LightReader

Chapter 14 - chapter 14 - lahirnya malaikat jatuh

7 Agustus 2004.Hujan turun deras malam itu, membasahi atap rumah besar keluarga Adriansyah, sebuah klan penyihir yang namanya disegani hampir di seluruh negeri. Para bidan dan penyihir pendamping berdesakan di ruang utama, jantung mereka berdegup kencang seakan tahu bayi yang akan lahir bukan bayi biasa.

Tangisan pertama menggema, menusuk dinding-dinding batu yang penuh ukiran mantra. Cahaya biru pucat menyala dari tubuh mungil itu, membuat semua orang yang hadir menahan napas. Aura sihirnya terlalu padat—seakan dunia magis sendiri enggan menerima kelahirannya.

“Tidak mungkin… bayi ini punya core sihir sebesar itu?” salah satu penyihir terkejut, urat di pelipisnya menegang.

Ruhnya bergetar kuat, seperti ada dua jiwa yang berebut tempat dalam wadah kecil bernama Rian. Sebagian merasa kagum, sebagian lagi merasa takut. Bayi itu bahkan belum bisa membuka matanya, tapi aura yang ia pancarkan sudah cukup untuk menyalakan lilin tanpa api.

Malam itu, nama diberikan kepadanya.Rian Adriansyah.Bukan sekadar anak, tapi “harapan baru” keluarga penyihir besar itu.

Sejak saat itu, takdirnya bukan lagi miliknya sendiri.Ia bukan sekadar manusia. Ia adalah simbol. Alat. Warisan.

Dan tanpa disadari, malam kelahiran itu juga menjadi awal dari sebuah kisah—kisah kelam tentang seorang bocah yang kelak disebut oleh dunia sebagai Malaikat Jatuh.

Rian tumbuh dengan “disiplin” yang bagi orang luar lebih mirip penjara ketimbang pendidikan.Bagi keluarga Adriansyah, ia bukan seorang anak—ia adalah investasi, pewaris, dan senjata masa depan.

Umur lima tahun, ketika anak lain masih berlari di halaman dan jatuh karena lutut tergores, Rian sudah harus duduk tegak di ruang latihan, berhadapan dengan guru-guru elit yang didatangkan khusus. Tongkat sihir di tangannya lebih berat dari lengannya sendiri, tapi ia dipaksa mengangkatnya sampai tangannya gemetar.

Umur enam tahun, kata bermain resmi dihapus dari kamus hidupnya. Bola yang dulu diam-diam ia sembunyikan di bawah ranjang kasur dibakar di depan matanya, hanya karena dianggap “pengalih fokus”. Bahkan buku cerita bergambar pun dilarang, diganti dengan kitab mantra yang tebalnya melebihi tubuh kecilnya.

Umur tujuh tahun, hukuman fisik menjadi rutinitas.Cambuk kulit yang dihantamkan ke punggungnya bukan karena ia malas—tapi karena ia gagal mencapai standar mustahil yang dipatok keluarganya. Kadang hanya telat lima detik dalam merapal mantra, kadang hanya karena posisi duduknya sedikit miring. Luka di kulit punggungnya tak pernah benar-benar sembuh, selalu digantikan dengan yang baru setiap minggu.

Makanannya memang bergizi, penuh daging dan sayuran terbaik. Tidurnya cukup, tempat tidurnya empuk. Tapi semua itu terasa hambar, seolah hanya fasilitas minimum untuk menjaga “alat” tetap berfungsi. Senyuman tak pernah ada. Belaian tak pernah ia dapatkan. Hanya tatapan dingin, evaluasi, dan perintah.

“Sihir itu kewajibanmu. Nafasmu pun harus jadi mantra.”Begitulah kata-kata orang tuanya—kalimat yang diulang berkali-kali, seakan itu doa keluarga.

Rian hanya bisa mengangguk patuh, menunduk dalam setiap teguran. Tubuhnya tumbuh sehat, tapi hatinya… layu sebelum sempat mekar.Setiap malam, ketika semua tertidur, ia memeluk lutut di atas ranjang dingin. Tidak ada air mata yang berani jatuh, karena bahkan tangisan pun dianggap kelemahan. Yang ada hanya kekosongan—retakan yang semakin lama semakin melebar di hati kecilnya.

