LightReader

Chapter 12 - Chapter 12- scars behind the shadow

---

Bab X – Bekas Luka di Balik Bayangan

Matahari pagi terbit dari ufuk timur. Burung-burung berkicau dari segala penjuru, suaranya memenuhi udara, sementara sinar matahari menyelinap melalui celah-celah dinding kamar Putri. Seberkas sinar mentari tepat mengenai wajahnya, memaksanya menyipitkan mata dan mengerjap menahan sengatannya.

Kelopak matanya bergetar terbuka, berat dan enggan, hingga akhirnya ia terbangun sepenuhnya. Ia bangkit dari tempat tidur, rambutnya kusut berantakan, wajahnya pucat, kulitnya kusam. Sungguh tak terbayangkan betapa anggunnya seorang perempuan yang bangun dengan senyum segar di pagi hari.

Tangannya meraba-raba seprai, mencari sesuatu. Setelah beberapa detik, jemarinya meraih sebuah benda persegi panjang kecil—ponselnya. Ia menyalakan layarnya, dan saat angka-angka itu bersinar jelas, matanya terbelalak kaget.

pukul 09.25.

"Ahhh, aku lupa!" teriak Putri, panik meluap-luap di dadanya. Ia melompat dari tempat tidur, jantungnya berdebar kencang. Hari ini, ia ada janji temu dengan dosen pembimbing akademiknya tepat pukul sepuluh. Jarak dari rumah ke kampus sudah jauh, belum lagi kemacetan lalu lintas yang bisa memakan waktu perjalanan hingga satu jam atau lebih.

Ia bergegas ke kamar mandi, mandi secepat kilat, dan berpakaian serampangan. Tak ada waktu untuk memikirkan detail—hanya satu hal yang penting: ia harus pergi sekarang.

Ketika ia turun, ibunya sudah duduk dengan tenang di meja makan. Segelas susu dan roti yang terbungkus rapi telah menantinya. Meskipun terburu-buru, Putri tetap berhenti untuk menyapa ibunya dan menjabat tangannya dengan hormat.

"Bu, aku terlambat ke kampus. Maaf, aku tidak bisa sarapan denganmu hari ini," katanya buru-buru. Ia menghabiskan susu dalam sekali teguk, mengambil dua bungkus roti, dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.

"Tenang, pelan-pelan. Jangan lupa makan," ibunya mengingatkan, sambil memperhatikan putrinya bergegas keluar pintu.

Putri berlari menyusuri gang sempit itu, berharap-harap cemas menunggu angkutan umum yang siap berangkat tanpa perlu berputar-putar mencari penumpang lagi.

Namun kemudian matanya menangkap sesuatu di dekat monumen lingkungan itu. Sebuah sepeda motor sport hijau-hitam terparkir di sana. Familiar. Ia langsung mengenali pemiliknya.

Ia bergegas mendekat dan menepuk bahu pengendara itu. "Oi, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terengah-engah.

Bayu menoleh dengan ekspresi kesal. "Cih, sekalian saja kau buang ponselmu. Apa gunanya menyimpannya kalau kau tak pernah mengangkatnya? Aku sudah meneleponmu seratus kali."

Putri menggaruk kepalanya malu-malu, lalu menyeringai. "Benarkah? Maaf, aku sedang terburu-buru dan tidak menyadarinya."

"Makanya aku datang menjemputmu. Tadi malam, kamu bilang harus bertemu pembimbingmu pagi-pagi sekali," kata Bayu, masih kesal tapi nadanya dipenuhi kekhawatiran. "Kukira lalu lintasnya macet, jadi aku datang menjemputmu." Ia menyerahkan sebuah helm.

Putri langsung memakainya. "Baiklah, ayo cepat. Aku harus sampai di sana jam sepuluh."

Tanpa sepatah kata pun, Bayu menyalakan mesin dan melesat pergi. Motor itu melesat berbahaya di tengah kemacetan, nyaris menyerempet mobil dan truk. Putri, berpegangan erat, memukul-mukul helm Bayu dengan frustrasi.

