LightReader

Chapter 1 - Penyendiri yang kesepian.

Mata Hiro terbuka perlahan, berat seolah menahan seluruh tubuhnya. Sebuah napas panjang keluar, campuran antara malas dan frustrasi. Dia adalah seorang anak SMA dengan sifat anti-sosial, hidupnya sederhana dan monoton: tidur, makan, dan… tidur lagi. Bermimpi adalah satu-satunya pelarian dari kesepian yang mencekik.

"Ahhh… enak banget tidur. Jadi pengen tidur lagi," gumamnya sambil meregangkan tubuhnya yang kurus di atas kasur. Cahaya pagi masuk perlahan melalui jendela, tapi rasanya seperti hanya mengganggu ketenangan yang ia miliki di alam mimpi.

Ia duduk di tepi kasur, menatap lantai kamarnya yang berantakan, buku-buku berserakan, pakaian menumpuk, dan sebuah alarm mati yang tak pernah ia setel. Semua hal itu baginya hanyalah latar belakang yang tak berarti. Di dalam kepala Hiro, dunia mimpi jauh lebih nyaman—di sana ada seseorang, sosok yang membuatnya merasa aman dan hangat, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.

Hari ini pun dimulai seperti biasa: makan cepat, membuka sedikit buku pelajaran, dan menunggu waktu untuk kembali tidur. Tapi, entah mengapa, ada rasa aneh hari ini. Sesuatu terasa berbeda, seperti bayangan yang bergerak di tepi pandangannya, sesuatu yang familiar tapi tidak bisa ia letakkan.

Menurutku, mending di rumah dan mengerjakan PR saja daripada keluar rumah untuk sekolah," gumam Hiro sambil menarik selimut lebih rapat. Ia sudah lama tidak keluar rumah, tapi bukan karena sibuk—ia memang benci melihat pemandangan luar, orang-orang yang ramai, dan kebisingan yang membuatnya gelisah.

Matanya menatap jendela sejenak. Cahaya pagi menerobos tirai tipis, menyorot jalanan yang sepi tapi tetap terasa mengganggu. "Ah… sama sekali tidak ada yang menarik di luar sana," batinnya.

Dengan langkah malas, ia berjalan ke arah PC di sudut kamar. Meja dipenuhi snack sisa semalam dan botol minum yang belum dicuci. Ia menyalakan komputer, mendengar suara kipas yang berputar dan layar yang menyala, menandai awal "pelarian" hari ini. Hiro membuka game favoritnya, dunia maya yang jauh lebih nyaman daripada dunia nyata. Di sini, ia bisa bebas bergerak, berinteraksi tanpa repot, dan—yang paling penting—tidak perlu menghadapi orang lain.

Tangan kurusnya menari di atas keyboard, matanya fokus pada layar, sementara pikirannya sesekali melayang ke mimpi semalam. Sosok wanita itu masih ada di sana, tersenyum, menunggu. Kadang, Hiro bertanya-tanya apakah ia lebih nyaman di dunia ini, atau di dunia yang hanya ada di kepalanya.

Hiro membuka aplikasi Wassup di ponselnya yang digunakan oleh komunitasnya. Ia mengetik dengan cepat, jari-jari kurusnya menari di layar.

"Hei… aku masih bermimpi wanita itu lagi," tulisnya.

Hiro memiliki perkumpulan online dengan orang-orang anti-sosial lain yang ia temukan di internet. Mereka saling berbagi pengalaman aneh, rasa kesepian, atau hal-hal lucu yang terjadi di dunia nyata maupun di mimpi.

"Wahh… kamu sangat beruntung bisa bermimpi hal yang sama dua kali," balas salah satu temannya, dengan emoji tersenyum lebar.

Hiro tersenyum tipis membaca balasan itu. Ada sesuatu yang menghangatkan hati, meskipun sederhana.

"Yahh… kamu tau, kalau emang cewek itu nyata, aku bakal pergi ke mall pakai kostum badut," tulisnya, lalu menambahkan emoji tertawa.

Tertawa sendiri, Hiro menundukkan kepala sejenak. Hanya di sini, di dunia maya, ia bisa mengekspresikan dirinya sepenuhnya—tanpa harus takut dihakimi, tanpa harus keluar rumah, tanpa harus menghadapi dunia yang selalu terasa mengganggu.

