LightReader

Chapter 1 - Mati dan Bangkit

Langit sore itu berwarna tembaga, seolah ikut meratapi tubuh yang makin lemah di atas ranjang rumah sakit.

Aroma obat, suara mesin monitor, dan bisikan perawat jadi musik terakhir yang kudengar dalam hidup sebagai Daud, seorang sejarawan yang menghabiskan hidup menulis tentang masa lalu namun tak pernah sempat hidup di dalamnya.

"Kalau saja aku bisa melihat langsung abad pertengahan itu… bukan hanya membacanya."

Kalimat itu keluar pelan, nyaris seperti doa, sebelum mataku tertutup oleh gelap yang panjang.

 

Ketika aku sadar, yang pertama kurasakan adalah dingin.

Bukan dingin AC rumah sakit tapi dingin tanah dan udara lembap.

Aku membuka mata dan… bukan atap putih modern yang kulihat, melainkan langit berwarna kelabu dan atap jerami yang bocor.

"...Aku di mana?"

Suara sendiri terdengar aneh tipis, tinggi… seperti anak kecil.

Tubuhku kecil, kurus, dan tertutup pakaian kasar yang terbuat dari wol murah. Tanganku gemetar saat melihat cermin logam di sudut ruangan: wajah bocah berusia sekitar sepuluh tahun, rambut Ungu kusut, mata abu-abu.

Pintu kayu terbuka, dan seorang wanita dengan wajah lelah masuk membawa semangkuk bubur.

"Erian, kau sudah bangun?

Erian.

Jadi itu namaku sekarang.

Setelah wanita itu pergi, aku hanya duduk lama, mencoba memahami apa yang terjadi.

Tidak ada monitor, tidak ada listrik, tidak ada kebisingan kota.

Di luar, kulihat jalan tanah, pedagang keliling dengan kereta kayu, dan anak anak berlari tanpa alas kaki.

"Apakah ini... dunia abad pertengahan?" gumamku.

Semua yang kulihat gaya rumah, pakaian, bahkan bau udara benar-benar seperti dalam buku sejarah yang dulu kutulis.

Dan di dada ini, ada rasa aneh

campuran duka dan harapan.

Aku tidak tahu kenapa aku di sini, tapi jika hidup memberiku kesempatan kedua…

maka kali ini, aku akan mencatat sejarah dari dalamnya.

Tiga hari sudah aku tinggal di rumah kecil ini.

Rumah dari kayu lapuk dan jerami, di pinggir kota kecil bernama Rivenshire setidaknya begitu kata ibuku yang baru kutahu bernama Lira. Ayahku seorang saudagar kain keliling yang menumpang di kapal orang. Dan pulang setahun sekali bahkan 2 tahun ucap ibuku

Hari-hari pertama, aku hanya mengamati.

Sebagai sejarawan, naluriku masih sama mengamati, mencatat, memahami.

Setiap pagi, aku duduk di depan rumah, memperhatikan orang orang lewat. Petani membawa hasil panen dengan gerobak, prajurit patroli dengan baju zirah ringan, dan para biarawan berjalan sambil membawa kitab.

Suara pasar, teriakan penjual, aroma roti panggang dan asap kayu semuanya terasa nyata.

> "Jadi begini rasanya hidup di abad pertengahan... bukan sekadar membaca catatan kronik," gumamku pelan.

Tapi rasa kagum itu cepat berubah jadi rasa lapar, harfiah dan batin.

Keluargaku miskin. Bubur tipis dari gandum kasar menjadi makanan utama. Kadang hanya itu tanpa lauk, tanpa garam.

Aku mulai berpikir bagaimana pengetahuan masa laluku bisa berguna di sini.

Dan seperti insting lama, aku mulai mencatat.

Dengan arang dari tungku dan lembar kain bekas, aku menulis hal-hal sederhana:

Struktur sosial yang kulihat di pasar.

Bahasa dan dialek lokal.

Sistem jual beli dan nilai tukar.

Tulisan itu belum tentu berguna sekarang, tapi setidaknya itu membuatku merasa hidup.

Suatu sore, aku menemani Ibu ke pasar.

Di sana aku memperhatikan kain-kain yang dijual orang semuanya kasar, berwarna kusam.

Sebagai sejarawan, aku tahu teknik pewarna alami dari tumbuhan sudah dikenal di banyak budaya kuno.

Seketika ide muncul.

