LightReader

Chapter 4 - 4

Bapak, yang duduk di sampingnya, bersuara dengan tenang, "Menurutku, tidak ada salahnya. Tentu kalau Abi mengizinkan. Toh, hari H sudah siap."

Abi, yang dari tadi diam, akhirnya mendekat, wajahnya datar tapi matanya menandakan penasaran. "Ada apa?"

Umi menoleh, napasnya sedikit tersendat. "Ini... Ibu dan Bapak Oji punya usul. Bagaimana kalau Sarah yang menggantikan Nadia di pelaminan?"

Abi terkejut, tapi buru-buru menutup ekspresinya dengan wajah datar. "Sarahnya mau tidak?"

"Ya, belum ditanya."

Ibu Oji buru-buru meralat, senyum manis tapi cepat, seolah ingin meyakinkan semua orang. "Maaf, Bi. Maksud saya, Sarah bukan menggantikan kakaknya. Tapi, jadi penyambung silaturahmi dua keluarga. Saya yakin Sarah juga anak baik seperti Nadia."

Di pojok ruang tamu, Oji duduk tenang, diam mendengarkan percakapan itu. Dalam hatinya, bara amarah dan dendam perlahan mengalir. "Aku masih berduka, mereka ngomongin pengganti?" batinnya. "Sarah? Dia yang menyebabkan Nadia meninggal. Mestinya aku melenggang ke pelaminan dengan Nadia, bukan Sarah! Mestinya dia yang masuk neraka!"

Ia menelan ludah, napasnya berat. "Tunggu, Sarah harus masuk neraka. Dan aku akan menciptakan neraka itu!"

Meski begitu, Oji tetap menahan ekspresi. Ia berdiri, melangkah mendekat dengan akting tenang, pura-pura bijak. "Pak, Bu. Kita semua masih berduka. Aku yakin, Sarah juga. Jangan ditanya buru-buru, kasihan."

Hati Umi langsung tergetar mendengar nada lembut Oji. Pikirannya bergolak antara kagum dan lega. "Ya Tuhan, calon mantuku ini luar biasa! Aku tidak rela melepas calon mantu sebaik dia!"

Abi menghela napas panjang, menatap Oji dan Umi. "Baiklah. Nanti saya bicara dengan Sarah, soalnya waktu juga berjalan terus. Besok sudah H-2."

Oji menepuk bahu Abi pelan, menampilkan wajah bijak yang membuat semua orang merasa tenang. "Bi, jangan mikirin hari H. Kasih waktu untuk Sarah, jangan sampai dia merasa membuat keputusan karena terdesak waktu."

Abi menatap Oji singkat, lalu bertanya dengan nada setengah tersenyum, "Jadi, kamu sendiri setuju menikahi Sarah?"

Oji mengangguk perlahan, suara tenangnya menyelimuti ruang tamu. "Seperti yang Ibu bilang tadi, Sarah bukan pengganti Nadia, tapi penyambung silaturahmi dengan keluarga. Aku sudah anggap Umi dan Abi seperti orangtuaku sendiri, dan Ibu-Bapak juga pasti akan dengan mudah menerima Sarah."

Hening sesaat mengisi ruangan. Lampu remang menyinari wajah-wajah penuh rasa lelah dan cemas, tapi di tengah semua itu, Oji tetap tenang, memegang kendali akal dan emosinya. Umi menatapnya, hatinya campur aduk, legawa, harap, dan rasa kagum yang tidak bisa ia sembunyikan.

Di luar kamar, Sarah masih diam, tas kebaya di sampingnya. Ia tidak tahu percakapan di ruang tamu telah berubah arah, tapi suara Oji yang lembut membawa ketenangan, meski hati Oji sendiri sedang menyimpan gelombang dendam yang membara.

Setelah Bapak dan Ibu Oji pamit, suasana rumah terasa lebih hening. Suara langkah pelayat yang pulang mulai menghilang, digantikan dengung kipas angin dan aroma bunga segar dari rangkaian yang tersisa di ruang tamu.

Om Hadi, adik Abi, melangkah mendekat dengan langkah tenang, wajahnya serius tapi lembut. Ia menepuk bahu Abi, menatap mata kakaknya seakan ingin memastikan pendapatnya diterima. "Aku setuju usul Pak Fauzan tadi. Keluarga dari Jawa juga sudah mulai berdatangan, bawa oleh-oleh, memang niatnya untuk Nadia, tapi tidak ada salahnya kalau Sarah yang naik pelaminan."

