LightReader

Chapter 5 - BERPURA-PURA

Langkahnya gontai, menelusuri lorong jalan yang sepi, suara koper terdengar nyaring, dia.. Alleta, seorang gadis yang baru saja di usir dari rumahnya.

"Ibu, bagaimana bisa, aku hidup tanpa dirimu."

"Ayah sudah berubah, bu, dia tidak sayang denganku lagi, tolong bawa aku dari sini bu, peluk aku."

Suara pilu, terdengar dari mulut Alleta, dia benar-benar terluka atas perlakuan sang ayah.

Alleta bingung, dia harus pergi kemana.

Setelah melamun cukup lama di sisi jalan sepi itu..

"Sierra, aku bisa kerumah dia," batin Alleta.

Alleta bergegas menuju ke rumah sang sahabat, karena itu satu-satunya harapan terakhir dia.

Alleta mengetuk pintu rumah Sierra, tapi Sierra tak kunjung membukanya.

"Mungkin Sierra sudah tidur," batin Alleta.

Alleta putus asa, dia bingung harus pergi kemana, karena rumah Kayla cukup jauh dari sana, apa lagi hari sudah malam.

Namun.. Saat Alleta akan meninggalkan kediaman Sierra, tiba-tiba pintu rumah terbuka.

"Ya, siapa?" tanya Sierra, sembari mengucek matanya, karena terbangun dari tidurnya.

Alleta membalikan tubuhnya, dia menatap kearah Sierra dengan tatapan sendu.

"Alleta, kamu kenapa malam-malam kesini?" tanya Sierra cemas, dia langsung mendekati Alleta.

Tapi, Alleta diam.. Dia tidak bicara sepatah kata pun, kemudian Alleta memeluk Sierra, tangisannya terdengar nyaring di telinga Sierra.

"Yasudah, ayo masuk, diluar dingin," ajak Sierra, dia sudah menduga kalo kedatangan Alleta ada sebabnya.

Sierra membawa koper Alleta, lalu dia menyuruh Alleta duduk di ruang tamu.

"Mau minum apa, biar aku buatkan?" tanya Sierra.

Alleta menggeleng, lalu dia memegang tangan Sierra.

"Kamu duduk saja disini, temani aku," pinta Alleta, dengan suara yang lemah.

Sierra menarik napas, lalu dia duduk di sebelah Alleta.

"Sebenarnya ada apa, kenapa malam-malam seperti ini kamu membawa koper?" tanya Sierra,

"Wajahmu, lenganmu, kakimu, penuh dengan luka, siapa yang berbuat jahat?" lanjut Sierra, dia menatap tubuh sang sahabat yang sudah banyak bekas pukulan.

"Ibu dan adik tiriku, mereka memukul aku karena katanya, aku sudah membuat mereka malu, aku anak tidak tahu diri, makanya tidak layak tinggal bersama mereka," jawab Alleta, dia menyusut air matanya.

  "Kita lapor polisi aja, ya. Supaya mereka sadar akan kesalahannya," kata Sierra.

Alleta menggeleng, "Aku nggak apa-apa, Ra. Kamu tenang saja, kalau aku melaporkan mereka, mereka akan membalikan fakta atau membuat drama. Aku sudah muak!"

Sierra langsung memeluk sang sahabat, dia tahu bagaimana perasaan Alleta saat ini.

"Aku akan jadi orang terdepan yang membela kamu," ucap Sierra,

"Maaf, aku tidak bisa mencegah ini semua," lanjut Sierra.

Alleta menggeleng, dia memeluk erat Alleta, suaranya terisak menahan air matanya, agar tidak jatuh.

"Sekarang waktunya tidur, sudah malam," kata Sierra,

"Kita tidur bareng," lanjut Sierra tersenyum.

Alleta mengangguk pelan, dia mengikuti langkah Sierra.

"Koper taruh saja disana, besok kita bereskan bajumu kedalam lemari," ucap Sierra.

 "Ra, makasih udah nolongin aku," kata Alleta.

"Aku akan selalu menolong kamu atau pun Kayla, karena kalian keluarga aku," jawab Sierra tersenyum.

Setelah mereka membahas sesuatu, akhirnya keduanya tertidur sangat pulas malam ini.

***

Pagi hari datang, Sierra terbangun dari tidurnya lalu dia memasak untuk sarapan dirinya dengan Alleta.

"Ra, udah masak aja," ujar Alleta, yang masih memakai baju tidurnya.

"Hari ini kamu libur kerja, 'kan. Nikmati aja tidurnya," sahut Sierra tersenyum.

Karena Sierra cukup tahu bagaimana Alleta saat berada di rumahnya, tidak bisa tidur nyenyak.