"Ibu… kalau kita pakai daun nila untuk memberi warna biru di kain, apa orang akan mau membelinya?"

"Daun nila? apa itu nak. Ibu tidak pernah mendengar itu sebelumnya dan tak tahu cara melakukannya."

"Tapi aku tahu cara membuatnya."

Dia menatapku ragu, tapi aku tahu ada ekspresi campuran takut dan harap.

Malam itu aku mencoba membuat pewarna alami dengan daun liar dari sekitar sungai dan sedikit abu dari tungku.

Tangan kecilku belepotan lumpur, tapi ketika kain itu mengering, warnanya berubah jadi biru lembut, tidak sempurna, tapi menawan.

"Erian… bagaimana kau tahu ini bisa dilakukan?" tanya Ibu pelan.

"Entahlah bu, aku hanya coba coba," jawabku singkat.

"Kau anak yang aneh," katanya sambil tersenyum kecil. "Tapi mungkin… anehmu ini akan membawa keberuntungan."

Di malam sepi itu, aku menatap kain biru itu lama.

Di dunia lamaku, aku hanya mencatat sejarah.

Di dunia ini… mungkin aku bisa membuatnya.

Keesokan paginya, Ibu membawa selembar kain biru hasil percobaanku ke pasar. Awalnya hanya untuk menukarnya dengan sedikit gandum, tapi takdir punya rencana lain.

Seorang wanita bangsawan lewat, anggun dalam gaun sutra berenda perak. Dua pengawal mengiringinya, dan semua orang di pasar menunduk saat ia lewat. Matanya berhenti pada kain biru di tangan Ibu.

"Warna itu… menarik," katanya dengan nada kagum. "Dari mana kau mendapatkannya?"

Ibu sempat terdiam, lalu menjawab hati-hati, "Anakku yang membuatnya, Nyonya."

Wanita itu menatapku, menilai dari ujung kepala hingga kaki. "Anakmu? Cukup cerdas rupanya. Aku Lady Mirane dari keluarga Arlen. Aku ingin kalian bekerja di rumahku. Kubayar lebih dari cukup, asal warna ini hanya dibuat untuk keluargaku."

Suara pasar mendadak hening di telingaku. Tawaran itu terdengar seperti keajaiban. Rumah besar, makanan cukup, kehidupan yang layak. Aku menatap Ibu, berharap ia akan menerima. Tapi ekspresi di wajahnya berbeda.

Ia menunduk dalam, lalu berkata pelan, "Maaf, Nyonya. Kami tak bisa."

Lady Mirane tertegun, suaranya naik sedikit. "Tidak bisa? Apa kau tahu siapa aku?"

Ibu tetap menatap tanah, tapi suaranya tegas. "Saya tahu, Nyonya. Tapi warna ini bukan milik siapa pun. Itu milik anak saya. Dan kami tidak ingin menjual kebebasan kami, bahkan untuk emas sekalipun."

Aku terpaku. Jantungku berdetak cepat antara kagum dan takut. Lady Mirane menatap kami lama, lalu tertawa kecil bukan tawa senang, tapi dingin dan menghina.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi ingat, di dunia ini, yang menolak tangan bangsawan sering menyesal." Ia berbalik dan pergi, diikuti pengawalnya. Orang-orang pasar menatap kami dengan campuran hormat dan ngeri.

Dalam perjalanan pulang, aku berjalan diam. Hanya suara langkah kaki dan desir angin yang menemani.

"Aku kira kita bisa hidup lebih baik," kataku akhirnya. "Kita bisa makan kenyang setiap hari."

Ibu tersenyum samar, tapi matanya tampak lelah. "Hidup kenyang bukan berarti hidup bebas, Erian. Kau akan mengerti nanti. Apa gunanya warna seindah itu kalau kau tak bisa memilih untuk memegangnya?"

Aku tak menjawab. Tapi di dalam hatiku, kata-katanya menancap dalam.

Malam itu, aku duduk di depan tungku, menatap sisa kain biru yang mulai pudar di ujungnya. Di dunia lamaku, aku menulis kisah tentang rakyat kecil yang ditindas bangsawan serakah. Sekarang aku berada di tengah kisah itu.

Aku mengepalkan tangan, menatap arang dan abu di depanku. Jika warna ini bisa mengubah nasib, maka biarlah warna itu tetap milik rakyatbukan milik istana.

Dan malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa sejarah di dunia ini akan kutulis… bukan dengan pena, tapi dengan perbuatan.

