Tanah bergetar hebat setiap tapal kuda kavaleri menghantam permukaan, memunculkan getaran yang terasa hingga ke tulang. Deru genderang perang berdentum tiada henti, menyatu dengan ribuan langkah kaki tentara yang berbaris rapi, membelah udara pagi yang masih dipenuhi kabut tipis. Pekikan prajurit berkumandang, menggema dan menyulut semangat di antara kabut senjata dan aroma tanah basah, sementara di barisan terdepan, satu sosok pemimpin berdiri gagah di atas kudanya, menjadi pusat perhatian pasukan di tengah lautan manusia dan kuda.
Langit pagi membentang luas, warnanya pucat kebiruan diselingi semburat abu-abu tipis bekas kabut yang belum sepenuhnya pergi. Awan-awan tipis melayang rendah, sesekali digerayangi sinar matahari samar yang hanya menambah dingin suasana. Di atas kehijauan padang, langit itu jadi latar megah bagi parade kuda dan tentara, seolah ikut menyaksikan medan perang yang baru akan membara.
Roderick melayangkan pandang, suaranya lantang, "Aku Roderick, komandan divisi Apax! Hari ini, kita akan tunjukkan pada kerajaan Bara siapa yang sebenarnya berkuasa!"
"Untuk Apax! Hancurkan Bara!" teriak para prajurit bersahut-sahutan, sorak mereka terdengar membahana dan penuh percaya diri.
Tak satu pun prajurit meragukan perintah Roderick. Reputasinya sebagai salah satu Sword Master Royal telah menancap kuat di benak setiap pasukan. Dari ribuan prajurit di seluruh kerajaan, hanya dua puluh orang saja yang layak menyandang gelar tersebut dan Roderick adalah salah satunya. Setiap gerakannya, mulai dari cara ia menggenggam gagang pedang hingga sorot matanya saat menatap musuh, mengisyaratkan keahlian yang sudah berkali-kali terbukti di medan perang. Kepercayaan para prajurit tumbuh, bukan dari sekadar cerita, tapi dari melihat sendiri bagaimana sang komandan mampu menghunus pedang dan memimpin formasi tanpa ragu sedikit pun.
Di sisi lawan, seorang pria muda berusia awal dua puluhan tampak terhuyung di atas punggung kuda hitamnya. Botol anggur tergenggam erat di tangannya, cairan merah tumpah membasahi jari-jarinya setiap kali ia mengangkatnya ke mulut. Rambutnya acak-acakan, pipi memerah, dan matanya setengah terpejam seluruh wajah Minami menampakkan betapa mabuk dan tak pedulinya ia terhadap kekacauan di sekitarnya, bahkan kudanya pun sesekali berputar mengikuti gerakan tubuhnya yang tidak stabil.
Minami, seorang letnan muda Kerajaan Bara, dikenal memiliki kisah hidup yang tragis di balik sikap kacau dan mabuknya. Sejak usia dua belas tahun, ia terbiasa menenggak anggur untuk menenggelamkan luka akibat kehilangan sang ibu tercinta. Dulu, Minami adalah anak jenius bakatnya dalam strategi dan pedang selalu mengundang decak kagum seluruh keluarga bangsawan. Namun, seiring waktu, duka dan kesepian mendorongnya terjerumus dalam pelarian panjang bersama botol anggur, meski ayahnya berkali-kali murka dan berusaha memisahkan mereka. Kini, tak ada satu pun yang berhasil menjauhkan Minami dari anggur, dan aroma buah fermentasi itu selalu membayangi langkahnya di medan perang.
Roderick memicingkan mata, menatap aneh ke arah Minami yang masih terhuyung di atas kuda, botol anggur tak pernah lepas dari cengkeramannya. "Hei, kau bajingan di sana! Apa benar kau Minami, letnan dari Bara? Atau aku harus menunggu sampai kau sadar dari mabukmu dulu?"
Minami hanya tertawa miring, mengangkat botolnya seolah memberi salam, "Santai saja, Komandan. Nikmati saja pertarungan ini… dunia terlalu singkat buat diambil serius."
Para prajurit Bara tampak marah, salah satunya berteriak, "Beraninya kau hina Tuan Minami!"
