSubject: Business ProposalBody:

"Ms. Vera, I believe you have potential. I'd like to discuss a possible partnership—privately."

Evelyne menatap layar, lalu tersenyum.

"Permainan baru saja dimulai."

Bab 6 – Tawaran Rahasia dari Musuh Lama

Hening malam di penthouse hanya diisi suara lembut dari kipas AC dan ketikan cepat di laptop Evelyne. Di layar, email dari Darian Xu masih terbuka.

"I'd like to discuss a possible partnership privately."

Tidak ada lampiran, tidak ada detail tambahan. Hanya satu kalimat pendek, tapi cukup untuk menyalakan alarm di kepala Evelyne.

Dia tahu apa artinya.

Darian mencurigainya. Atau lebih buruk: mengenalinya.

Flashback – Dunia Lama

Di Kerajaan Solis, nama Evelyne Virell terkenal bukan hanya karena kecantikannya dan reputasinya sebagai "villainess", tapi juga karena strategi ekonominya yang luar biasa. Ia pernah menggulingkan tiga rumah bangsawan hanya dengan manipulasi pasar garam dan logistik gandum.

Salah satu bangsawan muda yang pernah ia kalahkan dalam perdagangan internasional adalah…

Pangeran Darian of House Xuvalen pewaris kerajaan timur yang terkenal dengan inovasi dan sistem perdagangan lautnya.

"Xu… Darian Xu…"

Evelyne menggertakkan gigi pelan. "Kau juga bereinkarnasi?"

Pertemuan Rahasia

Keesokan malamnya, Evelyne—kembali berpenampilan sebagai E. Vera menerima undangan makan malam di sebuah restoran rooftop tertutup di pusat kota. Tempat itu terkenal mahal, hanya menerima tamu dengan reservasi khusus.

Ia tiba tepat waktu, dengan setelan gelap, rambut diikat rapi. Di sana, Darian sudah menunggunya.

"Terima kasih sudah datang," sapa Darian sambil berdiri dan menarikkan kursi untuknya. Sopan. Tapi matanya memancarkan kehati-hatian.

"Aku jarang keluar malam untuk pria yang hanya kirim satu kalimat email," jawab Evelyne dingin.

Darian tersenyum kecil. "Kamu belum berubah."

Evelyne menegang.

"…Maksudmu?" tanyanya datar.

"Aku tidak yakin, tapi... cara bicaramu, cara berpikirmu, itu... familiar," kata Darian sambil menyeruput wine. "Kau mengingatkanku pada seseorang dari… kehidupan yang lain."

Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Hanya suara alat makan di meja lain yang samar terdengar.

Evelyne akhirnya bicara, pelan namun tajam, "Jika kau yakin siapa aku… maka kau tahu, bermain-main denganku bukan ide yang bijak."

Darian menatapnya tajam. "Aku tidak berniat bermain-main. Justru sebaliknya. Aku ingin bersekutu."

Aliansi yang Tak Terduga

Darian membuka presentasi kecil di tablet miliknya. Ia memperlihatkan rencana besar merger dan strategi digital baru yang akan diluncurkan oleh Xucorp.

"Aku tahu siapa yang akan menjadi penghalang: Leonhart Aldrich. Dan aku tahu kamu, siapapun kamu sebenarnya, bukan wanita yang mau hidup dalam bayangan siapa pun."

Evelyne diam. Darian tidak hanya tahu sebagian dari siapa dia—tapi juga ambisinya.

"Bergabunglah denganku. Bukan sebagai bawahanku. Tapi sebagai... mitra rahasia."

Sementara Itu – Leonhart Bergerak

Di sisi lain kota, Leonhart memanggil kepala tim keamanannya.

"Aku ingin kamu pantau semua kegiatan startup bernama E.V. Solutions. Telusuri siapa pemilik IP, siapa yang mendaftarkan rekening, siapa yang menjadi klien pertamanya. Aku ingin semua data... tanpa diketahui siapa pun, termasuk istriku."

"Ada masalah, Tuan?" tanya bawahannya.

Leonhart menatap layar yang menampilkan gambar Evelyne saat turun dari mobil malam kemarin. Sendirian. Tanpa pengawalan.

"Masalah?" gumamnya."Bisa jadi… ancaman."

Ending Scene – Di Atas Jurang Keputusan

Evelyne berdiri di balkon apartemennya malam itu, lagi. Tangannya memegang dua hal:

Kartu bisnis Xucorp dengan tawaran Darian.

Kontrak pernikahan dengan tanda tangan Leonhart.

Dua dunia. Dua kekuatan.Satu dari masa lalu yang mungkin mengenalnya.Satu dari masa kini yang mulai mencurigainya.

Dan ia berdiri di tengah api yang siap membakar keduanya.

"Kalau aku harus jadi pion…Maka aku akan memilih papan caturku sendiri."

Bab 7 – Musuh Mulai Bergerak, Cinta Tak Terduga

Pagi itu, Evelyne mengenakan blouse putih elegan dan rok pensil hitam saat ia duduk santai di ruang tamu penthouse, membaca koran bisnis sambil menyeruput teh. Sekilas ia tampak seperti istri CEO pada umumnya anggun, tenang, berkelas.

Namun satu halaman di koran membuat senyum di bibirnya perlahan memudar.

"Siapa Sebenarnya Evelyne Gracia? Istri Rahasia Leonhart Aldrich Dicurigai Memiliki Identitas Ganda!"

Di bawah judul itu, terpampang foto dirinya dari pesta amal beberapa hari lalu sudut pandang yang tak disadari siapa pun, diambil dari jarak jauh. Lebih buruk lagi, di bawah foto itu, ada kolom opini berisi pertanyaan tentang latar belakangnya yang "tidak jelas", "tidak memiliki jejak pendidikan elit", dan bahkan "terlalu sempurna untuk orang biasa".

Evelyne meremas kertas itu perlahan.

"Celina…"

Dia tahu ini bukan ulah media biasa. Hanya satu orang yang cukup kejam dan cukup berani untuk menyerangnya secara tidak langsung seperti ini.

Di Kantor Celina Morgen

Celina melempar koran ke meja asistennya sambil tersenyum puas.

"Aku hanya menyalakan sedikit api kecil… biar publik yang membakarnya sendiri," katanya dengan nada manis memuakkan.

"Kalau dia merasa cukup pintar untuk menantangku, dia akan tahu... bahwa media dan reputasi sosial adalah senjata yang lebih tajam dari pisau."

Sementara Itu – Leonhart Berubah

Di ruang kantornya, Leonhart membaca koran yang sama. Ia mengetuk meja pelan dengan jemari panjangnya, sementara asistennya menunggu arahan.

"Siapkan klarifikasi resmi," katanya. "Bilang bahwa istriku adalah warga sah dan tidak berafiliasi dengan organisasi manapun."

"Asalkan bukan... bisnis gelap atau politik?"

Leonhart menoleh. Tatapannya tajam.

"Asalkan bukan Celina."

Asistennya terdiam. Ini pertama kalinya Leonhart menyebut nama mantan tunangannya dalam nada penuh kemuakan.

