"Ikuti aku. Jangan bersuara, dan jangan sentuh apa pun kecuali aku yang menyuruhmu."
Perintah Olivia diucapkan dengan bisikan tajam yang memotong adrenalin Rian. Ia mengangguk, masih mencoba menghapus gambaran pergelangan tangan yang patah dari benaknya. Rasa ngeri itu harus menunggu; bertahan hidup adalah prioritas.
Olivia bergerak seperti bayangan. Ia tidak membawa mereka kembali ke jalan utama. Sebaliknya, ia membuka sebuah pintu tersembunyi di belakang rak arsip yang masih berdiri, mengungkapkan sebuah lorong sempit dan berdebu yang berbau jamur.
"Jalur servis tua," bisiknya. "Tidak ada yang menggunakannya selama bertahun-tahun."
Mereka berjalan dalam kegelapan yang nyaris total. Rian, yang berjalan di belakang, menyadari sesuatu yang aneh. Meskipun gelap, ia masih bisa melihat siluet Olivia di depannya dengan cukup jelas. Ia bisa melihat detail retakan di dinding batu bata. Matanya beradaptasi dengan kecepatan yang tidak normal. Penglihatan malam? Satu lagi kemampuan ditambahkan ke dalam daftar yang membingungkan.
Saat ia sedang memproses hal itu, pendengaran supernya menangkap suara-suara dari jalanan di atas mereka.
"... jeritannya dari arah arsip! Cepat periksa!" "Bos bilang siapa pun yang membawa kepala orang asing itu akan dapat bonus seumur hidup!" "Kirim sinyal ke Belze. Kita butuh tenaga profesional untuk yang satu ini."
Jantung Rian mencelos. Belze. Nama itu terdengar familier dari gamenya. Salah satu dari Four Devas. Mereka tidak hanya akan mengirim lagi.
"Mereka sudah bergerak," bisik Rian, mengulangi apa yang didengarnya. "Mereka menyebut nama... Belze."
Olivia berhenti sejenak, tubuhnya menegang. "Iblis lalat? Sial. Keadaan lebih buruk dari yang kukira." Ia mempercepat langkahnya. "Kita harus lebih cepat."
Lorong itu membawa mereka ke sebuah gudang yang dipenuhi tong-tong berbau alkohol. Olivia dengan gesit memanjat keluar melalui jendela di atas, dan Rian mengikutinya, mendarat di gang belakang yang sunyi. Udara malam yang sejuk terasa menyegarkan setelah pengapnya lorong bawah tanah.
Langit di atas mereka terbentang luas, bertabur jutaan bintang yang bersinar lebih terang dari yang pernah Rian lihat di dunianya yang penuh polusi cahaya. Untuk sesaat, keindahannya membuatnya lupa akan bahaya yang baru saja mereka lewati.
Mereka menyelinap di antara bayang-bayang bangunan, dengan Olivia sebagai pemandu dan Rian sebagai sistem peringatan dini. Beberapa kali Rian memberi isyarat untuk berhenti, telinganya menangkap suara patroli di tikungan depan. Mereka menunggu dalam diam sampai suara langkah kaki menjauh, lalu melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, mereka sampai di tepi kota. Gurun yang sama terhampar di hadapan mereka, namun kini diselimuti oleh cahaya bulan yang pucat. Mereka berhasil keluar.
Setelah berjalan cukup jauh hingga lampu kota tampak seperti kunang-kunang di kejauhan, Rian akhirnya berhenti. Adrenalinnya telah surut, digantikan oleh kelelahan dan beban dari perbuatannya.
"Saya ... aku mematahkan lengannya," katanya pelan, suaranya serak. Ia menatap tangannya, yang kini tampak asing. "Aku bisa saja membunuhnya, Olivia. Rasanya... terlalu mudah."
Olivia berbalik menghadapnya, wajahnya tenang di bawah cahaya bulan. "Dengar, Rian. Di dunia ini, ada predator dan ada mangsa. Malam ini, mereka memutuskan untuk menjadi predator, dan kau menolak untuk menjadi mangsa. Hanya itu. Jangan terlalu memikirkannya, atau rasa bersalah itu yang akan membunuhmu lain kali."
"Tapi kekuatan ini..."
"Kekuatanmu menyelamatkan kita," potong Olivia dengan tegas. "Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi itu adalah alat. Sama seperti pisau atau pistol. Kau bisa menggunakannya untuk berburu, atau untuk membunuh tanpa alasan. Pilihan itu ada padamu. Malam ini, kau menggunakannya untuk bertahan hidup."
Kata-katanya yang dingin dan pragmatis entah bagaimana menenangkan Rian. Ia benar. Ini bukan lagi dunia dengan aturan yang sama.
"Jadi, kita benar-benar akan mencari Gene?" tanya Rian, mengubah topik.
"Ya," jawab Olivia sambil kembali berjalan. "Kekuatannya adalah harapan dunia ini. Tapi dia... sedikit sembrono. Dia lebih sering mengikuti instingnya daripada rencana. Seseorang harus memastikan dia tetap fokus pada tujuan utama: mengalahkan Four Devas sebelum Angra bangkit sepenuhnya."
Saat mereka berjalan dalam keheningan, Rian kembali fokus pada indranya yang baru. Ia menyadari penglihatan malamnya semakin baik. Ia bisa melihat kontur bukit pasir dan bebatuan di kejauhan. Lalu, pendengarannya menangkap sesuatu yang lain.
Suara yang sangat jauh. Desir angin, tapi juga... suara pukulan?
"Tunggu," kata Rian, berhenti lagi dan memiringkan kepalanya.
"Ada apa lagi? Patroli?" tanya Olivia.
"Bukan. Sesuatu yang lain." Rian memicingkan matanya, menatap ke arah cakrawala yang gelap gulita. Berkat penglihatan supernya, ia melihatnya. Jauh, mungkin beberapa kilometer jauhnya. Kilatan-kilatan cahaya kecil yang tidak wajar, disusul sepersekian detik kemudian oleh gema suara benturan yang samar. Seseorang sedang bertarung.
Ia menjelaskan apa yang dilihat dan didengarnya pada Olivia.
Olivia menatap ke arah yang ditunjuk Rian. Meskipun ia tidak bisa melihat atau mendengar apa-apa, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum penuh kelegaan dan sedikit kekesalan.
"Hanya ada satu orang di gurun ini yang bisa membuat keributan seperti itu sendirian," katanya. "Cahaya keemasan yang menyilaukan, suara pukulan yang bisa meretakkan batu, dan dikelilingi oleh selusin iblis atau lebih."
Olivia menatap Rian. "Sepertinya keberuntungan kita belum habis. Ayo. Sudah waktunya kau bertemu dengan sang pewaris God Hand."