Satu bulan telah berlalu. Hari-hari Hiro kini diisi dengan rutinitas sederhana: bangun, makan, membuka game, dan—yang paling ia tunggu—tidur dan masuk ke mimpinya. Setiap malam, ia menantikan sosok wanita itu, merasa nyaman di dunia yang lebih hangat daripada kenyataan. Ia bahkan mulai mengabaikan PR, tugas sekolah, dan interaksi dengan orang lain.

Teman-temannya di Wassup mulai memperhatikan perubahan ini. "Hiro… kamu masih hidup di dunia nyata, kan?" tulis salah satu dari mereka, setengah bercanda, setengah khawatir. Hiro hanya tersenyum tipis, terlalu larut dalam dunia mimpi untuk menanggapi serius.

Namun, suatu malam, mimpi itu tidak datang. Dunia yang seharusnya nyaman kini kosong dan hampa. Wajah wanita itu tidak ada, senyumnya hilang, dan kamar tidur yang biasa hangat terasa dingin dan asing.

Hiro bangun dengan jantung berdebar. Kepanikan menyerang, seolah seluruh kenyamanan yang ia bangun selama sebulan hancur dalam sekejap. Tangannya gemetar, matanya menatap langit-langit, mencoba memahami: mengapa mimpi itu hilang?

Untuk pertama kalinya dalam sebulan, Hiro merasa benar-benar sendirian. Dunia nyata, yang sebelumnya terasa membosankan dan menyebalkan, kini terasa lebih keras dari sebelumnya. Panik, gelisah, dan kehilangan—semua bercampur menjadi satu, membuatnya merindukan dunia yang kini hanya tinggal kenangan.

Dalam beberapa minggu, ketiadaan wanita itu di dalam mimpi membuat Hiro seperti kehilangan arah.

Hari-harinya terasa panjang dan hambar. Makanan instan menumpuk di sudut meja, sebagian masih tertutup rapat, sebagian sudah ia lempar ke tembok.

"Ahhh… sialan! Kenapa dia nggak ada lagi?!" teriaknya dengan suara serak.

Bungkus mie instan terlempar dan jatuh, menyisakan noda di dinding.

Sejak hari itu, tidur tak lagi menenangkan. Setiap kali menutup mata, ia hanya menemukan kegelapan dan dengung samar di kepala.

Ia mulai menatap kosong ke layar PC, jari-jari diam di atas keyboard tanpa tujuan.

"Aku capek…" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di udara kamar.

Ia duduk di lantai, punggung bersandar ke tembok dingin. Matanya menatap ke arah pintu, seolah menunggu sesuatu datang.

"Aku bahkan nggak tahu kenapa aku masih di sini," lanjutnya.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, merasakan gemetar halus di jari-jarinya.

"...apa mungkin dia udah beneran pergi?"

"Aku sudah capek dengan kehidupan ini aku tidak punya orang tersayang hidup cuma dari uang pensiun orang tua mending aku akan mengakhiri hidup ini... Dimana aku dapat kan tali" Memandang ke pintu

Hiro berjalan menuju pintu dengan tangan gemetar.

"Ayoo… aku harus melihat dunia sekali sebelum menghilang," gumamnya, suaranya bergetar.

Ia mengenakan jaket dan celana panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, berusaha menyamarkan diri dari dunia yang selalu terasa mengganggu. Begitu membuka pintu, dada Hiro sesak, keringat dingin membasahi kulitnya. Napasnya berat, tapi ia memaksa untuk menenangkan diri.

"Ayoo… cuma membeli tali kok," batinnya, mencoba membujuk diri sendiri.

Hiro membuka aplikasi peta di ponselnya, melangkah perlahan, setiap langkah dipenuhi ketakutan. Jalanan yang sepi terasa terlalu luas, suara kendaraan dan angin membuatnya lebih gelisah. Ia berhasil membeli tali, dan buru-buru melangkah pulang, berharap segera kembali ke kamar yang gelap dan aman.

Namun, langkahnya terhenti seketika.

Di ujung jalan, seorang wanita berdiri, memainkan biola dengan tenang. Mata birunya menatap ke arah jalan, rambut panjang dan rapi jatuh di bahunya, dan senyum itu—senyum yang sama persis seperti dalam mimpinya—tidak pernah pudar.

Hiro terbelalak. Tubuhnya kaku.

"Ini… tidak mungkin…" bisiknya dalam hati.

Ia tidak menyangka akan melihat sosok itu di dunia nyata. Semua ketakutannya, kecemasannya, dan kenyamanan yang ia temukan di mimpi, bertabrakan dalam satu detik.

More Chapters