LightReader

Chapter 5 - “Langkah Kecil di Medan Lama”

Langkah kaki dua orang itu terdengar menyusuri lorong luar Langkah kaki dua orang itu terdengar menyusuri lorong luar gedung Oxoford. Dedaunan buatan yang ditanam secara vertikal di sisi kanan lorong sedikit bergoyang terkena akang, satu tangan dalam saku celana, matanya menatap lantai seperti memikirkan sesuatu.

"Hm... jadi..." gumam Kaito akhirnya, memecah kesunyian kecil itu.

Anwar langsung menoleh sedikit ke belakang, senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Pasti guru mau tanya soal Mila, kan?" tebaknya dengan nada yakin.

Kaito berhenti sesaat. "Be-betul sekali."

Wah, cepet banget dia nebak. Padahal aku baru mau muter-muter ke topik itu... pikir Kaito heran.

Anwar menyilangkan tangan, lalu mengangguk seakan sudah menebak isi kepala Kaito sejak tadi.

"Sebelum bahas Mila, mungkin lebih baik saya jelaskan sistem sekolah ini dulu," ujar Anwar sambil melambatkan langkahnya, memberi ruang pada percakapan.

Kaito mengangguk tipis. "Silakan."

"Sistem di Oxoford ini terbagi dua: Kelas Elite dan Kelas Bronze. Simpelnya sih-atas dan bawah," jelas Anwar sambil menatap ke langit-langit lorong seperti mengingat sesuatu.

Kayak pembagian kasta dalam novel dystopia yang pernah kutulis... hanya saja lebih halus baunya.

"Kelas Elite, tempatku sekarang, umumnya diisi anak-anak dari keluarga kaya. Mobil hover pribadi, akses digital tanpa batas, bahkan jam pelajaran tambahan bisa dibeli. Tapi... ya gitu," Anwar mengangkat bahu, "banyak yang sombong."

Kaito mengangkat alis sedikit. "Sombong?"

Anwar tertawa kecil. "Bukan cuma sombong, guru. Kadang merasa sekolah ini cuma buat mereka. Akibatnya, hubungan kami dengan sekolah lain... ya bisa dibilang rusak. Hanya sekolah Glaxina yang masih mau beraliansi dengan Oxoford, itu pun karena... ya, mungkin terpaksa."

Kaito menautkan alis, pikirannya mencoba mengingat Glaxina-sekolah tempat Mag berasal.

"Kalau kelas Bronze?" tanya Kaito.

Anwar menarik napas, ekspresinya jadi agak lebih serius. "Kelas Bronze diisi siswa dari keluarga kurang mampu. Banyak dari mereka kerja paruh waktu, kadang dari pagi sampai malam. Dan, yah... sebagian bahkan terseret ke dunia kriminal kota ini. Nggak semua, tapi cukup banyak untuk bikin nama sekolah kami tercoreng."

Kaito menunduk sedikit.

Mirip seperti markas ke-3 yang dulu kupegang. Mereka anak-anak dari zona konflik. Cerdas, cepat, tapi... banyak yang dibentuk oleh kekacauan.

"Untukitulah," lanjut Anwar, "dibentuk organisasi internal bernama Justice Team. Fungsinya menangani masalah internal, terutama kriminalitas dari dalam. Dan ketuanya sekarang adalah... si ketua OSIS kita: Mila."

"Hah!?" Kaito berhenti sejenak. "Kok bisa dia?"

Anwar ikut berhenti. "Heh, saya juga heran kok," ujarnya sambil menyilangkan tangan.

Bahkan aku masih ingat waktu Mila pertama kali masuk kelas. Imut, polos, bawa bekal lucu bentuk kucing... terus sekarang malah jadi pemimpin yang disegani seluruh kelas? Apa hidup ini anime?