Konfrontasi yang Tak Terhindarkan

Sore itu, Evelyne menyambangi kantor Leonhart tanpa pemberitahuan. Ia masuk ke ruangannya dengan langkah tenang, meskipun wajahnya tak menyembunyikan amarah.

"Jadi, aku sekarang bahan gosip?" tanyanya tajam sambil melemparkan koran itu ke mejanya.

Leonhart memandangnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat Evelyne… bukan hanya sebagai wanita kuat, tapi sebagai manusia yang bisa terluka.

"Aku tidak menyebarkan itu," katanya tegas. "Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan reputasimu."

Evelyne terdiam. Ucapan itu terdengar terlalu jujur, terlalu cepat, terlalu… tulus.

"Kau... peduli?" bisiknya.

Leonhart bangkit dari kursinya. Ia berdiri di hadapannya sekarang, hanya sejengkal jarak. Suaranya lebih pelan, lebih pribadi.

"Aku tidak tahu kenapa aku peduli. Tapi ya… aku peduli."

Kejutan yang Lain

Malam itu, Evelyne kembali membuka laptopnya dan membaca ulang proposal kerja sama dari Darian Xu. Namun satu email baru masuk, dengan judul:

📨From: UnknownSubject: You're Being WatchedBody:

"Dia tahu lebih banyak dari yang kau pikir.Jangan percaya siapa pun. Termasuk suamimu."

Ending Scene – Leonhart Menatap Layar

Di ruang pribadi tersembunyinya, Leonhart membuka file tersembunyi dari penyelidikan rahasia.

Nama Samaran: E. VeraIP Address: Cocok dengan koneksi pribadi Evelyne GraciaKlien pertama: Startup Xucorp – milik Darian XuAktivitas: Pertumbuhan eksplosif dalam 10 hari terakhir

Leonhart menatap layar dengan ekspresi rumit di antara kekaguman dan pengkhianatan.

"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Evelyne?"

Bab 8: Bayangan Masa Lalu yang Mengancam

Elara menatap ke luar jendela ruang kerjanya yang menghadap kota metropolitan yang tak pernah tidur. Lampu-lampu gedung tinggi berkelap-kelip seakan menjadi saksi sunyi dari pergulatan batin yang ia alami. Malam tadi, di pesta amal yang diadakan oleh perusahaan, segalanya berubah.

Tiba-tiba, sosok pria dari masa lalunya muncul — bukan hanya sekadar mantan kekasih, melainkan seseorang yang pernah menghancurkan hidupnya secara perlahan, dan kini kembali membawa ancaman yang tak pernah ia duga.

Pagi ini, suara telepon yang berdering berkali-kali memecah kesunyian. "Tuan Darius ingin bertemu dengan Anda di ruang konferensi," kata suara sekretaris dengan nada serius.

Elara menghela napas panjang, menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tahu, pertemuan ini akan mengubah segalanya.

Langkah kakinya mantap menapaki lorong-lorong kantor pusat yang megah, setiap detik terasa seperti jarum jam yang menghitung mundur waktu menuju kenyataan yang tak bisa ia hindari. Saat membuka pintu ruang konferensi, ia melihat Darius sudah berdiri di sana, sosok pria itu dengan raut wajah penuh kerisauan.

Darius menatap Elara dengan mata tajam, seolah ingin menyampaikan sebuah rahasia besar. "Ada sesuatu yang harus kau tahu, Elara," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

Elara mengangguk, menguatkan dirinya. "Apa itu?"

Darius menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat tua yang terlihat sudah agak lusuh. "Ini bukti bahwa ada orang-orang di sekitarmu yang tidak seperti yang kau kira. Mereka merencanakan sesuatu yang berbahaya, dan itu bisa menghancurkan reputasi dan posisimu di perusahaan ini."

Dengan tangan gemetar, Elara membuka amplop itu dan mulai membaca dokumen-dokumen yang berisi bukti korupsi, penggelapan, bahkan sabotase yang dilakukan oleh salah satu direktur senior yang selama ini dianggapnya sebagai mentor.

Hatinya hancur. Rasa dikhianati yang dulu pernah ia rasakan sebagai wanita muda yang tak berdaya kini kembali menghantui. Tapi kali ini, ia tak akan diam.

"Kau yakin dokumen ini asli?" tanyanya, suaranya bergetar tapi penuh tekad.

Darius mengangguk. "Aku sudah mengecek sendiri. Semua bukti itu valid. Mereka menggunakan hubungan dekat denganmu untuk menjebakmu."

Elara menutup mata sejenak, mengumpulkan kekuatan. "Aku harus segera bertindak. Tapi jika mereka sudah sedekat itu, aku harus berhati-hati."

Darius mendekat, menaruh tangan di bahunya. "Kau tidak sendirian kali ini, Elara. Aku akan membantu."

Perlahan, harapan mulai tumbuh di hati Elara. Meski bayangan masa lalu masih menghantui, kini ia punya kesempatan untuk mengubah nasibnya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk masa depan yang selama ini ia impikan.

Setelah pertemuan itu, Elara langsung menyusun strategi. Ia mulai mengumpulkan aliansi dalam perusahaan, memeriksa ulang setiap keputusan dan laporan keuangan, sambil menjaga citranya agar tetap kuat dan tak tergoyahkan.

Namun, ancaman itu tidak berhenti di situ. Lewat pesan-pesan anonim dan tindakan kecil yang mulai mengganggu ketenangannya, Elara tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai.

Malam itu, saat ia duduk di balkon apartemennya yang tinggi, memandang bintang-bintang yang tersembunyi di balik kabut kota, Elara berjanji pada dirinya sendiri: ia tidak akan pernah membiarkan masa lalunya menentukan masa depannya.

Ia adalah wanita yang telah terlahir kembali, dengan tekad yang lebih kuat dan hati yang tak mudah patah.

Bab 9: Jejak Pengkhianatan

Keesokan harinya, Elara memasuki ruang rapat dengan langkah pasti. Suasana di dalam ruangan terasa dingin, penuh dengan tatapan waspada dari para direksi dan manajer senior. Semua orang tahu bahwa sesuatu sedang terjadi, tapi tak ada yang berani membuka suara terlebih dahulu.

Darius berdiri di sebelah Elara, memberikan dukungan tanpa kata. Mereka berdua kini seperti dua pejuang yang siap menghadapi badai.

"Elara, kau ingin membicarakan apa?" suara ketua dewan terdengar penuh selidik.

Dengan tenang, Elara membuka laptopnya dan memproyeksikan dokumen-dokumen yang kemarin diterimanya. "Ini bukti adanya penggelapan dan sabotase yang dilakukan oleh salah satu direktur senior, Pak Leonard," ucapnya mantap.

Suasana langsung berubah tegang. Pak Leonard, yang duduk paling depan, menatap Elara dengan mata penuh kemarahan dan kebencian. "Ini fitnah! Kau berani menuduhku tanpa bukti yang sah!"

Elara memandangnya tanpa gentar. "Dokumen ini bukan fitnah. Ini laporan keuangan yang sudah saya verifikasi, dan beberapa bukti komunikasi yang membuktikan keterlibatan Anda."