"Udah biasa, bangun jam segini," ujar Alleta.

Saat keduanya sedang asik bicara, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.

"Aku aja yang buka," kata Alleta.

Alleta langsung bergegas kearah pintu, dia penasaran dengan orang yang bertamu pagi-pagi.

"Selamat pagi, saya ditugaskan untuk mengirim bunga, buat nona Sierra," ucapnya.

"Kalo boleh tahu, ini dari siapa, pak?" tanya Alleta bingung.

Pasalnya, Sierra tidak pernah cerita apa pun prihal laki-laki.

"Yasudah, saya akan kasih barang ini ke sahabat saya, terima kasih ya, pak," ucap Alleta.

Lalu, Alleta membawa barang itu ke dalam rumah.

"Ra, kenapa kamu nggak pernah cerita, kalo kamu punya kekasih selama ini," ujar Alleta.

Sierra hanya tertawa, karena ucapan sahabatnya tidak masuk akal.

"Pagi-pagi gini, jangan suka bercanda, aku tidak mempunyai kekasih," sahut Sierra tertawa.

"Lalu, kiriman bunga di pagi hari ini apa, kalo bukan dari kekasih kamu," kata Alleta,

"Orang asing tidak mungkin mau repot-repot," lanjut Alleta.

"Baca aja, siapa pengirim bunga itu," ucap Sierra.

Lalu, Alleta membaca si pengirim bunga itu, sontak saja dia kaget.

"Karel."

"Kalian pacaran?" tanya Alleta.

"Jangan ngaco, aku tidak mungkin mempunyai hubungan serius dengan laki-laki yang keluarganya tidak setuju," jawab Sierra.

"Lalu, bunga ini?" tanya Alleta lagi.

Sierra menghembuskan napas panjang, mau tidak mau, dia harus menjelaskannya kepada sahabatnya itu.

"Setiap pagi, Karel selalu mengirim bunga. Kadang dia yang kesini, terkadang kurir yang mengantarkannya," jawab Sierra.

"Karel belum tahu, kalo ibunya mengancam dan menghina kamu waktu itu?" tanya Alleta lagi.

"Tidak, dia tidak mengetahui itu," jawab Sierra.

"Kenapa ngak di ceritain aja sama Karel?" ujar Alleta.

"Aku tidak mau kalo Karel berantem dengan ibunya, karena aku yakin, kalo Karel akan membela aku," jawab Sierra.

Alleta cukup tahu, kalo Sierra memang mempunyai perasaan kepada Karel.

Alleta mengelus punggung Sierra, "Kamu yang sabar, ya."

"Aku nggak apa-apa, mungkin aku dengan Karel tidak di takdirkan bersama, meskipun kita mempunyai perasaan yang sama," ujar Sierra,

"Udah ah, jangan membahas itu, kita sarapan dulu, aku akan ke restoran," lanjut Sierra.

Alleta menyantap masakan Sierra yang tidak ada duanya, dia tidak mau terlalu membahas permasalahan dia dengan Karel.

Setelah menyelesaikan sarapannya, dan melakukan olahraga sebentar, Sierra langsung meninggalkan rumahnya.

"Semoga, Karel tidak datang ke restoran, aku benar-benar tidak bisa selalu bertemu dengan dia," batin Sierra.

Jarak rumah dengan restoran tidak terlalu jauh, akhirnya dia sampai ke restorannya.

"Selamat pagi bu Sierra," sapanya.

"Pagi, semangat bekerja untuk hari ini," ucap Sierra tersenyum manis.

Sierra tidak pernah membedakan karyawannya, dia menganggap mereka semua keluarga.

 "Selamat pagi, nona Sierra."

Sierra kaget, mendengar suara yang cukup dia kenal.

"Tuan Zane," ujar Sierra.

"Boleh saya duduk di depan nona?" tanya Zane.

"Silahkan," jawab Sierra.

"Restoran milik anda nona?" tanya Zane.

"Kalo bukan milik saya, untuk apa saya berada disini pagi-pagi begini," jawab Sierra ketus.

Zane hanya tersenyum menyeringai.

 "Apa yang membuatmu tidak tertarik dengan pesona saya?" tanya Zane.

Sontak saja Sierra tertawa, "Nggak semua wanita, harus terpesona dengan pria seperti anda."

"Lagian, saya lihat-lihat, anda sudah sedikit tua," lanjut Sierra.

Mendengar hinaan Sierra, cukup membuat Zane kesal, tapi dia tahan rasa kesalnya.

"Karel, dia kesini," batin Sierra,

 "Bantu saya, saya akan melakukan apa pun untuk ada tuan," ucap Sierra.

Zane cukup bingung, dengan permintaan Sierra.

***

More Chapters