Ia bukan anak-anak. Ia bukan manusia. Ia hanyalah robot kecil, roda gigi dalam mesin besar bernama kejayaan keluarga Adriansyah.Dan di balik kepatuhan wajahnya, ada sesuatu yang perlahan retak—sebuah luka batin yang kelak tak bisa lagi diperbaiki.

Saat Rian berusia 10 tahun, berita besar mengguncang layar kaca di seluruh negeri.“Gelombang Energi Misterius Guncang Pusat Kota!” begitu headline berita malam itu. Orang awam menyebutnya bencana alam aneh—seperti gempa bercampur badai. Jalan-jalan retak, gedung runtuh, dan suara aneh bergema di udara. Tidak ada yang bisa menjelaskan.

Tapi bagi kalangan penyihir, kebenarannya jelas: itu bukan bencana alam. Itu Iblis Tingkat Lanjut. Makhluk yang lahir dari akumulasi nafsu manusia dalam skala masif, hingga tubuhnya berkembang jadi monster yang bahkan kamera biasa tak bisa menangkap jelas. Di layar televisi, sosoknya hanya terlihat sebagai siluet bergetar, blur, seolah dunia sendiri menolak menunjukkan wujud aslinya.

Awalnya, keluarga Adriansyah meremehkan ancaman itu.“Kirim penyihir muda dulu. Anggap ini latihan.”Puluhan dikirim, tapi tak satupun kembali.

Ketika laporan mayat-mayat mereka ditemukan dalam kondisi tercabik, barulah pasukan elit diturunkan. Mantra tingkat tinggi, segel ruang, bahkan sihir pemurnian diterjunkan. Tapi hasilnya tetap sama: darah dan kehancuran.

Akhirnya, keluarga inti sendiri turun tangan. Nama besar Adriansyah dipertaruhkan. Malam itu, langit kota terbelah oleh cahaya sihir.Mantra-mantra raksasa ditembakkan, gedung-gedung roboh, udara bergetar. Jeritan orang awam bercampur dengan pekikan iblis yang mengguncang jantung siapa pun yang mendengar. Selama berjam-jam, dunia seolah berubah jadi neraka terbuka.

Dan akhirnya… Iblis itu berhasil ditumbangkan. Tubuhnya meledak menjadi kabut hitam pekat, menghilang bersama suara mengerikan yang menempel di telinga para penyintas.Kota hancur. Ratusan korban berjatuhan. Dan harga kemenangan itu… terlalu mahal.

Seluruh keluarga inti Adriansyah mati di medan perang. Penyihir yang selama ini disebut tak terkalahkan, habis dalam satu malam.

Yang tersisa hanyalah seorang bocah sepuluh tahun.Rian Adriansyah.Si warisan terakhir. Si anak yang sejak lahir dipaksa jadi penerus, kini benar-benar sendirian, tanpa siapa pun di sisinya.

Hari pemakaman berubah menjadi awal mimpi buruk.Tangisan duka, bau dupa, dan doa-doa yang bergema di udara seketika runtuh oleh satu hal: gerakan dari dalam peti.

Saat peti mati ibunya hendak ditutup, sesuatu merembes keluar—cairan hitam pekat, berdenyut seperti jantung yang masih hidup. Uap dingin keluar bersamanya, menimbulkan bisik-bisik ketakutan di antara para pelayat.

Cairan itu bergerak sendiri. Menyelinap seperti ular, lalu—“Srak!”—melompat ke arah Rian kecil.Anak itu tak sempat menghindar. Cairan hitam itu menempel ke lehernya, meresap masuk ke pori-pori kulit, seperti ratusan jarum yang menembus sekaligus.

“Ugkh—!!” Rian menjerit, tubuh mungilnya menggeliat hebat di lantai, kuku-kukunya menggores tanah pemakaman.Lalu, suara itu terdengar. Berat. Bergema langsung di telinganya, seakan hanya dia yang bisa mendengar.