Abi menatap Om Hadi sejenak, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar Sarah. Rasa khawatir bercampur dengan penasaran. Ia melangkah mendekat, tangan terangkat, mengetuk pintu dengan pelan.

"Sarah… boleh aku masuk sebentar?" suara Abi lembut, menenangkan.

Pintu terbuka perlahan. Sarah terlihat pucat, rambutnya tertutup jilbab panjang yang lembut, namun wajahnya masih menunjukkan sisa kelelahan dan kepedihan sore itu. Ia duduk di lantai, bersandar ke ranjang dengan posisi yang tak berubah sejak siang, tangan memeluk tas laundry seolah itu satu-satunya penghubungnya dengan Nadia.

Abi menatapnya sesaat, hati terasa sesak. Ia tidak ingin mengganggu, tapi ia juga sadar harus berbicara. "Sarah… aku cuma ingin ngobrol sebentar," katanya pelan.

Sarah menoleh perlahan, mata sembabnya menatap Abi, tapi tubuhnya masih kaku, enggan melepaskan tas laundry yang digenggamnya. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara kipas yang berputar pelan dan detak jam dinding terdengar.

Abi menarik napas panjang, menunduk sebentar, lalu duduk di dekat Sarah dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak menakutinya. Ruangan itu seketika terasa berat, penuh campuran duka, ketakutan, dan rasa kehilangan, namun di balik semua itu, Abi tahu ada momen penting yang harus dimulai, pembicaraan tentang hari esok dan langkah yang akan Sarah ambil setelah semua ini.

Abi duduk diam beberapa detik, membiarkan Sarah menenangkan diri. Ia memperhatikan tangan gadis itu yang masih erat memeluk tas laundry, dan perasaan kehilangan yang begitu nyata terpancar dari setiap geraknya.

"Sarah," kata Abi akhirnya, suaranya lembut tapi tegas, "aku tahu hari ini sangat berat buatmu. Aku juga tidak ingin menambah bebanmu. Tapi… kita harus bicara sedikit soal besok."

Sarah menatap Abi, mata sembabnya berbinar samar, bibirnya bergetar, tapi dia tetap diam. Abi menarik napas dalam-dalam, mencoba memilih kata yang tepat.

"Orang-orang dari keluarga sudah datang, membawa oleh-oleh untuk Nadia. Mereka semua berharap melihat kebahagiaan di pelaminan. Aku tahu ini tidak mudah, tapi… ada usul dari keluarga Oji, dari Pak Fauzan, dan Om Hadi. Mereka ingin, kalau memungkinkan, kamu yang naik pelaminan. Bukan menggantikan Nadia… tapi… menjadi penyambung silaturahmi dua keluarga."

Sarah menelan ludah, tubuhnya sedikit bergetar, tapi ia masih memeluk tas laundry itu. Abi memperhatikan reaksinya, hati terasa campur aduk. Ia menekankan kata-katanya agar tidak menekan gadis itu.

"Kamu tidak harus menjawab sekarang," lanjut Abi. "Aku hanya ingin kamu tahu apa yang keluarga harapkan. Kita beri waktu buat kamu berpikir, Sarah. Tidak ada yang mendesak. Besok sudah H-2, jadi kita bicara sekarang biar kamu bisa mempertimbangkan dengan tenang."

Sarah akhirnya melepaskan sedikit genggaman dari tas laundry itu, menundukkan kepala. Hening sesaat memenuhi kamar, hanya suara napas mereka yang terdengar. Abi menatapnya dengan lembut, mencoba memberi kekuatan tanpa memaksa.

Oji, yang sejak tadi berdiri di pojok pintu, diam-diam mengamati. Senyum pura-pura bijak masih menempel di wajahnya, tapi matanya tajam, memperhatikan setiap gerak Sarah. Dalam hatinya, gelombang amarah dan dendam masih membara, namun untuk sementara ia menundukkan itu, menyimpan semuanya untuk nanti.

Abi menepuk bahu Sarah perlahan, memberi tanda pengertian dan dukungan. Sarah menatap Abi sesaat, napasnya mulai lebih teratur, dan untuk pertama kali hari itu, seakan sedikit lega bisa mendengar kata-kata penuh pengertian itu.

Ruangan tetap hening, namun aura ketegangan perlahan berubah menjadi rasa harap, meski masih samar dan penuh campuran emosi. Hari esok menunggu keputusan yang akan menentukan jalan hidup mereka semua.

More Chapters