LightReader

Chapter 1 - Awal Dari Segalanya — Perang Dunia Sepuluh Bendera

Dunia pernah berdiri megah di bawah langit biru yang sama, namun tak satu pun manusia pada masa itu tahu bahwa mereka sedang berjalan menuju akhir dari peradaban.

Sebelum kehancuran itu datang, dunia terbagi menjadi sepuluh negara besar. Masing-masing memiliki identitas dan kekuatan yang luar biasa: ada negara industri baja yang menghasilkan senjata mematikan, negara agraris yang kaya hasil bumi, dan negara sihir yang meneliti energi misterius dari inti bumi. Namun seperti biasa, perbedaan hanya butuh sedikit percikan untuk berubah menjadi api. Dalam waktu singkat, dunia dilanda peperangan global — sebuah bencana yang kemudian dikenal dengan nama Perang Sepuluh Bendera.

Asap hitam menutupi langit, dan lautan berubah menjadi kuburan besi. Kota-kota yang dulunya berdiri megah kini menjadi ladang puing dan logam meleleh.

Perang bukan hanya soal kemenangan; perang menjadi candu yang membuat manusia melupakan alasan awal mereka bertarung.

Namun, di tengah semua kekacauan itu… ada satu tempat yang tetap berdiri — Negara Netral Aetherion.

Luasnya empat kali lipat Gurun Sahara, Aetherion menjadi tanah harapan bagi semua bangsa. Negara ini memiliki kekayaan alam melimpah, iklim stabil, serta sumber daya energi misterius yang disebut "Aether Core" — zat bercahaya biru yang mampu menyalakan seluruh kota tanpa bahan bakar. Karena itulah, Dewan Dunia menandatangani Perjanjian Netralitas Aetherion: tidak ada satu pun negara yang boleh menyerang tanah itu. Siapa pun yang melanggarnya, akan dianggap musuh seluruh dunia.

Ironisnya, justru karena perjanjian itu, Aetherion menjadi pusat segala perdagangan, politik, dan intrik.

Di sanalah semua negara mengatur strategi — dan di sanalah benih kehancuran sesungguhnya ditanam.

Pada tahun ke-12 perang, dunia mulai runtuh.

Negara-negara kehilangan bahan makanan, sumber daya, dan tenaga kerja. Di tengah kelaparan, muncul rumor dari garis depan utara: sebuah gua kuno ditemukan di antara reruntuhan gunung es yang mencair. Prajurit yang menemukannya mengaku melihat ukiran naga di dinding batu, dengan mata yang berkilau seperti jam pasir terbalik.

Mereka menamainya Goa Waktu.

Awalnya hanya dianggap takhayul, sampai laporan berikutnya datang:

"Mereka yang masuk ke dalamnya… tidak kembali. Tapi arloji di tangan mereka tetap berdetak — mundur."

Laporan itu membuat Aetherion terguncang. Dewan tertinggi negara mengirim pasukan elit untuk menyelidiki, namun hanya satu yang kembali hidup. Tubuhnya rusak parah, matanya kosong, tapi ia meninggalkan pesan sebelum mati:

"Naga itu masih hidup. Ia menunggu— untuk mengulang dunia."

Pesan itu menjadi awal dari legenda terbesar dalam sejarah manusia.

Selama bertahun-tahun setelahnya, dunia semakin terobsesi dengan "Naga Waktu".

Negara-negara yang tersisa mulai mengembangkan senjata temporal, eksperimen berbahaya yang bisa memperlambat atau mempercepat waktu di area tertentu. Tapi setiap kali mereka mencoba menduplikasi kekuatan naga itu, eksperimen selalu gagal — berakhir dengan kehancuran laboratorium dan hilangnya ratusan ilmuwan.

Namun obsesi manusia tidak berhenti di sana.

Aetherion, dengan teknologi paling maju, membentuk proyek rahasia bernama Chrona Genesis — sebuah misi untuk "menangkap" waktu itu sendiri. Para ilmuwan percaya bahwa naga yang tinggal di goa itu bukan makhluk biasa, melainkan entitas pengawas waktu, sisa ciptaan dari dunia sebelum dunia ini ada.

Beberapa peneliti bahkan mulai menyembahnya.

Mereka percaya naga itu bukan ancaman, tapi "penyelamat" yang akan memutar waktu dan menghapus seluruh dosa umat manusia.

Yang lain — terutama kalangan militer — melihatnya sebagai senjata pamungkas.

Sementara dunia terus terbakar, di Aetherion perlahan tumbuh bayangan.

Politikus menekan ilmuwan, ilmuwan menekan tentara, tentara menekan rakyat. Negara yang dulu netral kini berubah menjadi panggung perang dingin.