“Hahahahaha… tubuh ini sempurna. Denganmu, aku bisa lahir kembali… sebagai RAJA MANUSIA.”

Suara itu membuat bulu kuduk semua penyihir berdiri.Mereka langsung panik. Para tetua berteriak, menyuruh murid-murid mundur. Lingkaran sihir segera digambar terburu-buru di tanah dengan darah binatang kurban, mantra kuno dilantunkan tergesa-gesa.

Sinar putih menyilaukan memancar, membakar tubuh kecil Rian.Kulitnya melepuh, pembuluh darahnya menonjol, dan mulutnya berteriak tanpa henti:

“AAAAH!! BERHENTI! SAKIT!! TOLONG HENTIKAN!!”

Tapi tak ada yang peduli.Bagi mereka, tubuh anak itu hanyalah wadah. Wadah untuk mengurung iblis, bukan seorang bocah yang berhak merasakan belas kasih.

Segel semakin rapat. Mantra semakin keras.Rian kejang, lalu akhirnya ambruk, tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri, napasnya tipis.

Keheningan jatuh.Para penyihir bersorak lega—segel berhasil.Namun mereka tahu, itu hanya untuk sementara.

Di leher bocah itu, sebuah bekas hitam membentuk pola aneh, berdenyut pelan… seolah iblis itu masih bernafas di dalam sana.

Dalam ketidaksadarannya, Rian jatuh ke dalam gelap.Bukan gelap biasa—tapi hitam yang seolah punya tekstur. Pekat. Kental. Menelan cahaya sekalipun.

Di tengah kehampaan itu, ia melihatnya.Sosok yang bahkan sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bayangan hitam pekat, tapi bukan sekadar bayangan—lebih seperti lubang tak berdasar yang mengambil bentuk. Tanduk panjang mencuat dari kepalanya, berputar seperti spiral. Ekor panjang melingkar di tanah yang bahkan tak seharusnya ada. Dan yang paling jelas… dua bola mata putih menyala, menatapnya tanpa berkedip.

Rian kecil ingin berteriak, tapi suara tercekat di tenggorokannya.Ia bahkan tak tahu apakah ia masih punya tubuh di dalam kegelapan itu, ataukah dirinya hanyalah secuil kesadaran yang terapung di antara hitam.

Sosok itu bergerak. Tidak dengan langkah, tapi dengan keberadaan.Seolah sekali ia ingin mendekat, jarak ribuan meter runtuh begitu saja. Mata putih itu kini tepat di depan wajah Rian.

Lalu, suara.Dalam. Bergema. Seakan keluar dari ribuan mulut sekaligus, tapi tetap jatuh langsung ke telinga bocah itu.

“Oi, bocah…”

Rian gemetar. Nafasnya tersendat, meski ia tak merasa paru-parunya bekerja.

“…kenapa kau punya nafsu yang lebih besar dari iblis itu sendiri?”

Kata-kata itu menghantam keras, membuat kegelapan di sekitarnya berdenyut seperti dinding hidup.Apa maksudnya? Nafsu? Dirinya? Bukankah ia hanya seorang bocah?

Namun sebelum ia bisa bertanya, sebelum ia bisa mengerti, sosok itu mulai memudar.Matanya yang putih redup perlahan meredam, tubuh hitam pekatnya terurai seperti kabut, hilang ditelan kegelapan.

Rian mencoba menggapainya—tangan kecilnya berusaha meraih sosok itu, entah karena takut kehilangan, atau karena dorongan yang bahkan ia tak pahami.Tapi semuanya lenyap.

Yang tersisa hanya keheningan pekat.Dan sebuah gema samar, seakan bisikan terakhir yang bergetar di sudut telinganya:

“…kau akan mengerti nanti…”

Rian pun tersentak, napasnya mendesah keras saat ia membuka mata—tubuhnya terkurung dalam tabung kaca berisi cairan, kabel-kabel menempel di kulit, dan tatapan dingin para penyihir dari balik kaca observasi.

