LightReader

Chapter 23 - The Emergence of the Hell Dreamer

Kabut pagi menyelimuti Lembah Asterion.

Sinar matahari nyaris tak menembus dinding awan kelabu yang menggantung rendah. Angin berdesir di antara bebatuan hitam yang menjulang tinggi bagai gigi raksasa, dan aroma belerang samar-samar memenuhi udara.

Pasukan Solaris dan Ardelia baru tiba dua hari lalu, mendirikan kamp sementara di dekat tebing timur lembah. Mereka kelelahan, sebagian besar tanpa pasokan segar karena masalah logistik yang belum terselesaikan.

Di tengah keheningan, Elric berdiri di sebuah bukit kecil, menatap lembah di bawahnya.

"Tempat ini... rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut."

Darius mendekat, wajahnya muram.

"Hanya ada persediaan makanan untuk tiga hari lagi. Beberapa prajurit mulai jatuh sakit. Jika kiriman dari Ardelia tidak tiba hari ini—kita terpaksa mundur."

Elric mendesah berat. "Mundur bukanlah pilihan. Solaris akan bertahan sampai tujuan kita tercapai."

Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, suara terompet perang tiba-tiba menggema di udara.

Sebuah ledakan keras mengguncang sisi barat lembah. Tanah bergetar, diikuti jeritan dan gemuruh batu-batu yang runtuh.

"Apa itu!?" teriak Darius sambil menghunus pedangnya.

Seorang prajurit berlari dari barat, wajahnya tertutup debu. "Tuan! Mereka datang! Monster-monster keluar dari celah-celah batu—mereka menyerang dari bawah tanah!"

Elric dan Darius segera memimpin pasukan mereka ke titik pertempuran.

Di sana, pemandangan mengerikan menyambut mereka: puluhan makhluk raksasa mirip laba-laba dengan tubuh berbalut kristal biru menyerbu pertahanan luar. Mereka bergerak cepat, merobek perisai dan tubuh manusia tanpa ampun.

Para prajurit Solaris mencoba menembakkan panah api, tetapi banyak yang gagal karena bubuk mesiu yang basah—persediaan yang seharusnya tiba tidak pernah tiba.

"Senjata basah! Semua anak panah tidak akan ditembakkan!" teriak salah satu penjaga menara.

Elric mengumpat pelan. "Sial… ini pasti sabotase!"

Darius melompat ke depan barisan, menebas satu monster dengan ayunan pedang berapinya.

"Pertahankan barisan pertama! Lindungi para penyembuh!"

Namun, pasukan Ardelian di sisi lain mundur terlalu cepat, meninggalkan celah besar dalam formasi. Beberapa prajurit Solaris terjebak dan terinjak-injak oleh kuda mereka sendiri. Di tengah kekacauan itu, muncul monster yang lebih besar lagi—dua kali ukuran manusia, punggungnya berpijar seperti bara api.

Elric berteriak, "Bidik matanya! Cepat!"

Namun tanpa anak panah yang berfungsi, perintah itu tidak berarti.

Makhluk itu menyerbu, menghantam barisan depan dan menghancurkan perisai baja. Tubuh para prajurit memantul seperti boneka. Darah mengalir di antara batu-batu hitam, menciptakan genangan merah yang memantulkan cahaya api.

Seraphine muncul di sisi timur, ditemani sekelompok penyihir Solaris.

Tangannya gemetar, tetapi ia mendongak, merapal mantra. "Lux Astralis!"

Cahaya putih menyilaukan melesat dari telapak tangannya, mengenai tubuh monster utama. Makhluk itu menjerit keras sebelum meledak menjadi pecahan kristal. Namun Seraphine jatuh berlutut setelahnya, kehabisan energi.

Saat kabut mulai mereda, Elric melihat sekeliling.

Dari seratus prajurit asli, separuhnya masih tak bergerak.

Asap dan debu mengaburkan pandangan, dan di kejauhan, terdengar suara dentuman pelan, seperti langkah kaki raksasa, bergema di perut bumi.

Darius menggertakkan giginya. "Ini baru serangan pertama…"

Elric menatap lembah itu dengan saksama. "Dan kita bahkan belum siap untuk yang berikutnya."

Sementara itu, jauh di menara Ardelia, Kaelen menatap laporan dari utusan yang baru tiba.

Ia membaca sekilas, lalu menutup gulungan itu dengan senyum tipis.

"Lembah Asterion telah menerima tamunya," katanya pelan.

The ground continued to shake. The initial slight tremors had now turned into a mild earthquake, knocking over tents and cracking rocks on the slopes. From below in the valley, the blue light began to turn crimson, pulsing like a living pulse.

Panicked cries rang out across the field.

"The third line is broken!"

"Monsters are coming again from the south!"

"The wooden fort is down! They've broken through the moat!"

Elric ran through the rubble, blood drying on his temples. He grabbed a young soldier pinned under a shield. "Get up! Don't die here!"

Darius, his body covered in wounds, slashed at the crystal creatures that climbed from the ground. But every time one fell, two more emerged.

"We won't last long!" he shouted, his voice almost drowned out by the rumbling ground.

In the distance, the retreating Ardelian army could now be seen through the mist. They were running eastward—not to fight again, but to retreat further. An Ardelia captain stared at Elric from a distance and shouted, "We'll call for reinforcements! Hold on as best you can!"

Elric stared at him with anger that threatened to burn in his chest. "Hold on?" he said quietly, his voice trembling. "We're not shields for cowards like you!"

But before he could chase them, the earth in the center of the valley split open.

A massive fissure opened, spewing blinding red light.

The air grew heavy and hot, as if the breath of another world were rising to the surface.

From within the fissure, something slowly rose.

The first step shook the valley. Rocks fell from the cliff, and the surrounding creatures knelt, bowing like servants before their king.

Nearly three times the height of a human, its skin was as dark as charcoal, and its eyes blazed red like hellfire. On its back were tattered black wings, dripping black liquid onto the ground, which immediately evaporated into smoke. The coiled horns on its head glinted like red-hot metal.

A deep, deep voice echoed, not through the air, but directly into the minds of everyone still standing.

"Who dares disturb my valley…"

Elric and Darius froze simultaneously. Even the air seemed to stand still.

One of the Solaris soldiers attempted to fire a fire arrow—but it burned in midair, melting before it could reach its target.

The demon raised its hand, and from the ground emerged black spears that shot in all directions, piercing through human flesh and steel with ease. Screams filled the air, echoing longer than their own lives.

Seraphine, still half-conscious, stared at the creature, her eyes wide. "That… is no ordinary monster…" her voice cracked. "That's one of the Seven Lords of Hell… Ashmedai."

More Chapters