Sudah hampir seminggu sejak kejadian di pasar. Ibu tetap menjual kain biasa seperti dulu, tapi di sudut rumah, aku masih bereksperimen dengan warna. Kadang hasilnya gagal, kain berubah kusam atau berlubang karena campuran terlalu kuat. Tapi setiap kali ada warna baru muncul, bahkan sedikit saja, aku merasa seperti menemukan rahasia kecil dunia ini.

Suatu sore, langkah berat terdengar di depan rumah. Ibu menatap keluar, lalu tersenyum lega. "Ayahmu pulang."

Aku menegakkan tubuh. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, tubuhnya tinggi dan lebar, wajahnya gelap terbakar matahari. Pundaknya memanggul karung kain lusuh, dan di tangannya ada tongkat kayu panjang. Ia menatapku sejenak, seperti menilai anak yang hampir tak dikenalnya.

"Erian," katanya datar, "kau sudah besar, maaf ayah baru pulang"

Aku hanya mengangguk. Lalu Ibu menunjukkan hasil pewarnaanku yang tersisa. "Lihat ini, Rovan. Anakmu membuat warna dari daun dan abu. Tidak seperti kain yang biasa kau jual."

Ayah mengangkat kain biru lembut itu, menatapnya di bawah cahaya sore. "Hm. Tidak buruk. Tapi pembeli di pasar tak akan bayar mahal hanya untuk warna. Mereka ingin murah dan tahan lama."

Ibu tampak kecewa, tapi aku menatapnya penuh harap. "Tapi kalau kita jual sedikit lebih murah dari kain biasa, tapi dengan warna yang menarik, mungkin banyak orang tertarik."

Ayah terdiam. Ia berpikir lama, lalu tersenyum tipis. "Kau benar. Warna ini bukan untuk bangsawan ini untuk rakyat."

Keesokan harinya, ia membawa beberapa potong kain berwarna ke tokonya di pasar kecil Rivenshire. Aku menemaninya, menata kain itu di meja kayu yang biasa penuh dengan gulungan kusam. Ketika sinar matahari menimpa permukaannya, warna biru dan ungu lembut itu tampak hidup.

Awalnya orang-orang hanya menatap heran. Tapi begitu seorang ibu rumah tangga menyentuh kain itu dan mendengar harganya, matanya berbinar. "Warna seperti ini biasanya hanya untuk pakaian kaum bangsawan! Kau yakin harganya segini?"

Ayah hanya tersenyum. "Kami tidak menjual kemewahan, Bu. Kami menjual harapan."

Dalam waktu setengah hari, semua kain berwarna itu habis terjual. Beberapa pedagang kecil bahkan bertanya kapan akan ada lagi. Suara pujian dan kekaguman mengalir seperti arus di pasar.

Sepulangnya, Ayah menepuk pundakku. "Kau punya kepala yang cerdas, Nak. Kalau kau terus membuat warna seperti ini, toko kita bisa berkembang."

Ibu tersenyum bangga, tapi aku melihat sesuatu yang lebih dari sekadar keuntungan. Saat aku melihat orang-orang mengenakan kain biru buatan tanganku di jalan-jalan Rivenshire, aku sadar sesuatu sedang berubah.

Warna itu bukan hanya cat di atas kain. Ia adalah tanda bahwa dunia kecil ini bisa bergerak, pelan tapi pasti, menuju sesuatu yang baru.

Dan di dalam diriku, api kecil menyala keinginan untuk tidak hanya mengamati sejarah, tapi menulisnya kembali dengan tanganku sendiri.

Musim semi datang dengan lembut di Rivenshire. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang mulai bermekaran di sepanjang jalan desa. Setiap hari aku membantu Ayah di toko, menyiapkan kain, menjemur lembaran yang baru dicelup, dan mencatat hasil penjualan di potongan kain kecil semacam buku catatan daruratku.

Kain biru buatanku terus laris. Para petani dan istri tukang besi mulai mengenakannya di hari pasar, dan warna itu perlahan menjadi bagian dari kehidupan kota kecil kami. Tapi di dalam hatiku, aku ingin lebih. Aku ingin menciptakan warna lain sesuatu yang cerah, hangat, dan berbeda dari semua yang pernah ada.