Alih-alih pelukan… yang menyambutnya adalah sengatan listrik.Sekali. Dua kali. Berkali-kali.Tubuh kecil itu menggeliat, kejang, mulutnya terbuka tanpa suara karena tenggorokannya dipenuhi cairan.

Di balik kaca, bayangan orang-orang berjubah putih berdiri.Beberapa menulis cepat di buku catatan, sebagian lagi tertawa kecil sambil berdebat, seakan jeritan bocah itu hanyalah musik latar eksperimen.

“Hmmm… reaksi terhadap tegangan sihir 40% masih bertahan. Tingkat adaptasinya gila.”

“Bagus, bagus. Naikkan jadi 60%! Lihat sejauh mana tubuhnya bisa menahan!”

“Kalau mati bagaimana?”

“Kalau mati? Kita kubur. Lalu kita pakai anak lain. Hahahaha!”

Dan listrik kembali menyambar.Rian bergetar, air mata bercampur darah dari hidungnya. Tapi tak seorang pun berhenti.

Hari-hari berikutnya sama.Tubuhnya digunting, disayat, dipaku. Potongan kulit diambil untuk “menganalisis struktur jaringan.” Darahnya ditampung botol demi botol, dicatat sebagai “sampel segel stabil.”

“Menarik… walau sudah kehilangan satu liter darah, ia masih hidup.”

“Manusia normal sudah mati. Bocah ini… bukan manusia normal.”

Air mata di wajahnya hanya dianggap “kondensasi cairan berlebih.”Jeritan yang keluar dari mulutnya hanya disebut “bunyi percobaan.”

Bagi mereka, Rian bukan lagi anak.Dia hanyalah objek penelitian berjalan.

Objek yang kebetulan punya tubuh kuat, dan itu saja sudah cukup bagi mereka untuk terus menyiksanya tanpa rasa bersalah.

Meski tubuhnya penuh luka percobaan, ketika usianya menginjak remaja, Rian diberi sesuatu yang disebut sebagai “kesempatan”.Kesempatan sekolah umum.Tapi ia tahu, itu bukan hadiah. Itu bagian eksperimen—para peneliti ingin tahu bagaimana “objek” akan bereaksi bila dilepaskan ke dunia luar.

Awalnya, Rian bersikap dingin. Setiap hari ia hanya duduk di bangku belakang, menatap papan tulis tanpa benar-benar fokus. Ia yakin cepat atau lambat orang-orang akan menjauhinya, sama seperti orang dewasa di rumah penyiksanya.

Namun perlahan, tembok itu mulai retak.

Ada Hiro, anak ceroboh yang selalu lupa bawa pulpen tapi tak ragu meminjam punya Rian.Ada Souta, si kutu buku yang suka duduk di sebelahnya hanya untuk mendiskusikan soal-soal sulit, seakan Rian adalah teman sepadan.Ada Mika, gadis ceria yang suka tersenyum tanpa alasan, yang suatu kali berkata, “Kalau kau diam terus, nanti kupaksa ketawa, tahu!”

Dan yang paling berarti…Guru kelasnya, Takayama-sensei.Seorang perempuan muda yang tak pernah memandangnya aneh, tak pernah bertanya soal bekas luka di tangannya.Bahkan sekali waktu, ketika Rian tertidur di kelas karena semalaman disetrum di laboratorium, Takayama hanya menaruh selimut di pundaknya.Rian diam-diam memanggilnya Ibu. Bukan dengan suara, tapi dalam hatinya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rian merasakan sesuatu yang mirip kebahagiaan.Tawa kecil saat jam istirahat. Senyuman saat pulang sekolah. Kehangatan yang ia kira hanya mimpi.

Tapi semua itu hanyalah jebakan.

Suatu malam, “peneliti” datang.Mereka menyerbu sekolah dengan wajah tanpa emosi, membawa segel dan senjata sihir.Teman-teman Rian—Hiro, Souta, Mika—dibantai tanpa sisa. Jeritan mereka dipotong oleh pisau dingin.Takayama-sensei… diperkosa, disiksa, lalu dibunuh tepat di depan mata Rian.