Suasana menjadi gaduh. Beberapa direktur mulai saling berbisik, sementara yang lain mencoba menenangkan situasi.

Darius maju selangkah. "Kita tidak bisa membiarkan perusahaan hancur karena pengkhianatan dari dalam. Ini bukan hanya soal bisnis, tapi masa depan semua orang di sini."

Ketua dewan mengangkat tangan, memerintahkan untuk diam. "Baik, kita akan membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki kasus ini. Elara dan Darius, saya minta kalian memimpin tim ini."

Elara mengangguk. Tanggung jawab ini besar, tapi ia siap menghadapi segala risiko.

Setelah rapat selesai, Elara dan Darius mulai mengumpulkan data dan melakukan penyelidikan intensif. Setiap malam mereka bekerja hingga larut, menyisir bukti satu per satu.

Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin jelas pula bahwa pengkhianatan ini bukan hanya dari Pak Leonard. Ada jaringan yang lebih besar, melibatkan orang-orang berpengaruh yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang.

Suatu malam, saat Elara pulang dari kantor, ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Bayangan seseorang mengikuti langkahnya di lorong gelap.

"Siapa di sana?" suara Elara tegas meski sedikit gemetar.

Tak ada jawaban, tapi suara langkah kaki semakin menjauh.

Elara mempercepat langkahnya menuju mobil, jantungnya berdebar. Ia tahu, bahaya kini semakin nyata.

Keesokan harinya, pesan misterius muncul di emailnya: "Berhenti jika kau ingin selamat."

Elara menatap layar komputer dengan tatapan dingin. "Aku tidak akan mundur," gumamnya.

Darius yang berdiri di sampingnya mengangguk. "Kita akan melewati ini bersama."

Malam itu, tekad Elara semakin kuat. Ia siap berperang melawan bayangan masa lalu dan musuh yang tak terlihat demi membangun masa depan yang ia impikan.

Bab 10: Perang Bayangan dan Kepercayaan yang Retak

Pagi itu, gedung pencakar langit tempat perusahaan mereka bernaung tampak megah dari kejauhan, namun di dalamnya, suasana sangat jauh dari kesan damai. Elara duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan beragam data dan laporan keuangan yang baru masuk. Setiap angka, setiap pola transaksi, adalah teka-teki yang harus ia pecahkan dengan cepat.

Darius masuk ke ruangan, membawa segelas kopi hitam. "Sudah lihat email dari tim IT? Mereka menemukan jejak akses tidak sah ke server pusat," katanya sambil menyerahkan kopi ke Elara.

Elara mengangguk tanpa berkata-kata. "Aku juga baru dapat laporan dari bagian keuangan. Ada beberapa transaksi yang sengaja disamarkan dengan kode-kode tertentu agar tak terlihat."

Darius duduk di sampingnya, menatap layar dengan serius. "Mereka sangat terorganisir. Ini bukan sabotase biasa. Ini operasi terencana dan dijalankan oleh orang-orang yang paham betul dengan sistem perusahaan."

Elara menghela napas, lalu membuka pesan yang baru masuk ke ponselnya. Pesan singkat itu berbunyi, "Jangan percaya semua orang di sekitarmu." Namun, tidak ada nama pengirim atau petunjuk lain.

Mata Elara menyipit. "Ini bukan hanya soal pengkhianatan dari satu atau dua orang. Kita berhadapan dengan kelompok yang sudah merencanakan semuanya jauh sebelum ini."

Darius menggenggam bahu Elara, memberikan kekuatan. "Kita harus lebih berhati-hati dalam memilih siapa yang bisa dipercaya."

Seiring waktu berjalan, berita bocornya data perusahaan dan kasus penggelapan mulai menjadi konsumsi publik. Media menyebarkan berbagai spekulasi, dan harga saham perusahaan merosot drastis. Dewan direksi semakin gelisah dan menuntut solusi cepat.

Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri seluruh anggota dewan, ketua dewan, Pak Herman, menatap Elara dengan ekspresi tegas. "Elara, perusahaan kita sedang berada di ambang kehancuran. Kau harus menyelesaikan masalah ini segera, atau kita akan kehilangan segalanya."

Elara berdiri, suaranya lantang dan penuh percaya diri. "Saya mengerti tekanan yang ada. Tapi saya juga butuh dukungan dari seluruh dewan agar investigasi ini bisa berjalan efektif. Tanpa itu, kita hanya akan membuang waktu."

Ketegangan semakin terasa saat laporan terbaru datang: seorang anggota tim investigasi yang selama ini dipercaya, hilang bersama beberapa dokumen penting. Ini adalah pukulan telak.

Darius memandang Elara dengan mata serius. "Ini bukan hanya pengkhianatan dari luar, tapi dari dalam tim kita sendiri. Kita harus selektif, hati-hati memilih siapa yang bisa dipercaya."

Elara merasakan beban di pundaknya semakin berat, tapi di saat seperti ini, Darius adalah kekuatan yang menguatkan hatinya. Mereka duduk bersama di ruang kerja pada malam yang sunyi, lampu kota berpendar lembut di balik jendela.

Darius menggenggam tangan Elara dengan lembut, suaranya penuh keyakinan. "Aku percaya padamu. Kita akan melewati ini bersama."

Elara menatap mata Darius, dan untuk pertama kali dalam waktu lama, ia merasa ada secercah kehangatan dan harapan. "Terima kasih, Darius. Tanpamu, mungkin aku sudah menyerah."

Namun, di balik momen kehangatan itu, bayangan gelap mengintai. Dari sudut ruangan yang jauh, seseorang diam-diam mengawasi mereka, mempersiapkan langkah licik berikutnya dalam permainan berbahaya ini.

Bab 11: Taktik Bayangan dan Keputusan Berat

Malam itu, ketika gedung pencakar langit berhiaskan lampu kota yang berkelap-kelip, Elara berdiri di balkon kantor lantai tertinggi, membiarkan udara dingin malam menyapu wajahnya yang penuh kerisauan. Di bawah sana, hiruk-pikuk kota modern tak berhenti bergerak, namun di dalam hatinya, badai persoalan berkecamuk tanpa henti.

Sejak kasus penggelapan dan sabotase mulai terungkap, hidupnya tak pernah lagi sama. Rasa percaya yang dulu ia miliki kini berganti menjadi waspada yang berlebihan. Ia bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang bisa ia percaya? Dan seberapa dalam konspirasi ini merangkak ke dalam jantung perusahaan yang sudah ia perjuangkan dengan segenap jiwa raga?

Darius muncul di sampingnya, sosok yang selalu bisa menjadi jangkar di tengah badai. Dia menatap Elara dengan mata penuh perhatian dan keteguhan. "Kita tidak bisa hanya menunggu. Kita harus mulai menyerang."

Elara menoleh, menatap pria itu dalam diam. "Aku setuju, tapi satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya. Kita harus merencanakan dengan matang."