Suatu pagi, saat mencari daun nila di tepi sungai, aku melihat semak berbunga kuning mencolok. Bunganya kecil dan rapat, seperti bintang yang menempel di batang hijau. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya di sekitar Rivenshire. Seorang gadis kecil yang menggembala kambing melihatku memegangnya dan berkata, "Itu broomflower. Bunga yang suka tumbuh di tanah yang malas."

Aku tersenyum. "Tanah malas?"

"Iya, karena tumbuhnya di tempat yang bahkan rumput malas tumbuh," katanya sambil tertawa sebelum berlari pergi.

Aku membawa beberapa tangkai pulang, menumbuknya di wadah tanah liat, mencampurnya dengan air panas dan sedikit abu dari tungku. Campurannya berbau getir, tapi saat kain putih kuselupkan dan kuangkat ke cahaya matahari sore, warnanya berubah menjadi kuning cerah seperti cahaya pagi yang terperangkap di kain.

Ibu menatap takjub. "Erian… indah sekali. Seperti warna matahari."

Ayah yang baru pulang dari pasar ikut melihat. Ia mengelus janggutnya, matanya berkilat puas. "Ini… ini bisa jadi warna musim panas. Orang-orang akan menyukainya."

Hari berikutnya, kami mencelup lebih banyak kain dengan bunga broomflower. Ketika dijual di toko, hasilnya di luar dugaan. Para pembeli mengerubung seperti lebah pada madu. Warna kuning itu membawa semangat baru di tengah kain kusam kota Rivenshire.

"Beli dua lembar untuk rok anakku!" seru seorang wanita.

"Buatkan versi yang lebih pucat, mungkin untuk baju pesta," kata seorang penjahit kecil.

Penjualan meningkat tajam. Untuk pertama kalinya, Ayah pulang dengan wajah benar-benar bahagia. Ia membawa sebuah bungkusan kain hitam kecil dan menyerahkannya padaku.

"Untukmu," katanya.

Aku membuka bungkusan itu. Di dalamnya ada sebuah buku tipis berkulit cokelat dan sebatang pena kayu sederhana. Halamannya masih kosong, berbau kertas baru dan sedikit minyak kayu.

"Supaya kau tak lagi menulis di kain bekas," katanya sambil tersenyum. "Kau bisa mencatat semua yang kau pelajari. Tentang warna, tentang dunia. Dan juga belajar menulis huruf serta angka dengan benar."

Aku menatap buku itu lama, jantungku berdebar pelan. Rasanya seperti menerima harta karun.

Malamnya, di bawah cahaya lampu minyak, aku membuka halaman pertama dan menulis dengan tinta buatan dari arang dan air:

"Hari ini aku menemukan warna matahari."

Huruf-hurufnya berantakan, tintanya menetes di ujung kata, tapi bagiku itu adalah tulisan paling indah yang pernah kulihat.

Hari-hari berlalu cepat di toko kecil kami. Warna biru dan kuning masih menjadi favorit di pasar, tapi aku ingin menciptakan sesuatu yang lebih berani warna yang bisa memikat mata sekaligus menyalakan semangat.

Suatu sore, ketika membantu Ibu berbelanja di pasar, aku melihat tumpukan buah kering berwarna merah gelap di sudut lapak tua. Tak ada yang membelinya. Pedagangnya mengeluh, "Buah ini tak laku. Rasanya asam dan keras, bahkan kambing pun menolak memakannya."

Aku mengambil satu dan meremasnya. Cairan pekat keunguan menempel di jariku. Warnanya dalam, seperti darah yang sudah lama mengering. Hatiku bergetar. "Bolehkah aku beli beberapa?" tanyaku.

Pedagang itu mengangkat bahu. "Ambil saja. Tak ada yang mau."

Aku membawa buah itu pulang, menumbuknya dan mencampurnya dengan air garam serta sedikit abu kayu. Ketika kain putih dicelupkan ke dalamnya, warnanya perlahan berubah menjadi merah tua gelap, hangat, dan misterius.

"Seperti warna jubah bangsawan," kata Ibu kagum.

Aku menatapnya lama. "Maroon," gumamku. "Di dunia lamaku, warna ini disebut maroon."

Ayah menatap hasilnya lama, lalu tertawa kecil. "Kalau biru dan kuning membawa harapan, maka warna ini membawa keyakinan."

Kami membuat beberapa gulung kain dengan warna baru itu. Ketika dibawa ke pasar, orang-orang berebut membelinya. Seorang pedagang berkata bahwa warna merah maroon tampak mahal, tapi harganya masih bisa dijangkau. Dalam waktu singkat, toko kami menjadi yang paling ramai di Rivenshire.

