LightReader

Chapter 2 - Bab 2: Kota, Preman, dan Sedikit Keberuntungan

Rasa syok perlahan berganti menjadi pragmatisme yang dingin. Panik tidak akan membantunya. Rian menatap tangannya sekali lagi, mengepalkannya erat. Kekuatan ini nyata. Situasi ini, seabsurd apa pun, juga nyata. Tujuan pertamanya: mencari informasi. Dan tempat yang paling mungkin untuk itu adalah kota kecil di depan sana.

Sambil berjalan, ia mencoba menguji kemampuannya. Ia melompat, dan kali ini, dengan sedikit konsentrasi, ia mendarat hampir tiga meter dari titik awalnya. Ia mengambil sebuah batu seukuran bola bisbol dan meremasnya. Batu itu tidak hancur menjadi debu, tapi retak dan pecah menjadi beberapa bagian di bawah tekanan yang ia rasa tidak terlalu besar.

"Oke, jadi aku bukan Superman," gumamnya. "Mungkin lebih seperti... Captain America versi KW."

Semakin dekat ia ke kota, semakin jelas pemandangan yang ada. Bangunannya tampak seperti set film koboi yang sudah lapuk, tapi ada sentuhan aneh di mana-mana. Beberapa poster di dinding menampilkan gambar iblis dengan tanduk dan seringai lebar, mengiklankan semacam minuman. Seekor anjing kecil dengan sombrero mini berlari melintas, menggonggong pada kakinya. Ini jelas bukan Kansas.

Begitu Rian melangkah masuk ke jalan utama kota, semua mata tertuju padanya. Pakaiannya—kaus oblong bergambar band dan celana jins—terlalu modern, terlalu bersih dibandingkan dengan penduduk setempat yang mayoritas mengenakan rompi kulit, ponco, atau pakaian lusuh.

Tiba-tiba, sebuah suara yang familiar memanggilnya dari sebuah gang. "ITU DIA! ORANG ANEH YANG MENGHAJAR TEMAN-TEMANKU!"

Si pegulat Lucha Libre ungu kembali, dan kali ini ia tidak sendirian. Di belakangnya ada lima pria lain, semuanya lebih besar dan tampak lebih kejam. Salah satunya membawa-bawa pipa besi.

"Jadi kau jagoan, ya?" kata si pemimpin berpipa besi, maju selangkah. Otot-ototnya menonjol. "Mari kita lihat seberapa jago kau sebenarnya."

Rian mengambil posisi bertahan, jantungnya berdebar kencang. Kekuatannya mungkin baru, tapi rasa takutnya masih asli. "Aku tidak mau ada masalah."

"Terlambat!"

Si pria berpipa besi mengayunkan senjatanya ke kepala Rian. Secara naluriah, Rian mengangkat lengannya untuk menangkis, sama seperti yang ia lakukan di gurun.

DENTANG!

Suara logam beradu dengan sesuatu yang keras menggema di gang itu. Pipanya bengkok. Lengan Rian hanya terasa sedikit pegal. Mata si pemimpin melotot tak percaya. "Apa...?"

Rian memanfaatkan keterkejutan itu. Ia mendorong dada pria itu. Kali ini, ia mencoba mengendalikan kekuatannya, tidak mendorong sekuat tenaga. Hasilnya, pria besar itu hanya terhuyung mundur beberapa langkah, cukup untuk memberinya ruang.

Dua preman lain menyerang dari samping. Rian mencoba menghindar. Gerakannya terasa lebih ringan, lebih gesit. Ia melompat ke belakang, mendarat dengan mulus di atas sebuah tong kayu, membuat para penyerangnya menabrak satu sama lain.

"Wow," bisik Rian pada dirinya sendiri, sedikit terkesan dengan gerakannya sendiri.

Ini seperti menari. Menghindar, mendorong, menangkis. Ia tidak memukul—ia terlalu takut akan akibatnya. Tapi daya tahan tubuhnya luar biasa. Sebuah pukulan yang seharusnya mematahkan rahangnya hanya terasa seperti sengatan lebah. Ia mulai merasa lebih percaya diri, bahkan sedikit... bersenang-senang.

Saat ia sedang sibuk menghindari si pegulat yang mencoba menerkamnya, sebuah botol bir dilemparkan dari arah lain. Rian tidak melihatnya datang.

PYAAR!

Botol itu pecah di sisi kepalanya. Cairan membasahi rambutnya, dan pecahan kaca berjatuhan di bahunya. Rian membeku, menunggu rasa sakit yang menyayat.

Tapi tidak ada apa-apa. Hanya sensasi basah dan dingin. Ia menyentuh pelipisnya. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Bahkan tidak ada benjolan.

Seluruh preman di gang itu berhenti. Mereka menatapnya dengan horor. Seseorang bisa menahan pipa besi dan botol kaca ke kepala tanpa terluka? Itu bukan manusia.

Ketakutan di mata mereka lebih efektif daripada pukulan mana pun. Satu per satu, mereka mulai mundur, sebelum akhirnya berbalik dan lari terbirit-birit, meninggalkan si pegulat yang gemetaran sendirian sebelum ia ikut kabur.

Gang itu kembali sunyi. Rian masih berdiri di sana, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Kekebalan tubuh. Itu kemampuan baru. Atau setidaknya, tingkat kekuatan yang baru ia sadari.

"Kamu bukan dari sini, kan?"

Sebuah suara wanita yang tenang membuatnya tersentak. Rian berbalik dan melihat seorang wanita muda bersandar di dinding di ujung gang. Ia berambut pirang yang diikat ekor kuda, mengenakan pakaian praktis, dan matanya menatap Rian dengan tajam dan penuh perhitungan.

"Gerakanmu aneh," lanjut wanita itu, berjalan mendekat. "Kamu tidak bertarung seperti preman biasa. Tapi itu juga bukan kekuatan dari Tangan Tuhan."

Rian mengerutkan kening. "Tangan Tuhan? Apa itu?"

Wanita itu tersenyum tipis, senyum seseorang yang tahu lebih banyak. "Jadi benar, kamu benar-benar orang asing. Aku Olivia. Dan kamu, teman, baru saja membuat dirimu menjadi pusat perhatian di kota paling berbahaya di wilayah ini."

Olivia melirik ke jalan utama, di mana beberapa penduduk kota masih berbisik-bisik sambil menatap ke arah mereka. "Jika kamu ingin bertahan hidup lebih dari sehari, sebaiknya kau ikut denganku. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."

Rian menatap Olivia, lalu ke tangannya yang tidak terluka. Pilihan lain apa yang ia punya? Mengangguk, ia pun mengikuti wanita misterius itu, melangkah lebih dalam ke dunia yang semakin gila ini.

More Chapters