Hari berikutnya, Elara mengumpulkan beberapa anggota tim inti di ruang rapat khusus. Dengan suara yang mantap, ia mengumumkan pembentukan "Tim Operasi Bayangan" sebuah tim rahasia yang terdiri dari individu-individu paling terpercaya, bertugas mengendus, menyusup, dan mengumpulkan informasi dari dalam dan luar jaringan musuh.

"Ini bukan tugas mudah," Elara mengingatkan mereka. "Kita harus berhati-hati, tapi juga agresif. Kita tidak bisa hanya menunggu sampai serangan berikutnya datang."

Salah satu anggota tim, Rian, seorang analis IT muda yang berbakat, mengangkat tangannya. "Kami sudah menemukan beberapa jejak digital yang mengarah ke alamat IP luar negeri. Ini bisa jadi markas musuh kita."

"Koordinasikan dengan pihak keamanan dan intelijen, Rian. Kita butuh bukti konkret," jawab Elara.

Di sisi lain, tekanan dari dewan direksi semakin berat. Dalam rapat tertutup, para anggota dewan mulai mempertanyakan keputusan dan kepemimpinan Elara. Ada yang mulai ragu, ada yang membuka keraguan mereka secara terbuka.

Pak Herman, ketua dewan, menghela napas panjang. "Elara, perusahaan ini terlalu berisiko jika terus dipimpin dengan cara seperti ini. Kita butuh pemimpin yang lebih tegas, yang bisa membawa perusahaan keluar dari krisis ini."

Namun, ada pula anggota dewan yang membela Elara. "Dia sudah bekerja keras dan berani menghadapi masalah ini secara langsung. Tanpa dia, kita tidak tahu seberapa jauh masalah ini akan memburuk."

Ketegangan di antara para anggota dewan menyebabkan rapat menjadi panas, penuh intrik dan tekanan yang membuat Elara merasa semakin terisolasi.

Malam hari, saat suasana kantor sudah sepi, Elara duduk sendiri di ruang kerjanya yang besar, memandang kosong ke layar monitor yang menampilkan grafik kerugian dan laporan investigasi. Pikiran tentang pengkhianatan, tanggung jawab, dan masa depan perusahaan bercampur menjadi satu.

Ponselnya berdering, memecah keheningan. "Elara, aku sudah mengatur pertemuan rahasia dengan informan yang mungkin bisa membantu kita mendapatkan gambaran lebih jelas tentang jaringan ini," suara Darius terdengar dari ujung telepon, penuh urgensi.

Elara menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri. "Baik, aku akan siap."

Namun, di sudut gelap lain kota, seseorang mengawasi setiap langkah mereka melalui layar monitor, tersenyum dingin. Permainan bayangan yang mematikan baru saja memasuki babak baru dan bidak-bidak akan mulai bergerak dengan cara yang tak terduga.

Bab 12: Jebakan Terencana dan Pengorbanan

Langit malam menyelimuti kota dengan gelapnya yang tenang, seolah menutupi kegelisahan yang bergejolak di hati Elara. Setelah pertemuan rahasia dengan informan yang diatur oleh Darius, kini ia berdiri di tengah persimpangan jalan antara mengambil langkah berani yang bisa membahayakan dirinya, atau mundur dan kehilangan segalanya.

Ruang pertemuan kecil yang remang-remang menjadi saksi dari pembicaraan yang penuh rahasia itu. Sang informan, pria paruh baya dengan mata tajam, membongkar jaringan konspirasi yang jauh lebih besar dari yang selama ini Elara bayangkan. "Mereka punya kaki tangan sampai ke level tertinggi di pemerintahan dan perusahaan pesaing," katanya pelan. "Ini bukan hanya tentang uang. Mereka ingin menghancurkan reputasi dan menguasai pasar."

Elara mendengarkan dengan seksama, setiap kata menambah beban di pundaknya. Namun di balik rasa takut, ada bara tekad yang menyala. "Apa yang harus saya lakukan?"

Informan itu menyerahkan sebuah flash drive. "Ini bukti penting. Data yang bisa menjatuhkan mereka. Tapi kau harus hati-hati. Mereka sudah mulai mencium adanya pengkhianatan."

Setelah pertemuan itu, Elara dan Darius mulai menyusun rencana yang lebih agresif. Mereka harus mengungkap seluruh jaringan itu, sekaligus menjaga keselamatan diri dan perusahaan.

Namun, musuh tidak tinggal diam. Seminggu kemudian, sebuah insiden terjadi. Saat Elara pulang dari kantor larut malam, mobilnya hampir diserempet oleh kendaraan lain yang melaju kencang. Ia merasakan napasnya tercekat, sadar bahwa ini bukan kecelakaan biasa.

Di kantor, laporan-laporan yang masuk menunjukkan sabotase baru server penting perusahaan mengalami gangguan, beberapa data hilang tanpa jejak. Tanda jelas bahwa musuh mereka semakin nekat.

Ketegangan semakin menjadi-jadi ketika seorang anggota tim operasional bayangan mereka tiba-tiba menghilang. Darius merasa ada yang tak beres. "Kita harus segera mengevaluasi kembali keamanan tim. Pengkhianat bisa berada di mana saja."

Elara menatap Darius dengan mata penuh kekhawatiran. "Aku takut, Darius. Ini sudah jauh melewati batas."

Darius menggenggam tangan Elara erat. "Aku di sini. Kita akan hadapi semuanya bersama."

Malam itu, di ruang kerja yang sunyi, Elara menulis sebuah pesan singkat ke seluruh timnya, memperingatkan agar selalu waspada dan tidak mudah percaya. Namun, di balik pesan itu, ia menyimpan rahasia besar bahwa ia mungkin harus membuat pengorbanan yang selama ini ia hindari demi melindungi semua yang dicintainya.

Di luar, di balik jendela, bayangan hitam yang mengintai tersenyum licik. Permainan berbahaya ini belum berakhir. Malah, ini baru babak pembuka dari pertarungan yang jauh lebih berbahaya.

Bab 13: Kepercayaan yang Terkoyak dan Rahasia Terungkap

Pagi itu, udara di kantor terasa berat dan penuh ketegangan. Elara melangkah masuk ke ruang rapat utama dengan hati yang bergemuruh, namun wajahnya tetap menunjukkan ketegasan yang sudah menjadi ciri khasnya sejak ia memimpin perusahaan ini. Namun, di balik itu semua, pikirannya tak lepas dari dua insiden besar yang baru saja menimpa: nyaris tabrakan mobilnya malam sebelumnya, dan hilangnya anggota tim Operasi Bayangan yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.

Darius sudah menunggu di pojok ruangan, matanya menyiratkan kekhawatiran mendalam tapi juga dorongan semangat untuk tetap maju. Para anggota tim lain pun mulai berdatangan, masing-masing membawa rasa cemas dan kewaspadaan yang sama.

Saat semua sudah berkumpul, Elara membuka pembicaraan dengan suara lembut tapi tegas, "Kita sudah kehilangan satu dari kita. Ini bukan serangan acak atau kebetulan. Ini peringatan yang jelas bahwa musuh sudah semakin dekat, dan mereka tahu langkah-langkah kita."