Ayah tak pernah terlihat sebahagia itu. Setiap kali menghitung koin di malam hari, matanya berbinar seperti anak kecil. Ia bahkan mulai berbicara tentang memperluas toko, mempekerjakan dua pembantu, dan mungkin suatu hari memiliki warung pewarna sendiri.

Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Suatu malam, ketika angin kencang bertiup dari arah selatan, teriakan terdengar dari luar. "Api! Api di pasar!"

Kami berlari keluar. Dari kejauhan, langit Rivenshire memerah. Api menjalar di deretan toko, dan di tengah kobaran itu toko kami. Bangunan kayu yang sederhana, penuh hasil kerja keras bertahun-tahun, dilalap api secepat embusan napas.

Ayah berlari ingin mendekat, tapi warga menahannya. Panasnya terlalu kuat. Ia hanya bisa menatap, wajahnya pucat diterangi cahaya oranye. Di matanya, aku melihat sesuatu hancur bukan hanya hartanya, tapi juga kebanggaannya.

Paginya, api padam. Hanya arang dan abu yang tersisa.

"Ini bukan kebetulan," bisik seorang tetangga. "Toko kalian terlalu ramai. Ada pedagang lama yang tak suka."

Aku menatap puing-puing hitam itu dengan rahang mengeras. "Mereka takut pada warna," gumamku pelan. "Karena warna membawa perubahan."

Ayah duduk di tanah, diam, matanya kosong. Tapi ketika Ibu menyentuh bahunya, ia menghela napas panjang. "Selama kita masih bisa bekerja, kita belum kalah."

Aku segera memeriksa gudang kecil di rumah. Untungnya, kain-kain terbaik kami biru, kuning, dan maroon masih aman. Kami menyimpannya di rumah untuk dijemur esok hari.

Sore itu aku membuat papan kayu sederhana dan menulis dengan arang besar-besar:

"Kain Berwarna Rivenshire Dijual di Rumah Keluarga Rovan."

Aku menancapkannya di depan toko yang terbakar, di antara sisa abu dan kayu hangus. Orang-orang yang lewat membaca, beberapa mengangguk simpati, beberapa tersenyum kecil.

Ayah menatap papan itu lama, lalu tersenyum lemah. "Kau memang anak yang tak mudah menyerah, Erian."

Aku memandang warna maroon yang berkibar di tali jemuran di belakang rumah. Di bawah sinar senja, warna itu tampak seperti api yang tak padam mengingatkanku bahwa meski dunia bisa membakar segalanya, semangat kami masih hidup.

Dan aku tahu, dari abu itu, sesuatu yang baru akan lahir.

Langkahku ternyata tidak salah. Dua hari setelah papan sederhana itu kutancapkan di depan puing toko yang hangus, orang-orang mulai berdatangan ke rumah kami. Awalnya hanya beberapa pembeli tetap, tapi tak lama, arus manusia makin ramai. Petani, ibu rumah tangga, bahkan pedagang dari kota sebelah datang membawa keranjang kosong dan pulang dengan senyum lebar serta kain berwarna di tangan mereka.

"Warna biru untuk selendangku, Nak."

"Yang kuning cocok untuk baju anakku."

"Warna merah itu… ah, indah sekali, aku ingin membuat mantel darinya."

Rumah kami kini lebih ramai dari pasar. Bau pewarna, kain kering, dan tawa bercampur menjadi satu. Ibu sibuk menimbang kain, Ayah mengatur harga, dan aku membantu mencatat semua pesanan. Tak ada lagi wajah muram atau panci kosong di dapur.

Malam itu, kami duduk bertiga di dekat tungku. Ibu menatap nyala api, wajahnya lembut diterangi cahaya jingga. "Sudah lama aku tidak merasakan perut kenyang seperti ini," katanya sambil tersenyum kecil. "Rasanya… aneh. Biasanya aku masih mengeluh lapar di jam segini."

Ayah tertawa renyah. "Itu tandanya kita sudah tak seburuk dulu. Semua berkat Erian dan warna ajaibnya."

Aku tersenyum, malu sekaligus bangga. Tapi di kepalaku, sesuatu mulai berputar lagi. Dunia ini mulai berubah oleh warna, tapi aku tahu warna saja belum cukup. Orang-orang membeli kain, tapi tidak semua tahu cara menjadikannya pakaian.