"Bodoh! Kalau perlu, percepat saja, tapi jangan bunuh kami!" geramnya.

Akhirnya, mereka tiba di tempat parkir kampus. Putri mengeluarkan ponselnya dan melihat waktu—09:55. Ia melepas helmnya, menyodorkannya kembali ke Bayu, lalu berlari menuju ruang dosen.

Di dalam, seorang wanita paruh baya duduk di belakang meja kayu, matanya yang tajam dipenuhi dengan kewibawaan.

"Maaf, Bu. Maaf saya terlambat," kata Putri gugup.

Dosen itu melirik sebentar. "Tidak apa-apa. Kamu hanya sedikit terlambat. Lagipula, kami masih menunggu yang lain."

Putri mengerutkan kening dalam hati. Orang lain?

Beberapa saat kemudian, langkah kaki bergema di aula. Seorang pemuda memasuki ruangan. Hoodie hitamnya ditarik menutupi kepalanya, rambut acak-acakan tergerai menutupi matanya, satu tali ranselnya tersampir malas di salah satu bahu, headphone menggantung di lehernya.

Putri membeku.

Putra.

Rasa kesal langsung melonjak. Tentu saja. Setelah kejadian kemarin... kenapa selalu dia?

"Maaf, Bu. Saya terlambat," gumam Putra sambil menundukkan kepala.

"Kalian berdua, duduklah," perintah dosen itu.

Mereka duduk bersebelahan. Tanpa sepatah kata pun, dosen itu mengangkat teleponnya, mengetuk layar, dan menunjukkan sebuah video kepada mereka.

Tubuh Putri menegang. Matanya terbelalak ngeri, kulitnya memucat karena darah mengalir deras dari wajahnya.

Bagaimana… bagaimana video ini bisa sampai ke tangan dosennya?

"Bu... sama sekali tidak seperti itu. Videonya jelas-jelas diedit. Ini hanya kesalahpahaman!" Suara Putri bergetar saat ia bergegas menjelaskan. Dengan putus asa, ia menceritakan kronologi yang sebenarnya, kata-kata berhamburan keluar satu demi satu.

Dosen itu mendengarkan dengan wajah tegas. Setelah selesai, Putri menghela napas. "Saya mengerti. Jadi ini hanya kesalahpahaman. Tapi bukan itu masalah sebenarnya."

Putri menelan ludah. ​​"Apa maksudmu, Bu?"

Ada yang sengaja mengedit dan menyebarkan video ini agar viral. Sasarannya jelas kamu, Putri. Kalau terus begini, beasiswa, studimu—bahkan reputasimu—akan hancur.

Kata-kata itu menyambar bagai kilat. Lutut Putri terasa lemas, tangannya gemetar hebat.

Keheningan itu menyesakkan, sampai Putra akhirnya berbicara, suaranya dingin, menggigil.

"Aku akan menangani ini. Aku akan memastikan tidak ada yang terluka."

Dosen itu mengamatinya sejenak, lalu mengangguk singkat, seolah memercayainya. "Baiklah. Kalau begitu, kalian berdua boleh pergi."

Putri dan Putra berdiri, meninggalkan kantor bersama. Tepat saat mereka melangkah ke koridor, ponsel Putri berdering.

> Sebaiknya kau dengarkan aku. Atau aku akan membuat hidupmu lebih buruk dari ini.

Napas Putri tercekat. Nomor itu sama dengan nomor yang sebelumnya mengancamnya, mengaku sebagai tunangan Putra dan memperingatkannya untuk menjauh.

Ia bergegas mengejar Putra, meraih lengannya. Gerakan itu mendorong tudungnya sedikit ke belakang.

Matanya terbelalak kaget. Wajahnya penuh memar dan luka.

Dia ingin bertanya—tetapi lidahnya membeku.

Putra memelototinya dingin, suaranya serak. "Sudah kubilang. Aku akan mengurus ini. Jangan ikut campur."

Putri berdiri mematung. Bukan karena takut, melainkan karena tak percaya.

Di dalam, pikirannya bergetar.

Apa yang terjadi padamu, Putra?

More Chapters