Ruangan itu hening sesaat, kecuali suara bisik yang berkelindan di antara mereka. Rasa takut mulai merayapi ruang rapat, tapi semangat untuk bertahan dan membalas juga tampak menyala di mata semua anggota.

Elara melanjutkan, "Namun yang paling menyakitkan adalah, kita punya indikasi kuat bahwa ada pengkhianatan dari dalam. Seseorang yang kita anggap sekutu ternyata telah mengkhianati kepercayaan kita."

Darius berdiri dan menatap satu per satu wajah yang hadir. "Kita harus menemukan siapa dia, sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Tidak boleh ada celah."

Selama berhari-hari setelah itu, tim investigasi internal bekerja siang dan malam. Setiap anggota diperiksa latar belakangnya, setiap jejak digital dianalisis dengan teliti. Namun, sang pengkhianat selalu selangkah lebih maju, meninggalkan jejak samar yang sulit dilacak.

Di tengah tekanan ini, sebuah kejutan datang yang membuat Elara nyaris kehilangan keseimbangan.

Ketika ia pulang ke kantor sendirian, sebuah paket misterius diletakkan di mejanya. Paket itu berisi sebuah surat usang dan foto hitam-putih yang sudah mulai pudar. Foto itu menampilkan Elara kecil bersama seorang anak laki-laki yang wajahnya ia ingat samar saudara laki-lakinya yang dulu hilang saat mereka masih kecil.

Elara memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia membaca kata demi kata yang tertulis di atas kertas yang mulai menguning itu:"Aku tahu kau akan menemukan ini suatu hari nanti. Aku bersembunyi bukan karena aku ingin melupakanmu, tapi karena aku harus melindungimu dari kegelapan yang mengancammu."

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam kini terbuka kembali, tetapi juga disertai oleh secercah harapan yang tak pernah ia sangka ada.

Darius yang masuk ke ruangan, melihat wajah Elara yang basah oleh air mata, langsung bergegas menghampiri. Ia meraih tangan Elara dan bertanya dengan lembut, "Apa yang terjadi? Siapa dia?"

Elara mengusap air matanya dan mencoba tersenyum tipis. "Dia... saudara laki-lakiku. Aku tidak pernah tahu kalau dia masih hidup selama ini. Semua yang aku kira tentang masa lalu ternyata salah."

Namun, kebahagiaan itu segera terkoyak oleh sebuah berita buruk yang datang dari sekretaris kantor. Telepon berdering, membawa sebuah pengumuman yang membuat suasana kembali mencekam.

"Pak Leonard, direktur senior yang selama ini dicurigai, telah mengajukan pengunduran diri secara mendadak," suara sekretaris terdengar berat dan tegang. "Selain itu, ada laporan tentang transaksi besar yang tidak bisa dijelaskan terkait dengan namanya."

Elara menggigit bibir, mencoba menenangkan dirinya. "Ini bukan kebetulan. Ini strategi mereka mereka ingin memecah konsentrasi kita dan membuat kita kehilangan arah."

Darius menghela napas panjang, menatap Elara dengan serius. "Kita harus bertindak cepat. Jika kita terlambat, semua yang kita perjuangkan akan hancur."

Malam itu, di ruang kerja yang remang, Elara dan Darius merancang strategi baru yang lebih rumit dan berani. Mereka tahu, lawan mereka bukan hanya kuat secara finansial, tetapi juga licik dalam memainkan permainan intrik dan pengkhianatan.

Sementara itu, di balik layar, sang pengkhianat terus melangkah dengan hati-hati, siap untuk menjatuhkan Elara dan mengambil alih kendali perusahaan.

Elara menatap jauh ke luar jendela, ke kota yang penuh dengan cahaya dan bayangan. Ia sadar bahwa pertarungan ini belum berakhir bahkan, ini baru awal dari babak yang paling berbahaya.

Bab 14: Pertarungan Dalam Bayang-Bayang dan Keputusan Terakhir

Langit malam semakin pekat ketika Elara menutup laptopnya setelah berjam-jam menelusuri jejak-jejak digital dan bukti-bukti yang mereka kumpulkan. Setiap potongan informasi yang ditemukan membuka gambaran lebih jelas tentang konspirasi yang mengancam nyawanya dan masa depan perusahaannya. Namun, semakin banyak yang terungkap, semakin dalam pula jurang pengkhianatan yang harus ia hadapi.

Di sudut ruang kerjanya, Darius duduk diam, matanya penuh perhatian, menyimak dengan seksama setiap kata yang diucapkan Elara saat ia memaparkan perkembangan terakhir. "Kita sudah tahu siapa dalang utama di balik semua ini," katanya dengan suara rendah namun mantap. "Dia berada jauh di atas kita, dan memiliki kekuatan serta sumber daya yang tak terbayangkan."

Elara mengangguk perlahan. "Tapi dia juga punya kelemahan. Kita harus temukan celah itu dan manfaatkan sebaik mungkin."

Mereka tahu, ini bukan hanya soal pertempuran bisnis biasa, melainkan sebuah perang psikologis dan politik yang berbahaya. Musuh mereka siap menjatuhkan siapa pun yang menghalangi jalan mereka tanpa ampun.

Keesokan harinya, di ruang rapat dengan lampu yang redup, Elara memimpin pertemuan khusus dengan para pemimpin tim inti Operasi Bayangan. Rencana ofensif mereka sudah matang, namun mereka harus melangkah dengan sangat hati-hati.

"Tim kita akan membagi tugas menjadi tiga," Elara menjelaskan. "Satu kelompok akan menyusup lebih dalam ke jaringan mereka, satu lagi mengamankan bukti-bukti dan mempersiapkan publikasi jika diperlukan, dan yang terakhir akan menjaga keamanan dan koordinasi internal agar pengkhianat tak bisa lagi merusak dari dalam."

Darius menambahkan, "Ini adalah momen kritis. Kita harus menjaga kepercayaan satu sama lain dan tidak lengah sedikit pun."

Namun, di balik persiapan yang intens, Elara merasa beban berat di pundaknya tak hanya soal perusahaan, tapi juga hatinya. Perasaannya pada Darius semakin dalam, namun situasi yang memanas membuat mereka sulit menemukan waktu untuk berbicara secara pribadi.

Suatu malam, setelah rapat panjang yang menguras tenaga, Darius menahan Elara di depan lift, menggenggam tangannya erat. "Aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin kau tahu, aku selalu ada di sisimu. Apa pun yang terjadi."

Elara menatap matanya, merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan sejak lama. "Terima kasih, Darius. Bersamamu, aku merasa lebih kuat."

Mereka berdua berdiri diam sejenak, membiarkan momen itu mengisi ruang hampa yang selama ini mereka rasakan.

Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama.

Keesokan harinya, berita mengejutkan datang dari kantor pusat. Seorang anggota tim Operasi Bayangan yang selama ini dipercaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Dokumen-dokumen penting juga lenyap, memperparah situasi yang sudah kritis.

Elara merasakan jantungnya berdegup kencang. "Ini pengkhianatan yang paling berbahaya," gumamnya.