"Ibu," kataku tiba-tiba, "kalau kita mulai menjual sesuatu selain kain, bagaimana? Misalnya pakaian."

Ibu menatapku heran. "Pakaian? Itu ide bagus, tapi aku tak tahu pakaian seperti apa yang harus dibuat. Aku hanya bisa menjahit model sederhana."

Aku berpikir semalaman. Sambil menatap buku catatanku, bayangan masa lalu muncul gambar-gambar dari buku sejarah yang pernah kubaca, tentang pakaian para perwira Inggris abad ke-15: mantel panjang dengan kerah tinggi, garis tegas di bahu, dan kancing logam yang berjajar rapi. Tapi tentu saja aku tak bisa membuatnya persis. Aku menyesuaikan, menghilangkan aksen militer dan menambahkan sedikit lipatan elegan di sisi bawah, menjadikannya tampak gagah tapi tetap lembut.

Saat fajar muncul, aku sudah menuntaskan sketsa itu di kertas usang. Lalu aku meminta bantuan Ayah.

"Ayah, bisa tolong buatkan sesuatu seperti patung, tapi hanya bagian badannya saja? Aku butuh untuk menaruh pakaian contohku nanti."

Ayah menatapku bingung. "Patung? Badannya saja? Untuk apa?"

"Untuk… menaruh baju. Biar Ibu bisa menjahit dengan rapi. Anggap saja... teman jahit tanpa mulut."

Ayah menggaruk kepalanya, masih belum paham, tapi akhirnya tertawa. "Kau memang aneh, Nak. Tapi anehmu membawa uang. Baiklah, aku buatkan dari kayu yang tersisa."

Keesokan paginya, manekin sederhana itu berdiri di sudut rumah. Bentuknya agak miring, dan bahunya sedikit terlalu lebar seolah sedang sombong.

"Ayah," kataku sambil menahan tawa, "kalau patungnya bisa bicara, mungkin dia akan minta dipanggil 'Tuan Bahu Lebar.'"

Ayah tertawa keras. "Kalau dia mulai bicara, aku yang lari duluan!"

Aku menyerahkan desain bajuku pada Ibu. Saat melihatnya, matanya melebar, napasnya tertahan. "Erian… ini indah sekali. Elegan tapi tetap sederhana. Dari mana kau tahu membuat desain seperti ini?"

Aku hanya tersenyum canggung dan menggaruk kepala. "Entahlah… mungkin lewat sekejap dalam mimpi? Aku tidur, lalu bam! tiba-tiba aku melihat baju ini muncul di kepala."

Ibu menatapku lama, lalu mencubit pipiku pelan. "Kalau semua mimpi menghasilkan uang, orang miskin sudah habis di dunia ini."

Aku tertawa, lalu menjawab, "Mungkin aku cuma tidur dengan cara yang berbeda."

Dan di tengah tawa kami pagi itu, aku tahu satu hal pasti warna bukan lagi sekadar pewarna kain. Ia kini menjelma menjadi jembatan menuju masa depan baru bagi keluargaku. Dan mungkin, langkah kecil ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Desain baju itu ternyata membawa keajaiban baru. Awalnya hanya satu dua orang yang datang ingin memesan pakaian serupa. Namun, dalam waktu seminggu, halaman rumah kami dipenuhi pelanggan dari berbagai kalangan mulai dari pedagang kaya, pegawai kota, hingga anak-anak bangsawan yang penasaran dengan model baru yang katanya "mewah tapi ringan."

Pakaian itu memang unik. Campuran warna dasar maroon yang kukembangkan dari buah kering, dengan sentuhan hitam dan putih di bagian kerah serta lengan, membuatnya tampak seperti seragam perwira kerajaan, namun tanpa kesan kaku. Elegan, berwibawa, tapi tetap bisa dipakai rakyat biasa tanpa terlihat berlebihan.

Ibu bekerja hampir tanpa tidur, menjahit setiap malam. Ayah membantu memotong kain, sementara aku terus memperbaiki pola desain, mencoba menyeimbangkan keindahan dan kenyamanan.

Lalu, suatu hari, seorang pria datang. Tubuhnya tegap, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan janggut tipis menghiasi dagunya. Ia mengenakan mantel panjang berwarna abu tua dan sepatu kulit yang mengilap. Tatapannya tajam, tapi suaranya tenang.

"Aku dengar ada keluarga di Rivenshire yang bisa membuat pakaian dengan desain unik dan warna yang tak pernah kulihat sebelumnya," katanya. "Namaku Tuan Bihe."