"Bahkan aku juga sempat mikir: 'Kenapa adik kelas imut itu yang terpilih? Kan aku-abang kelasnya-lebih pantas dong!' Tapi setelah denger ide OSIS sebelumnya... ya, saya pikir: 'Hmm... boleh juga tuh.'"

Kaito menyipitkan mata. "Memang... ide apa?"

Anwar tersenyum simpul. "Rahasia. Cuma saya dan ketua OSIS lama yang tahu. Tapi intinya, Justice Team bukan sekadar tim penegak disiplin. Mereka itu... bisa dibilang sayap militer Oxoford."

"M-militer?"

"Yap. Dikasih akses ke sistem pengamanan sekolah, latihan fisik rutin, bahkan beberapa dari mereka-termasuk Mila-bisa pegang senjata berat. Tentu... hanya saat darurat."

Kaito menggaruk tengkuknya pelan.

Pantas dia tadi seperti lari dari TKP. Kalau dia lagi menangani kasus dan belum tidur semalaman...

"Dia terlihat sangat terburu-buru tadi..." gumam Kaito.

Anwar mengangguk. "Saya berani taruhan, dari sore kemarin sampai sekarang, dia belum tidur."

"Kasihan juga ya," ucap Kaito, tulus.

"Hm," sahut Anwar pendek, hanya mengangguk.

Beberapa langkah kemudian, Kaito kembali membuka suara.

"Lalu... bagaimana dengan masalah wilayah sekolah kalian?"

"Oh, soal itu," Anwar mendesah panjang. Ia menyesuaikan letak kacamatanya, seolah sedang bersiap memberikan ceramah tingkat tinggi.

"Di bagian Timur pojok bawah Oxoford terdapat sebuah wilayah yang bernama Oxiom. Wilayah Oxiom itu semacam titik temu antara empat sekolah: Oxoford, Primanoel, Haxogun, dan Glaxina. Nah, Primanoel sekarang sedang mengklaim Oxiom sebagai wilayah mereka."

Kaito mengangguk pelan. "Bukti?"

"Sayangnya mereka punya," ujar Anwar, nada suaranya mulai terdengar kesal. "Pihak OSIS Primanoel bawa dokumen, peta, dan bahkan video lama yang katanya bukti sah. Masalahnya, pihak kita... gak punya apa-apa. Arsip kita ancur sejak insiden peretas dua tahun lalu."

Pola konflik klasik. Yang punya bukti menang. Yang kehilangan catatan sejarah... cuma bisa diam, pikir Kaito.

"Lalu kalau wilayah itu diambil alih, apa dampaknya?"

Anwar menghentikan langkahnya. Ia menunjuk peta di hpnya, memperlihatkan titik Oxiom sebagai jalur penghubung.

"Kalau Oxiom jadi milik Primanoel, Oxoford nggak punya jalur keluar selain lewat Haxogun. Dan, yah... mereka pasti pasang tarif pajak lewat tinggi-tinggi. Kami bakal terisolasi. Kayak... sekolah dalam penjara."

Kaito mencibir kecil. "Kenapa nggak lewat Primanoel aja?"

"Heh... guru pasti belum tahu sejarahnya, ya?" Anwar tersenyum pahit. "Sekolah kami dan mereka itu musuh bebuyutan. Sudah dari zaman OSIS generasi ke-3. Ada rumor sih katanya mau berdamai... tapi buat saya itu cuma hoax nggak lucu."

Kaito terdiam.

Konflik antar sekolah, ketegangan wilayah, organisasi paramiliter siswa, dan peran seorang ketua OSIS yang kerja rodi tanpa tidur...

Ia menghela napas perlahan.

Dulu aku kira jadi guru itu lebih tenang daripada jadi komandan. Tapi ternyata... ini sama gilanya.

---

Lorong-lorong panjang dan sunyi yang dilalui Kaito dan Anwar kini membawa mereka ke ruangan yang berbeda. Aroma kertas tua, udara sejuk dari pendingin ruangan, dan cahaya kuning temaram dari lampu gantung menyambut mereka begitu memasuki perpustakaan. Di sela rak-rak tinggi yang berjajar rapi, hanya terdengar suara kipas dan langkah kaki mereka berdua.