Semua itu dilakukan bukan karena dendam.Bukan karena alasan.Hanya untuk satu kalimat yang terus diulang oleh mereka:

“Kita harus lihat… seberapa jauh objek bisa bertahan ketika harapan satu-satunya dihancurkan.”

Dunia yang baru ia percaya, lagi-lagi diambil.Dan kali ini, retakan di hati Rian tak lagi bisa diperbaiki.

Di ruang gelap batinnya, rantai segel berderak pelan.Iblis hitam pekat itu masih terikat, tanduknya menukik, mata putihnya berkilat. Suaranya terdengar lembut, licin, menggoda:

“Yo, bocah. Kau marah, bukan? Kau muak? Bukalah segel ini. Biarkan aku yang mengurus semuanya.”

Rian menunduk, bahunya bergetar.Air matanya jatuh, menetes ke lantai yang tak berbatas.

Tapi di balik isakannya—ada bisikan lain.Bukan dari iblis.Bukan dari luar.Tapi dari dalam kepalanya sendiri, pecah berulang-ulang, kacau seperti rekaman rusak:

“Balaskan dendam.”“Hancurkan mereka.”“Aku ingin bebas.”“Kenapa aku harus menderita sendirian!?”“Mereka semua pantas mati.”“MATI SAJA KALIAN!!”

Suara-suara itu menumpuk, bergema, bertabrakan, makin keras.Seakan ada seribu dirinya yang menjerit serempak di ruang kosong itu.

Rian menutup telinga, tapi sia-sia.Itu bukan suara orang lain.Itu dirinya sendiri.Dirinya yang patah.Dirinya yang muak.Dirinya yang hanya ingin dunia terbakar.

Senyum kecil perlahan merekah di wajahnya yang basah air mata.Ia mengangkat tangan, gemetar… lalu meraih rantai segel yang membelenggu iblis itu.

“Kalau memang semua ini salahku…maka biarkan aku yang menghancurkan semuanya.”

Rantai itu patah.Segel runtuh.Dan tawa iblis menggema, bersatu dengan senyum bocah yang akhirnya memilih kegelapan

Kegelapan menyelimuti tubuhnya.Tangannya menghancurkan tabung kaca dengan sekali genggam, pecah berderak seperti mainan rapuh. Cairan berhamburan, menetes dari tubuh mungil yang kini tak lagi terlihat manusiawi.

Aura hitam menyalak keluar dari pori-porinya, menggeliat seperti asap pekat yang hidup, menggerogoti udara, menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya.

“Segel… pecah!? Tidak mungkin—!” salah satu penyihir menjerit panik.Mantra-mantra kuno ditembakkan, cahaya putih menyalak ke tubuh bocah itu. Tapi aura hitam menelannya bulat-bulat, seolah sihir hanyalah percikan api di lautan gelap.

Satu per satu penyihir berjatuhan. Ada yang tubuhnya remuk diterkam bayangan, ada yang kulitnya mengelupas terbakar oleh nafsu hitam yang meluap. Jeritan mereka bergema, saling tindih, jadi paduan suara neraka.

Keluarga wali asuhnya berusaha kabur, tapi lantai sudah dipenuhi lendir hitam pekat. Mereka terhisap, ditelan hidup-hidup, hanya menyisakan tangan yang meronta sebelum tenggelam.

Laboratorium itu—yang dulu menjadi ruang penelitian dingin—berubah jadi kuburan massal dalam hitungan menit. Bau darah dan daging terbakar memenuhi udara.

Dan di tengah kehancuran itu… berdirilah bocah berusia belasan dengan kedua sayap hitam pekat yang baru tumbuh dari punggungnya.Sayap itu merentang lebar, menjatuhkan bayangan kelam yang menelan seluruh ruangan.

Mata Rian menyala, bukan lagi milik manusia. Senyumnya tipis, mirip retakan di wajah malaikat yang sudah mati.

Bukan manusia.Bukan iblis.Sesuatu yang lain.

Malam itu, lahirlah sebuah makhluk baru.Dan sejak saat itu, dunia penyihir mengenal nama yang akan terus mereka takuti—

Malaikat Jatuh.

More Chapters