Ayah sedikit gugup, tapi tetap menjawab sopan. "Benar, Tuan. Mungkin yang Anda maksud pakaian rancangan anak saya."

Tuan Bihe menatapku lama, lalu meneliti baju contoh yang tergantung di manekin kayu buatan Ayah. Ia mengelus kainnya perlahan, seperti menilai karya seni. "Campuran warna yang berani… maroon, hitam, dan putih. Seimbang dan elegan. Siapa yang mendesainnya?"

Aku menelan ludah. "Saya, Tuan. Bersama Ibu."

Senyum tipis muncul di bibirnya. "Hebat. Desain seperti ini bisa menarik perhatian pejabat tinggi, bahkan bangsawan. Aku ingin berbicara lebih jauh tentang kerja sama."

Kami saling berpandangan, tak tahu harus menjawab apa.

Sore itu, Tuan Bihe berkata akan kembali malam nanti untuk berdiskusi. Begitu ia pergi, rumah langsung berubah seperti medan perang kecil. Ibu membersihkan dapur secepat mungkin, Ayah memoles meja kayu dengan minyak, dan aku mencoba menambal kursi yang kakinya sedikit goyah.

"Jangan sampai dia tahu rumah kita seperti kandang ayam," keluh Ayah sambil mengelap keringat. "Kita sambut dia di luar saja, di bawah pohon, biar kelihatan… alami."

Saat matahari terbenam, Tuan Bihe datang tepat waktu. Ia disambut dengan senyum kikuk dan aroma teh hangat yang Ibu racik dengan tangan gemetar. Ayah mengeluarkan meja dan dua kursi terbaik yang kami punya meskipun salah satunya masih sedikit miring.

Diskusi dimulai dengan hati-hati, tapi cepat berubah jadi serius. Tuan Bihe ternyata seorang pedagang besar dari ibu kota yang biasa menjual barang ke kalangan bangsawan dan militer. Ia tertarik membeli lusinan kain berwarna dari kami, sekaligus membeli hak desain pakaian perwira maroon hitam putih itu untuk diproduksi massal di bawah namanya.

Ketika ia menyebutkan harga yang bersedia ia bayarkan, Ayah hampir menjatuhkan cangkir teh dari tangannya. Ibu menutup mulut dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. Jumlah itu… lebih banyak dari seluruh penghasilan Ayah selama bertahun-tahun berdagang kain.

"Ini terlalu besar, Tuan…" kata Ayah terbata-bata.

Tuan Bihe tersenyum kecil. "Tidak ada yang terlalu besar untuk sesuatu yang berharga. Aku bukan orang baik, tapi aku tahu keadilan dalam dagang. Karya sebaik ini pantas mendapat tempat."

Aku memperhatikan wajahnya di bawah cahaya lampu minyak. Garis keras di wajahnya memang membuatnya tampak seperti tokoh jahat dalam cerita rakyat, tapi matanya jujur. Ia oportunis, ya, tapi juga adil dan di dunia ini, dua hal itu jarang berjalan bersama.

Saat ia pamit, malam terasa sunyi. Kami hanya duduk bertiga di depan tungku, masih tak percaya dengan apa yang baru terjadi.

Ayah menatap langit-langit, lalu berkata pelan, "Aku tak tahu apa yang sudah kita lakukan untuk pantas mendapatkan keberuntungan seperti ini."

Ibu tersenyum lembut, air matanya jatuh tanpa suara. "Mungkin karena selama ini kita tak pernah berhenti berharap, meski perut lapar."

Aku memandang manekin kayu di sudut ruangan "Tuan Bahu Lebar" yang kini mengenakan pakaian rancangan pertamaku. Di bawah cahaya api, warna maroon itu tampak berkilau, seperti pertanda bahwa jalan hidup kami baru saja berubah untuk selamanya.

Pagi itu udara Rivenshire terasa lebih hangat dari biasanya.

Mungkin karena semangat kami yang sedang meluap-luap.

Sesuai janji, aku dan Ayah berangkat ke serikat dagang untuk bertemu Tuan Bihe. Ibu berulang kali mengingatkan agar kami tidak terlihat seperti orang desa yang kebingungan. Tapi bagaimana bisa tidak gugup, kalau kami akan bicara dengan salah satu saudagar paling berpengaruh di kota ini?