"Tempatnya... sunyi sekali, ya," gumam Kaito sambil melihat sekeliling.

Dalam hati, Kaito menatap barisan buku dengan rasa asing. Dulu aku memimpin unit militer dalam ruang kontrol yang dipenuhi peta strategis dan layar radar, bukan rak-rak buku. Sekarang malah jadi guru keliling. Ironis, ya?

Anwar tersenyum kecil, lalu menunjuk ke meja kayu di ujung ruangan.

"Yuk, guru. Duduk dulu aja di sini," ujarnya sambil melangkah santai. Ia menarik kursi dengan bunyi gesekan ringan, lalu duduk dan mulai membuka laci kecil di meja itu.

Kaito hanya berdiri di sebelahnya, melipat tangan di dada.

"Eh, guru? Kenapa nggak duduk?" tanya Anwar, memiringkan kepalanya. Tangannya mengeluarkan sebuah buku usang dari dalam laci.

Kaito mengerutkan alis. "Tunggu... sejak kapan ada buku di situ?"

"Hm?" Anwar melirik bukunya lalu terkekeh. "Buku ini udah aku taruh dari semalam sih. Dan-hah, lihat ini..."

Saat buku dibuka, selembar kertas berwarna merah muda jatuh ke atas meja. Surat.

"Eh? Itu surat?" Kaito mendekat, membungkuk penasaran.

Anwar mengangkat kertas itu dengan dua jari, lalu menghela napas panjang. "Betul banget, guru. Surat cinta, tepatnya. Dari siswi Primanoel bernama Kagura."

"Hah!?" Kaito hampir tersedak udara. "Surat cinta!? Dari Primanoel!? Kok bisa!?"

"Yah... aku juga heran kenapa dia tahu aku suka duduk di meja ini. Jangan-jangan dia stalker... tapi yaudah lah. Dunia penuh misteri," Anwar mengangkat bahu seakan tak peduli.

Dalam hati Kaito: "Hmm... Jadi ini Oxoford? Letaknya lebih dekat dari yang kupikir..." gumam Kaito pelan, kedua tangannya menyelip di saku jas hitam panjangnya yang anak lebih tenang dapet surat cinta dari musuh bebuyutan sekolahnya daripada aku dapet laporan kelas rusuh...

Anwar melirik Kaito yang masih berdiri kikuk. "Ngomong-ngomong, guru... duduk dong. Masa saya aja yang duduk, guru berdiri terus, kayak patung di lobi kantor."

"Eh, iya ya..." Kaito garuk tengkuknya, lalu akhirnya menarik kursi dan duduk di samping Anwar. Kursi itu mengeluarkan bunyi berderit kecil.

Saat hendak berbicara, Kaito menunjuk ke arah lain di pojok ruangan. "Eh, itu... dia siapa?"

Anwar ikut menoleh. Di sana, seorang gadis kecil duduk menyendiri. Seragam SD warna cokelat lengkap dengan dasi biru-ungu menghiasi tubuh mungilnya. Ia mengenakan kacamata tebal, telinga kucing menghiasi kepalanya, dan... sebuah laptop terbuka di hadapannya. Di samping kursinya bersandar senapan ringan FAMAS.

"Ah, itu Haruka. Kelas 6B. Siswi SD dari Bronze. Dia pindahan dari Ixirus."

Kaito berkedip. "SD!? Serius? Tampak dan auranya lebih kayak anak SMA, sih."

"Haha, iya, kan? Dia itu ahli komputer, jenius yang suka banget sejarah berdirinya sekolah ini. Tapi..."

Nada Anwar menurun, lirih.

"...dia gak dianggap ada di sekolah ini. Mungkin cuma aku yang masih anggap dia bagian dari Oxoford."