Darius menggenggam pundak Elara dengan tegas. "Kita akan menemukan dia. Kita akan membersihkan perusahaan dari pengkhianat itu."

Pertarungan dalam bayang-bayang semakin intens. Elara sadar, satu langkah salah bisa berakibat fatal, bukan hanya untuk karier dan perusahaan, tapi juga untuk nyawa mereka.

Di tengah badai konflik dan intrik yang semakin membesar, Elara dan Darius berjanji pada diri mereka sendiri bahwa mereka akan bertahan dan menang bersama apapun risiko yang harus dihadapi.

Bab 15: Konspirasi Terbuka dan Pertarungan Hati

Suasana di kantor pusat berubah drastis. Setelah hilangnya anggota tim Operasi Bayangan dan lenyapnya dokumen penting, setiap sudut ruangan dipenuhi dengan ketegangan dan kecemasan yang tak tersembunyikan. Elara berjalan dengan langkah pasti, wajahnya tetap dingin dan penuh fokus, meskipun hatinya bergejolak.

Darius menyusul di belakangnya, memandang sekeliling dengan penuh kewaspadaan. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya. "Musuh mulai bergerak lebih agresif."

Elara mengangguk, membuka laptop dan menampilkan peta digital jaringan internal perusahaan serta diagram alur komunikasi. "Kami sudah menemukan titik lemah dalam sistem mereka," ujarnya. "Sekarang kita harus menggulung jaringan itu satu per satu."

Namun, di tengah kerja keras itu, berita yang lebih buruk datang dari pihak dewan. Pak Herman mengadakan rapat darurat dengan para anggota dewan lainnya, mempertimbangkan kemungkinan drastis: mengganti kepemimpinan Elara demi "menyelamatkan" perusahaan.

Kabar itu dengan cepat sampai ke telinga Elara melalui salah satu sekutunya yang setia. Meski terluka, ia tak membiarkan rasa kecewa itu menguasai dirinya. "Ini adalah ujian terberat yang pernah aku hadapi," bisiknya pada diri sendiri.

Darius memegang tangan Elara erat. "Jangan biarkan mereka menguasaimu. Kau pemimpin terbaik yang pernah kutemui."

Di luar tekanan politik dan pengkhianatan, hubungan Elara dan Darius juga menghadapi ujian tersendiri. Kesibukan dan ketegangan membuat mereka jarang punya waktu untuk berbicara, dan komunikasi mereka mulai terasa renggang.

Suatu malam, ketika mereka bertemu di sebuah ruang kecil yang biasanya hanya untuk pertemuan rahasia, Elara menghela napas panjang. "Aku takut, Darius. Takut kehilangan segalanya... dan takut kehilanganmu."

Darius menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh keyakinan. "Kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Kita akan hadapi semuanya bersama."

Namun, bahaya belum selesai. Sebuah serangan siber besar-besaran melanda sistem perusahaan, memaksa Elara dan timnya bekerja tanpa henti untuk mencegah kerusakan lebih parah. Serangan itu bukan hanya mengancam data, tapi juga nyawa para staf yang menjadi sasaran intimidasi.

Dalam kekacauan itu, Elara mendapat informasi penting dari seorang informan rahasia nama dalang utama yang selama ini bersembunyi di balik layar: seseorang yang sangat dekat dengan perusahaan, bahkan dengan dirinya sendiri.

Elara terpaku, dada berdebar. "Ini... tidak mungkin."

Darius menggenggam tangan Elara dengan kuat. "Kita akan cari tahu kebenarannya. Apapun yang terjadi, aku di sini."

Malam itu, mereka berdua berjanji untuk melindungi satu sama lain, sambil menghadapi badai konspirasi dan pengkhianatan yang semakin membesar. Pertarungan mereka belum selesai justru baru saja dimulai.

Bab 16: Puncak Konspirasi dan Konfrontasi Tak Terduga

Senja mulai meredupkan cahaya di balik jendela kantor lantai tertinggi, namun di dalam ruangan itu, ketegangan memuncak tanpa jeda. Elara berdiri di tengah ruang rapat, matanya yang tajam mengamati setiap anggota dewan yang hadir. Rapat hari ini bukan sekadar pembahasan biasa — ini adalah pertarungan terakhir untuk mempertahankan kendali perusahaan dan mengungkap siapa dalang di balik semua intrik.

Darius berdiri di samping Elara, menjadi benteng yang selalu siap melindungi. Mereka sudah merancang rencana matang untuk menghadapi tekanan dan pengkhianatan yang selama ini membayangi.

Ketua dewan, Pak Herman, membuka rapat dengan suara berat. "Kita harus segera mengambil keputusan demi keselamatan perusahaan. Bukti-bukti yang sudah kita kumpulkan menunjukkan adanya sabotase dari dalam."

Elara mengangkat tangan untuk berbicara. "Pak Herman, saya ingin menyampaikan fakta yang sudah kami buktikan lewat investigasi tim Operasi Bayangan. Pengkhianat sebenarnya adalah seseorang yang selama ini kita anggap sebagai teman, bahkan keluarga perusahaan."

Seisi ruangan tercengang. Beberapa wajah tampak panik, yang lain marah, dan ada pula yang terlihat bingung.

Darius menambahkan, "Kami memiliki bukti kuat berupa rekaman, dokumen, dan saksi yang siap memberikan kesaksian."

Seorang anggota dewan bernama Pak Leonard tiba-tiba berdiri dengan wajah merah padam. "Ini tuduhan yang tidak berdasar! Aku tidak akan membiarkan namaku dicemarkan seperti ini!"

Elara menatapnya dingin. "Pak Leonard, semua bukti ada di tangan kami. Ini bukan soal mencemarkan nama, tapi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran."

Suasana memanas. Pak Leonard memukul meja dengan keras, menuntut bukti konkret. Elara memerintahkan asistennya menampilkan dokumen-dokumen yang menghubungkan Pak Leonard dengan transaksi mencurigakan dan komunikasi rahasia dengan pihak pesaing.

Seluruh ruangan terdiam melihat data yang terpampang jelas di layar.

Pak Herman akhirnya angkat bicara, "Pak Leonard, Anda berhak untuk membela diri, tapi bukti ini sangat kuat."

Pak Leonard menunduk, terlihat kalah.

Rapat berlanjut dengan keputusan tegas untuk mengeluarkan Pak Leonard dari jajaran dewan dan memulai proses hukum atas pengkhianatan yang telah ia lakukan.

Namun, konfrontasi ini hanyalah permukaan. Setelah rapat, Elara dan Darius mengetahui bahwa masih ada jaringan yang lebih luas yang belum terungkap, dengan target yang lebih besar mereka.

Malam harinya, di ruang kerja yang sunyi, Elara menatap Darius dengan mata penuh keteguhan. "Ini baru permulaan. Kita harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang."