Begitu tiba, pelayan serikat langsung menyambut kami dan mengantar ke ruang pertemuan yang penuh bau tinta dan kertas. Tuan Bihe sudah menunggu di sana, duduk dengan tangan bertumpu di dagu, seperti sedang menilai kualitas kain dari jauh.

"Ah, akhirnya kalian datang," katanya dengan nada berat tapi tidak galak.

Ayah menunduk dalam-dalam, sementara aku sibuk membuka gulungan kertas lusuh yang kubawa.

Aku mulai menggambar ulang desain pakaian perwira itu garis-garis maroon, aksen hitam, kerah putih bersih. Tanganku bergerak cepat, seolah sudah kulakukan ribuan kali.

Tuan Bihe memperhatikan tanpa suara, matanya sempat membulat.

"Anak kecil…" ujarnya akhirnya, "kau menggambar ini sendiri?"

Aku menoleh sedikit, tersenyum canggung. "Mungkin ini… bakat alamiku, Tuan. Atau mungkin roh penjahit masa lalu merasukiku tadi malam, hehe."

Ayah tersedak batuk kecil mendengarnya, sementara Tuan Bihe justru tertawa pendek, senang tapi masih bingung.

"Roh penjahit, ya? Kalau begitu, aku harap roh itu tidak minta upah tambahan," katanya sambil mengangguk puas.

Proses pertukaran berjalan lancar, tanda tangan, catatan harga, dan janji kerja sama. Uang yang diterima Ayah jumlahnya bahkan cukup untuk membuat tangannya gemetar saat menghitung.

 

Dalam perjalanan pulang, Ayah tidak berhenti tersenyum.

Kami berhenti di penjual daging dan membeli potongan sapi, ayam, dan beberapa sayuran segar. Pedagang itu bahkan menatap kami dua kali barangkali heran, sejak kapan keluarga tukang kain bisa membeli daging segitu banyaknya.

"Untuk apa semua ini, Nak?" tanya Ayah sambil menenteng bungkusan besar.

"Untuk masak," jawabku singkat. "Aku ingin kalian makan sesuatu yang belum pernah ada di Rivenshire."

 

Sesampainya di rumah, Ayah terlalu bahagia sampai lupa batas usianya. Ia menggendongku di punggungnya, berlari-lari di depan rumah sambil berteriak, "Erian si jenius pewarna dan perancang pakaian!"

Aku tertawa keras, tapi tawa itu berhenti mendadak saat Ayah seperti sudah takdirnya menabrak pohon jeruk di depan rumah.

"Ugh… pohon ini dendam karena kita kaya," gerutunya sambil memegangi hidung yang berdarah sedikit.

Aku dan Ibu hanya tertawa sampai perut sakit.

 

Di dapur, aku menyiapkan bahan-bahan yang kubeli.

Ibu menatapku dengan wajah penuh tanda tanya saat aku mulai menumbuk rempah, mencampur bubuk kunyit dan sedikit santan.

"Erian, dari mana kau tahu semua ini?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum. "Mungkin dari mimpi yang sama, Bu. Tapi kali ini roh kokinya datang bergantian."

Ibu hampir tersedak airnya sendiri mendengarnya.

Bau harum mulai memenuhi ruangan, kare hangat dengan potongan ayam katsu renyah di atasnya.

Ayah masih di ruang tamu, menatap langit-langit sambil menempelkan kain basah ke hidungnya.

Tapi begitu aroma itu menyusup ke udara, dia langsung bersuara, "Apa ini? Kenapa hidungku berdarah tapi perutku malah lapar?"

Kami tertawa lagi.

Saat makanan disajikan, Ibu mencicipi terlebih dahulu. Matanya membulat, lalu menatapku seperti baru melihat mukjizat.

"Ini… luar biasa, Erian. Rasanya kaya rempah tapi lembut!"

Ayah segera menyuap satu sendok besar dan langsung menatap kosong ke arah atap.

"Kalau begini, kita buka kedai makanan saja ya, Erian! Hahahaha!" serunya sambil tertawa keras.

Ibu hanya menepuk dahinya, tapi senyum bahagia itu tak pernah hilang dari wajahnya malam itu.

Dan di tengah tawa, aku diam-diam berpikir mungkin benar kata Ayah, siapa tahu setelah warna dan kain… rasa juga bisa mengubah nasib kami.

Istirahat Malam Ini mungkin akan sangat nyaman mengingat keberuntungan yang kita dapatkan.

More Chapters