Kaito menoleh penuh minat. "Hah? Kok bisa segitunya?"

"Entahlah. Bahkan waktu aku tanya ke murid-murid lain soal dia, mereka bilang gak kenal. Tapi Haruka sering ke sini. Dia nanya letak buku, atau malah minta baca novel karanganku."

Kaito terdiam sejenak. Matanya melirik ke kartu G.T miliknya yang tergantung di saku dada. Kilasan suara Zaid muncul di pikirannya:

"Kalau dia mengikuti jejak Alke, maka kemungkinan itu ada."

Alke... seburuk apa jejakmu dulu di sini? Sampai murid-murid bisa terpinggirkan begini...

"Hallo, Guru~!" Suara ceria tiba-tiba muncul dari belakang. Kaito nyaris melompat dari kursinya.

"Eh!? Astaga..." Kaito menoleh dengan napas tercekat.

Ternyata Mila. Dengan senyum lebar seperti biasa dan langkah ceria, dia berdiri sambil membawa sebuah toples oranye di tangannya.

"Apa-apaan sih kamu!? Ngagetin aja!" seru Kaito.

"Hehe, maaf~ Aku cuma mau ngasih bekal siang ke guru!" ucap Mila sambil menyodorkan toples itu.

"Bekal... siang? Untuk aku?"

"Iya! Terima ya, guru! Aku masak sendiri, loh!" wajah Mila merona malu-malu.

Kaito mengambil toples itu dengan ragu, lalu melirik ke arah Anwar yang sedang menatapnya... sambil menunjuk ke atas.

Kaito ikut menoleh. Di langit-langit, jelas tertempel poster besar:

"DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DI PERPUSTAKAAN"

"Eh..." Mila ikut menengadah. "...kok aku bisa lupa, ya?"

"...Yah, kita makan di luar aja gimana?" usul Kaito.

Mila mengangguk cepat, wajahnya memerah. "I-iya deh..."

Anwar hanya menggeleng kecil sambil menutup bukunya. Kadang... rasanya lebih seperti nonton anime slice-of-life daripada hidup nyata.

---

Lorong sekolah itu sunyi. Hanya ada tiupan angin lembut dari jendela yang terbuka sebagian, membawa aroma daun kering dan debu sore hari. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui kisi-kisi jendela, menciptakan pola cahaya yang menari-nari di lantai ubin putih keabu-abuan.

Di tengah lorong yang sepi itu, Kaito dan Mila duduk berdampingan di sebuah bangku panjang kayu yang tampak agak tua. Warnanya sudah sedikit pudar, tapi cukup kokoh untuk menopang dua orang.

Kaito menyandarkan punggung ke sandaran bangku dan memandang sekeliling. "Hmm... lorong ini cukup sepi, ya?"

Mila, yang duduk di sebelahnya, menunduk sedikit sambil memainkan ujung roknya dengan gugup. "O-oh... mu-mungkin karena masih waktu istirahat... jadi semua orang pada ngumpul di kantin atau di taman belakang..."

Kaito mengangguk pelan, sambil melihat ke arah rak sepatu di ujung lorong. Kalau ini saat pertempuran, lorong sunyi seperti ini bisa jadi tempat penyergapan musuh... Hah, dasar kebiasaan lama. Ini sekolah, bukan medan perang, Kaito... pikirnya sambil tersenyum tipis.

"Oh, iya!" seru Mila, memecah keheningan. Ia mengangkat toples oranye dari pangkuannya. "I-ini... bekalnya..."

"Oh... terima kasih ya," ujar Kaito sambil menerimanya dengan dua tangan. Lumayan, perut mulai keroncongan juga...

Ia membuka toples itu perlahan, dan aroma lembut mayones menyergap hidungnya. Di dalamnya tersusun rapi beberapa buah risol goreng berwarna keemasan.