Darius menggenggam tangan Elara, "Kita akan hadapi bersama. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Di balik semua kemenangan ini, ada harga yang harus dibayar. Kepercayaan yang terkoyak, persahabatan yang hancur, dan ancaman yang terus mengintai di setiap sudut. Elara sadar, untuk benar-benar menang, ia harus lebih dari sekadar seorang CEO ia harus menjadi pelindung, pejuang, dan di atas segalanya, seorang wanita yang tak pernah menyerah.

Bab 17: Pengkhianatan Terakhir dan Janji yang Tak Terpecahkan

Malam itu, kota tampak sunyi, namun di dalam gedung perusahaan yang megah, ketegangan berdenyut lebih kencang daripada dentuman jantung Elara. Setelah rapat yang mengguncang pondasi perusahaan, bahaya nyata kini mengintai lebih dekat dari sebelumnya. Musuh yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang kini mulai membuka taringnya secara terang-terangan.

Elara duduk di ruang kerja pribadi, matanya memandang kosong ke layar komputer yang menampilkan laporan keuangan dan hasil investigasi terbaru. Namun, pikirannya terpecah oleh bayangan yang terus menghantui pengkhianatan yang dilakukan oleh Pak Leonard, yang ternyata hanya pion kecil dalam permainan yang lebih besar.

Darius masuk membawa dua cangkir kopi, menyodorkan satu kepada Elara. "Kita butuh energi ekstra malam ini," katanya dengan senyum tipis.

Elara tersenyum kecil, lalu berkata, "Kita harus bergerak lebih cepat. Mereka akan mencoba serangan balik."

Tak lama setelah itu, alarm keamanan berbunyi, tanda adanya pelanggaran di jaringan internal perusahaan. Tim Operasi Bayangan segera diaktifkan, dan Darius langsung mengambil kendali situasi.

"Ini serangan siber yang terkoordinasi," ujar Rian, analis IT muda, dari meja kerjanya. "Mereka mencoba menembus firewall dan menghapus data penting."

Elara dan Darius bersama tim bergegas ke ruang server, mengawasi setiap langkah musuh yang berusaha merusak sistem perusahaan. Suasana tegang membayangi, jantung mereka berdegup kencang.

Di tengah kekacauan itu, seorang anggota tim yang lain mendatangi Elara dengan wajah panik. "Bu Elara, ada telepon dari seseorang yang mengaku mengetahui kunci rahasia jaringan ini. Dia minta bertemu malam ini, tapi tempatnya rahasia."

Elara menatap Darius dan berkata, "Ini bisa jebakan, tapi juga bisa jadi peluang. Kita harus siap."

Dengan perasaan campur aduk, Elara dan Darius pergi ke lokasi pertemuan yang sudah ditentukan, sebuah gudang tua di pinggiran kota yang remang dan sepi. Mereka berjalan masuk, penuh kewaspadaan.

Tiba-tiba, sosok bayangan muncul dari kegelapan. "Aku tahu kalian mencari jawaban," suara itu terdengar berat dan familiar bagi Elara.

"Siapa kau?" tanya Elara, suara tegas tapi hati-hati.

Pria itu melangkah maju dan mengangkat topinya, memperlihatkan wajah yang membuat Elara terkejut sekaligus terpukul. "Aku... saudaramu."

Elara terdiam, darahnya berdesir. "Kau hidup... selama ini?"

Saudaranya mengangguk pelan. "Aku di sini untuk membantu. Ada banyak hal yang kau tidak tahu, termasuk kenapa aku harus menghilang."

Malam itu, di gudang tua itu, terungkap rahasia-rahasia gelap yang mengubah seluruh pandangan Elara tentang masa lalunya, keluarganya, dan ancaman yang selama ini membayanginya.

Namun, pertemuan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, suara sirene polisi mendekat. Seseorang telah mengirim laporan rahasia. Elara dan Darius harus segera pergi.

"Ini baru awal," kata saudaranya sebelum menghilang ke dalam bayang-bayang.

Kembali ke kantor, Elara merasa beban semakin berat, tapi juga semakin kuat. Ia tahu, untuk melindungi orang-orang yang dicintainya, ia harus menghadapi masa lalu dan masa depan sekaligus.

Di sisi lain, hubungan Elara dan Darius semakin erat, dibentuk oleh perjuangan dan rasa saling percaya yang mendalam. Mereka berdua tahu, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semua badai bersama dengan hati yang tak pernah patah.

Bab 18: Jejak Bayangan dan Pilihan yang Menyatukan

Pagi itu, Elara merasa berat saat memasuki kantor. Perasaan campur aduk masih membekas setelah pertemuannya dengan saudara laki-lakinya di gudang tua malam sebelumnya. Semua rahasia yang terbongkar membuatnya merasa dunia yang selama ini dikenalnya mulai runtuh dan terbuka lebar ke arah yang tak pernah ia duga.

Di ruang kerja, Darius sudah menunggu dengan secangkir kopi hangat dan tatapan penuh perhatian. "Apa kabar?" tanyanya lembut.

Elara menghela napas, lalu berkata, "Ini lebih rumit dari yang kubayangkan. Saudara itu... dia membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban."

Darius duduk di sampingnya. "Apa yang dia katakan? Apakah ada sesuatu yang bisa kita gunakan?"

Elara mengangguk pelan. "Dia bilang ada jaringan bayangan yang sangat kuat, melibatkan orang-orang yang bahkan aku percayai. Dan ada kode rahasia yang bisa membuka semua ini, tapi aku harus menemukan bagian yang hilang."

Mereka memutuskan untuk menelusuri jejak-jejak lama, mulai dari dokumen-dokumen rahasia dan arsip tersembunyi di perusahaan. Namun, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin banyak pula rintangan yang menghadang. Serangan digital terus terjadi, mengancam menghapus semua bukti yang mereka kumpulkan.

Suatu malam, ketika mereka sedang meninjau data di ruang server, Elara menerima pesan anonim yang berisi peringatan keras: "Berhenti atau kau akan kehilangan segalanya."

Alih-alih mundur, Elara semakin yakin harus melangkah maju. "Ini sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Darius menggenggam tangan Elara, memberikan kekuatan. "Kita hadapi bersama."

Namun, di luar kantor, seseorang mengawasi dengan tatapan dingin. Rencana yang lebih licik sedang dirancang, dan waktu mulai menipis bagi Elara dan Darius untuk bertindak.

Di tengah kekacauan itu, ada momen singkat di mana Elara dan Darius menemukan ketenangan dalam pelukan satu sama lain, menguatkan janji bahwa mereka tidak akan menyerah sampai semuanya selesai.

Bab 19: Serangan Balik dan Pengkhianatan yang Mematikan

Malam itu, udara di sekitar gedung perusahaan terasa mencekam, seolah menyembunyikan bahaya yang siap meledak kapan saja. Elara dan Darius berada di ruang kendali Operasi Bayangan, memantau setiap gerakan musuh dengan waspada. Ketegangan membungkus ruangan yang remang, hanya ditemani layar monitor yang berkilauan.

"Serangan siber semakin agresif," ujar Rian, dengan jari lincah menari di atas keyboard. "Mereka mencoba memutus komunikasi internal dan mencuri data rahasia."