Di tengah keputusasaan itu, seorang gadis kecil dari kota bawah Aetherion bermimpi tentang seekor naga bersayap enam yang melayang di atas jam pasir besar. Dalam mimpinya, naga itu berbicara dengan suara lembut tapi menusuk:

"Dunia akan berhenti.

Waktu akan berulang.

Tapi kali ini, bukan manusia yang menulis sejarah."

Ketika ia terbangun, jam di rumahnya berhenti.

Hari itu, 60% populasi Aetherion menghilang begitu saja — tanpa jejak.

Banyak yang bilang dunia runtuh karena perang. Tapi sejarah yang terlupakan menyebut bahwa hari itu, naga itu bangun.

Ribuan tahun kemudian, dunia berubah total. Perang berakhir bukan karena perdamaian, tapi karena tak ada lagi yang tersisa untuk dihancurkan.

Aetherion menjadi kota mati. Lautannya kering, langitnya pecah, dan goa naga itu tertutup oleh lapisan kristal waktu yang tidak bisa dihancurkan.

Namun, dari reruntuhan peradaban itu, perlahan dunia baru lahir.

Tanah yang dulu hancur berubah menjadi benua-benua baru dengan hukum sihir dan energi berbeda. Bangsa-bangsa yang tersisa mulai berkembang lagi, tapi tanpa tahu bahwa mereka hidup di atas lapisan waktu yang pernah diulang.

Sementara itu, legenda tentang naga waktu menjadi mitos — diceritakan dari generasi ke generasi.

Tak ada yang tahu kebenarannya, sampai suatu hari, di masa depan jauh, dua jiwa dari dunia lain lahir kembali di tanah itu.

Kael — yang matanya menyimpan nyala merah menyerupai bintang.

Seraphine — yang birunya memantulkan kedalaman waktu itu sendiri.

Mereka tak tahu siapa mereka dulu,

tapi di dalam diri mereka, mengalir sisa kekuatan naga yang tertidur ribuan tahun lalu.

Dan roda waktu pun kembali berputar.

Namun kali ini, naga itu tidak lagi berjuang sendirian.

Dunia akan menyaksikan kelahiran dua mata yang mampu menantang waktu itu sendiri —

Athernova Eyes.

Perang besar di benua Athernova berakhir dengan kehancuran yang tak terbayangkan.

Lereng besar di utara — tempat terakhir pertempuran antara pasukan sihir kuno dan teknologi — menjadi titik retakan dunia.

Selama tujuh hari tujuh malam, langit di atas lereng itu terus terbakar. Petir tak berhenti menyambar, lautan mendidih, dan daratan berguncang seolah menolak keberadaan manusia itu sendiri.

Namun, pada hari kedelapan, terjadi fenomena yang tak bisa dijelaskan logika,

Langit membelah dua, membentuk pusaran cahaya raksasa berwarna putih keemasan. Dari sana, cahaya itu jatuh seperti hujan, menembus tubuh setiap manusia di dunia tanpa terkecuali.

Tidak ada yang mati. Tidak ada yang selamat dari perubahan itu.

Setelah hujan cahaya itu berhenti, setiap manusia menyadari sesuatu berubah di dalam mata mereka.

Pupil mereka kini memantulkan pola aneh — garis bercahaya yang berputar, berdenyut, dan kadang berwarna mengikuti emosi mereka.

Seiring waktu, pola itu dinamai Dojutsu, mata yang membawa kekuatan elemen dasar dunia.

Beberapa hari kemudian, efeknya mulai terasa.

Seseorang bisa menyalakan api hanya dengan menatap batang kayu kering.

Yang lain mampu membuat udara bergetar hingga menumbangkan batu besar.

Ada juga yang memanggil air dari udara, atau memadatkan tanah menjadi perisai.

Masyarakat mulai menyebut fenomena itu sebagai

"Kebangkitan Aether",

karena kekuatan yang keluar dari Dojutsu dianggap sebagai warisan dari energi dunia — **Aether — yang selama perang besar dulu tertidur di bawah tanah.

Namun, meskipun semua manusia memilikinya, **tidak ada dua Dojutsu yang sama**.

Setiap orang memiliki pola unik yang menandakan elemen dasarnya —

Api, Air, Tanah, Angin, Petir, Es, atau Cahaya.

Dan di antara mereka, hanya segelintir orang yang dilahirkan dengan Dojutsu ganda —

mereka disebut Athernova, "mereka yang menatap dunia dari dua cahaya berbeda."

Kekuatan baru ini mengubah dunia sepenuhnya.

Bangsa-bangsa lama runtuh, kota terbakar oleh api yang keluar dari amarah, dan langit berubah menjadi arena perang baru —

karena manusia tak lagi berperang dengan senjata,

melainkan dengan tatapan.

Namun dari reruntuhan kekacauan itu, muncul satu pertanyaan yang menakutkan:

"Jika semua manusia kini memiliki Dojutsu,

siapa yang pertama kali membuka matanya?"

More Chapters