"Hoo~ makanan apa ini? Aku belum pernah lihat sebelumnya," tanya Kaito sambil memegang satu buah risol, mengamatinya seperti sedang meneliti bahan eksperimen.

Mila tertawa pelan, suaranya lembut dan agak malu-malu. "I-itu namanya risol isi mayones... agak unik sih, tapi katanya rasanya enak kok."

Kaito menggigit setengah dari risol tersebut. Bunyi kriuknya terdengar jelas di lorong yang sepi. Mayones yang lembut berpadu dengan rasa gurih kulit risol, membuat ekspresinya berubah.

"...Wah!" serunya sambil mengunyah. "Makanan ini... cukup enak!"

Mata Mila membesar, lalu pelan-pelan senyumnya mengembang. "Ehe~ terima kasih. Aku senang guru menyukainya."

Dalam hati Mila: Syukurlah dia suka... padahal aku sempat khawatir, soalnya mayonesnya aku campur keju dikit... semoga gak terlalu aneh...

Kaito, yang kini mulai menikmati, mengambil satu lagi dan langsung menggigitnya lagi.

"Kamu yang buat sendiri?" tanyanya sambil masih mengunyah.

"Iya, aku yang buat sendiri," jawab Mila sambil sedikit membusungkan dada bangga, meski wajahnya masih merah.

"Siapa yang ngajarin kamu bikin ini?" tanya Kaito, kini penasaran.

"Oh, itu... adik Toman yang ngajarin. Adik pertamanya Mag-yang masih kelas 6 SD dari sekolah Glaxina. Kata Toman, resep ini resep Abang kelas mag dahulu, lalu diajari sama abang mereka, si Mag."

Kaito terdiam sejenak, lalu berkata lirih, "Jadi ini... resep Abang kelas mag dahulu, ya..."

Dalam hatinya: Anak-anak muda sekarang... punya cara masing-masing buat bertahan hidup, ya. Bahkan yang kecil seperti Toman bisa meninggalkan jejak lewat resep makanan. Dulu aku kira perjuangan cuma di medan perang... ternyata dapur pun bisa jadi tempat perjuanganjuga.

Kaito mengambil satu risol lagi, lalu menoleh ke Mila. Ia menyodorkannya dengan senyum.

"Pasti kamu juga mau makan satu, kan?"

Mila menggeleng cepat sambil tersenyum canggung. "E-eh... aku sudah kenyang kok... hehe..."

Kaito mengangkat alis, masih menyodorkan risol itu. "Yakin kamu udah kenyang? Padahal kelihatannya kamu ngiler dari tadi."

Mila langsung gelagapan. "Ta-tapi kalau guru gak maksa banget sih... ya aku... terima deh... ehehe..."

Ia menerima risol itu, lalu menggigit perlahan. Pipinya sedikit mengembang seperti hamster.

Kaito menghela napas lega sambil tersenyum. "Syukurlah..."

Sesaat keheningan melingkupi mereka. Hanya suara angin dari jendela yang menemani. Tapi tak ada rasa canggung. Justru suasananya terasa tenang. Hangat. Seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal, meski baru bertemu beberapa hari lalu.

Mila melirik Kaito dengan sudut matanya. Dalam hatinya: Guru ini... kadang kelihatan cuek, tapi perhatian juga, ya. Entah kenapa... rasanya kayak... aku bisa percaya dia sepenuhnya.

Sementara Kaito hanya duduk diam. Tapi dalam hatinya, kenangan samar kembali muncul-tentang makan di pos militer saat umurnya masih 13 tahun, dengan prajurit-prajurit yang sudah jauh lebih tua, tertawa bersama meski peluru beterbangan di luar tenda.

Dulu... aku jarang bisa duduk santai begini. Di umur segini, aku udah pimpin pasukan. Tapi sekarang... aku malah disuguhi risol mayones buatan siswi SMP. Dunia memang aneh, ya.

More Chapters