Elara memegang tangan Darius sebentar, menarik kekuatan dari tatapan penuh tekad pria itu. "Kita tidak boleh lengah. Ini saatnya menyerang balik."

Sementara itu, di tempat yang jauh dari sana, sebuah pertemuan rahasia berlangsung. Seorang pria berwajah dingin dengan senyum licik menatap layar yang menampilkan aktivitas perusahaan. "Mereka sudah mulai merasakan tekanan. Saatnya kita keluarkan jurus terakhir."

Serangan balasan dilancarkan dengan presisi. Tim Operasi Bayangan berhasil menembus salah satu jaringan bawah tanah musuh, menguak beberapa lokasi pusat kendali yang selama ini tersembunyi. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal seorang anggota tim yang sangat dipercaya, Mia, ditemukan dikhianati dan diculik.

Elara terpukul. "Mia sudah seperti keluarga. Kita tidak boleh kehilangan dia."

Darius mengatur strategi baru dengan cepat. "Kita harus segera menyelamatkannya. Ini bukan hanya soal data, tapi juga nyawa."

Misi penyelamatan pun dimulai. Dalam kegelapan malam, Elara dan timnya menyusup ke markas musuh, menghadapi penjaga dan jebakan yang mematikan. Setiap langkah membawa risiko yang bisa berakhir fatal.

Di tengah kekacauan, Elara berhadapan langsung dengan pengkhianat terbesar yang selama ini tersembunyi seseorang yang ia percayai sejak lama. Rasa sakit dan pengkhianatan itu membakar hatinya, namun ia tahu bahwa ia harus kuat demi orang-orang yang ia cintai.

Pertarungan fisik dan psikologis berlangsung sengit, dengan Elara dan Darius berjuang bahu membahu untuk keluar dari perangkap musuh.

Ketika malam hampir usai, mereka berhasil menyelamatkan Mia dan mengamankan data penting yang dapat menghancurkan jaringan konspirasi.

Namun, Elara tahu ini bukan akhir. Ini hanyalah babak baru dari perjuangan panjang yang harus mereka hadapi bersama.

Bab 20: Pengorbanan Terakhir dan Cahaya Harapan

Malam itu menjadi saksi dari perjuangan terbesar Elara dan Darius. Setelah misi penyelamatan yang berhasil, mereka kini menghadapi ancaman paling serius serangan langsung ke pusat kendali perusahaan dan reputasi mereka. Musuh yang licik dan berkuasa tidak akan menyerah begitu saja.

Di ruang rapat yang dipenuhi cahaya redup, Elara memimpin tim dengan ketegasan luar biasa. "Ini adalah titik balik. Jika kita gagal, semua yang telah kita perjuangkan akan hancur."

Darius berdiri di sampingnya, menyampaikan data intelijen terakhir yang mereka dapatkan. "Musuh sudah menyiapkan serangan skala besar. Mereka menggunakan pengaruh dan kekayaan untuk menghancurkan kita dari segala sisi."

Ketegangan merayap ke setiap sudut ruangan, namun semangat dan solidaritas tim tetap menyala. Mereka tahu, pertarungan ini bukan hanya soal bisnis ini soal harga diri, kepercayaan, dan cinta yang mengikat mereka semua.

Di tengah persiapan, Elara mendapat kabar bahwa seseorang dari dalam tim mereka mungkin telah berkhianat lagi. Rasa sakit mengoyak hatinya, tapi ia tetap bertekad untuk menemukan dan menyelesaikan masalah itu demi keselamatan bersama.

Saat malam turun, serangan besar itu pun dimulai. Ledakan kecil mengguncang gedung di beberapa titik, sistem keamanan yang rumit diuji hingga batasnya, dan ketegangan mencapai puncaknya.

Di tengah kekacauan, Elara dan Darius harus mengambil keputusan sulit. Mereka harus memilih antara menyelamatkan data penting atau melindungi nyawa anggota tim yang terjebak dalam ledakan.

Elara mengulurkan tangan, menggenggam tangan Darius. "Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama."

Dengan keberanian dan kecerdasan, mereka berhasil menyelamatkan semua anggota tim dan mengamankan data yang sangat berharga. Namun, ada satu pengorbanan yang harus mereka bayar—seorang anggota tim yang sangat mereka sayangi terluka parah, mengingatkan mereka akan betapa berbahayanya perjuangan ini.

Setelah kekacauan reda, Elara berdiri di depan jendela, memandang kota yang mulai tenang kembali. Darius datang mendekat, menggenggam tangannya erat.

"Kita sudah melewati badai yang paling gelap," kata Darius pelan. "Sekarang saatnya membangun kembali dengan harapan yang baru."

Elara tersenyum, merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan. "Bersamamu, aku yakin kita bisa menghadapi apa pun."

Malam itu, di tengah cahaya bintang yang berkilauan, janji mereka semakin kuat. Bahwa cinta dan kepercayaan akan menjadi kekuatan terhebat yang mampu menaklukkan segala rintangan.

Epilog: Awal Baru di Balik Bayang-Bayang

Beberapa bulan telah berlalu sejak badai yang hampir menghancurkan segalanya itu mereda. Kota yang dulu penuh dengan ancaman kini kembali berdenyut dengan kehidupan dan harapan. Di puncak gedung pencakar langit perusahaan, Elara berdiri menghadap cakrawala yang luas, menghirup udara segar pagi hari dengan perasaan yang tenang dan penuh syukur.

Di sampingnya, Darius menyandarkan bahunya, memandang ke arah yang sama. "Kita berhasil melewati semuanya, Elara. Tapi ini bukan akhir, melainkan awal baru."

Elara tersenyum, matanya bersinar penuh keyakinan. "Aku belajar banyak dari semua ini. Tentang kepercayaan, pengorbanan, dan yang terpenting, tentang cinta yang tak tergoyahkan."

Hari-hari berikutnya diwarnai oleh pembangunan ulang perusahaan yang kini lebih kuat dan bersih dari intrik. Elara memimpin dengan hati yang tulus, ditemani Darius yang selalu menjadi pendukung setianya. Mereka tak hanya membangun bisnis, tapi juga membangun keluarga tim yang saling percaya dan saling melindungi.

Pada suatu sore yang cerah, di taman atap yang kini menjadi tempat favorit mereka, Elara dan Darius duduk berdampingan. "Kita sudah berjuang melewati gelapnya masa lalu," kata Darius lembut, "Sekarang waktunya kita ciptakan masa depan yang penuh cahaya."

Elara menggenggam tangannya erat. "Denganmu, aku yakin masa depan itu bukan sekadar mimpi."

Mereka tertawa bersama, menghapus semua luka yang pernah ada. Di antara tawa dan bisikan janji, terpatri sebuah ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya sebuah cinta yang lahir dari keteguhan hati dan perjuangan tak berakhir.

Di bawah langit yang mulai gelap namun penuh bintang, Elara menatap Darius dan berkata, "Mari kita jalani hidup ini bersama, tanpa rahasia, tanpa ketakutan. Hanya kamu dan aku."

Darius membalas dengan senyuman hangat. "Selamanya, Elara."

Tamat

More Chapters