Yang lain ikut menyalak, "Hancurkan saja mulut bajingan itu!"
Minami menoleh malas ke belakang, menatap kerumunan prajurit yang hanya bisa ribut tanpa berniat menolong. Mereka mendesaknya seperti mendorong kambing ke kandang harimau tak ada satu pun yang benar-benar peduli. Minami cuma mengangkat botol anggurnya tinggi, seolah mengucapkan "terserah kalian" tanpa kata, lalu menenggaknya dengan tatapan pasrah bercampur acuh.
Minami, lelaki muda yang kini menjabat letnan Bara, sebenarnya bukan penduduk asli dunia ini. Saat usianya baru 12 tahun, ia tiba-tiba terbangun di tubuh bocah bangsawan setelah tragedi ibu tubuh barunya meninggal. Di masa itu, kenangan masa lalu sebagai anak Bumi masih segar, dan dia pun mendapati sebuah sistem aneh menempel di dirinya, setiap kali meneguk anggur, aliran pengalaman dan keahlian pedang masuk begitu saja ke otaknya, seperti sedang bermain game dengan cheat yang instan dan memabukkan.
Namun, di balik kebiasaannya meminum anggur, banyak orang salah paham pada Minami. Mereka mengira ia sekadar larut dalam duka, padahal yang tak mereka tahu, setiap tegukan anggur adalah caranya menyeimbangkan kemampuan luar biasa dari sistem misterius yang menempel di jiwanya. Di mata orang lain, Minami hanyalah letnan pemabuk yang kehilangan arah, tapi di dalam dirinya tersimpan pergumulan besar yang tidak pernah dipahami siapa pun.
Minami, masih limbung akibat mabuk, menggenggam kendali kudanya sambil berusaha menyambar botol anggur cadangan yang terselip di pelana. Gerakannya yang sembarangan membuat kuda hitamnya gelisah hewan itu mengangkat kaki depan tinggi, moncongnya meringkik keras, sebelum tiba-tiba melompat ke depan seperti kehilangan kendali. Tubuh Minami menghentak keras ke arah leher kuda, botol di tangannya hampir terlepas, dan pasukan di sekitar hanya bisa terdiam menahan tawa dan cemas melihat letnan mereka nyaris terpelanting dari sadel.
Begitu kuda Minami melesat ke depan dengan liar, barisan prajurit Bara melongo terkejut. "Wah, Letnan kita maju! Gila, dia menerima tantangan itu!" teriak mereka, campur aduk antara kaget dan semangat.
Roderick menunjuk dari kejauhan, senyumnya miring dan matanya menyipit penuh gairah bertarung. Ia berteriak dengan nada tegas dan pedas, "Akhirnya ada nyali juga kau bajingan! Jangan cuma bisa mabuk di atas kuda, sini lawan aku bangsat kalau memang punya keberanian!"
Minami hanya bisa mengumpat dalam hati, "Apa-apaan kuda sialan ini? Mau cari mati jangan bawa-bawa aku!" Tubuhnya tidak stabil di atas sadel, tangan masih berusaha menahan botol anggur yang hampir terlepas. Detak jantungnya makin kencang saat kuda itu melesat liar ke depan, meninggalkan barisan prajurit yang bersorak dan menyorakinya.
Di depan sana, tubuh Roderick berdiri gagah bagai raksasa. Lengan besarnya yang sekeras baja—bahkan lebih kokoh daripada kaki Minami sendiri naik setinggi bahu, dengan pedang raksasa di tangan yang terangkat tajam ke udara. Ia tampak seperti binatang buas yang hendak menerkam mangsa, sorot matanya penuh gairah tempur, siap menelan Minami bulat-bulat dari atas kuda.
Kuda Minami tetap melaju liar, matanya menatap lurus ke depan tanpa peduli teriakan prajurit di belakang. Di hadapannya, yang terlihat hanya sosok Roderick dengan pedang besarnya terangkat tinggi, siap mengayunkan serangan mematikan. Minami, dengan tubuh limbung dan kepala berat, berusaha mencabut pedang sabernya dari sarung tangannya gemetar, gerakannya serampangan, benar-benar tampak mabuk.