LightReader

Chapter 7 - Bab 6 — Hujan yang Tak Lagi Sama

Hujan datang lagi, tapi berbeda.

Bukan hujan yang hangat dan menenangkan seperti dulu, melainkan deras, dingin, dan menusuk tulang.

Liam berdiri di depan jendela kamarnya, menatap tetesan yang menghantam kaca dengan ritme yang tak menentu.

Hatinya terasa berat. Ada rasa yang ia kenal, tapi tak pernah ingin ia rasakan lagi.

> “Kau datang lagi, hujan…”

gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin.

“Kenapa selalu datang saat aku ingin menenangkan diri?”

Di tangannya, ada secarik kertas dari Zahra—pesan terakhirnya beberapa hari lalu:

> “Aku cuma butuh waktu buat tenang. Kau gak perlu cemas. Aku masih suka hujan.”

Liam mengulang baca pesan itu berulang kali, mencoba menahan rasa cemas yang menggerogoti hatinya. Namun malam itu, ketenangan yang biasanya ia rasakan saat hujan hilang begitu saja.

---

Suara langkah berat terdengar di luar. Liam menoleh.

Bayangan besar muncul di tengah halaman rumah—entitas yang tak pernah ia bayangkan akan menemuinya: Dewa Penghapus.

Cahaya di sekeliling makhluk itu berpendar gelap, menelan semua warna dari dunia sekitar. Tanpa suara, ia bergerak seperti bayangan yang menembus realitas.

> “Liam,” suara itu datang, dingin dan kosong, “semua yang kau cintai harus pergi. Termasuk dia.”

Liam menelan ludah.

> “Zahra…!”

Ia berlari keluar, tapi langkahnya terasa berat, dunia seperti menolak tubuhnya.

Dewa Penghapus mengangkat satu tangan, dan seketika, rumah, taman, bahkan udara di sekitarnya seperti dilenyapkan.

Dalam sekejap, sosok Zahra yang sedang menunggu di taman diambil dari dunia itu. Hanya tangan Liam yang sempat menyentuh secercah kain dari seragamnya sebelum hilang dalam kehampaan.

> “Zahra… jangan…!” teriak Liam, suaranya pecah.

Hanya ada sunyi. Sunyi yang lebih menakutkan daripada hujan badai.

---

Liam jatuh berlutut di tanah basah.

Ia menatap ke arah taman yang kosong, pohon besar di tengahnya sekarang hanya bayangan suram.

Air matanya bercampur dengan hujan, tapi ia tidak merasakan dinginnya air itu—hanya kehampaan yang mencekam.

> “Kenapa… kenapa kau ambil dia?” gumamnya pada dunia yang seolah membeku.

“Aku… aku tidak bisa… melindunginya…”

Hatinya pecah berkeping-keping.

Segala kenangan yang mereka bangun—tawa di atap sekolah, janji di bawah pohon, payung kecil saat hujan—datang dalam kilatan. Tapi kilatan itu justru membuat rasa sakitnya semakin tajam.

Liam menutup mata, merasakan setiap momen itu, setiap janji, setiap senyum yang kini hilang dari dunianya.

> “Kalau ini dunia, kalau ini realitas…”

gumamnya lirih.

“Aku akan menulis ulang semuanya.”

Sekilas, secercah cahaya muncul di dadanya—tidak dari dunia, tapi dari ingatan, dari hati yang menolak menyerah.

Ia menggenggam tangan kosongnya, membayangkan Zahra di sisinya.

> “Aku akan menemukanmu… di dunia apapun, di realitas apapun.”

Hujan tetap turun, tapi Liam tidak lagi menatapnya dengan ketakutan.

Ia menatapnya dengan tekad—tekad yang lahir dari kehilangan, tapi juga dari kenangan dan cinta yang abadi.

---

Malam itu, Liam duduk di bawah pohon tua yang sama di taman mereka dulu, sendirian.

Angin membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur, mengingatkannya pada tangan Zahra yang selalu menggenggam tangannya.

Ia menutup mata, menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan, ia mulai merancang sesuatu: realitas baru.

Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah ia cintai—Zahra, tawa mereka, bahkan dunia yang dulu penuh warna.

> “Aku akan menulis ulang realitas…” gumam Liam.

“Dan kau akan kembali padaku.”

Di luar, hujan tetap turun deras.

Tapi di dalam hati Liam, ada secercah cahaya yang mulai bersinar, lebih kuat dari hujan sekalipun.

More Chapters