LightReader

Chapter 2 - Grandfather's legacy

Kabut pagi masih menyelimuti lembah kecil itu, menyebarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Di tengah kabut, di sebuah gubuk tua yang hampir runtuh, seorang pemuda bernama Zahir sibuk menyalakan api kecil di perapian. Tangannya gemetar—bukan karena takut, melainkan karena kelelahan setelah terjaga semalaman.

Di sudut ruangan, seorang lelaki tua terbaring di atas tikar usang. Tubuhnya penuh luka, napasnya pendek dan tersengal-sengal, namun matanya masih menyala tajam bagai bara api yang tak kunjung padam. Ia Kakek Ali, pria yang ditemukan Zahir pingsan di hutan dua malam lalu, dikejar oleh penyerang tak dikenal.

Zahir menatap lelaki tua itu dengan rasa ingin tahu.

"Kakek, luka di punggungmu dalam. Aku sudah membersihkannya dengan ramuan rebus, tapi... siapa yang melakukan ini padamu?"

Kakek Ali membuka matanya perlahan. Kerutan di wajahnya bagaikan peta masa lalu yang panjang dan berat. Ia menatap langit-langit bambu, lalu tersenyum tipis.

"Nak... di dunia ini, bukan hanya pedang yang bisa melukai. Terkadang... keahlian seseorang bisa menjadi kutukan."

Zahir tidak sepenuhnya mengerti, tetapi ia tahu kata-kata itu berbobot. Ia hanya menundukkan kepala dan menambahkan kayu bakar lagi. Bunyi lembut bara api memecah keheningan.

Hari-hari berlalu. Luka Kakek Ali mulai mengering. Setiap pagi Zahir mengambil air dari sungai dan daun obat dari hutan. Terkadang, saat matahari mulai terbenam di cakrawala, mereka duduk di depan gubuk, menyaksikan kabut menari-nari di atas lembah.

Suatu sore, ketika Zahir sedang menjemur pakaian, Kakek Ali berbicara dengan lembut.

"Zahir… bawakan aku gulungan kecil di dalam tas kulitku."

Zahir menurut dan menemukan sebuah tas kulit cokelat tua yang hampir robek. Di dalamnya terdapat sebuah gulungan kecil yang diikat dengan benang merah. Ketika ia menyerahkannya kepada lelaki tua itu, Kakek Ali mengamatinya cukup lama, seolah sedang mempertimbangkan keputusan.

"Anakku," katanya pelan. "Tahukah kau apa ini?"

Zahir menggelengkan kepalanya.

Kakek Ali perlahan membuka benangnya. Ketika gulungan itu terbuka, aroma kuno tercium—bagaikan kertas yang tersegel oleh waktu. Di atasnya tergambar sosok-sosok aneh mirip manusia dan gambar seekor harimau putih yang sedang menerkam. Di sampingnya, terdapat huruf-huruf kursif yang elegan:

'Silat Macan Putih — Rahasia Nafas dan Kekuatan.'

Zahir menatap dengan kagum.

"Itu… adalah seni bela diri?"

Kakek Ali tersenyum. "Bukan sembarang teknik. Ini warisan terakhir dari aliran yang telah lenyap berabad-abad lalu. Wujud Harimau Putih—seni yang menggabungkan kekuatan, kelincahan, dan ketenangan batin. Hanya mereka yang berhati murni dan bernapas selaras dengan alam yang dapat menguasainya."

Dia menatap mata Zahir dalam-dalam.

"Dan sekarang… gulungan ini milikmu."

Zahir tertegun. "Tapi... kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa, Kakek. Aku bahkan tidak tahu cara menangkis pukulan yang benar."

Kakek Ali terkekeh lemah, suaranya kasar namun hangat.

"Justru karena kau bukan siapa-siapa. Kau tidak terikat oleh ambisi, juga tidak dibutakan oleh reputasi. Dunia persilatan saat ini terlalu ternoda. Keahlian digunakan untuk mendominasi, bukan melindungi."

Ia terbatuk keras, darah menetes dari bibirnya. Zahir bergegas menawarkan air, tetapi ia menolak.

Dengarkan baik-baik, Zahir… setiap seni bela diri punya 'napas'-nya sendiri. Kalau kau hanya meniru gerakannya, kau meniru bayangan. Tapi kalau kau bisa merasakan napasnya… kau menjadi bagian dari seni itu sendiri.

Zahir terdiam, tidak yakin harus berkata apa.

Malam itu, setelah Kakek Ali tertidur, Zahir duduk di luar gubuk, menatap bulan. Ia memegang gulungan kecil itu di tangannya. Wujud Harimau Putih… nama itu terngiang di benaknya. Anehnya, dadanya bergejolak setiap kali ia mengulanginya dalam hati.

Ia membuka gulungan itu lagi dan mencoba meniru gerakan yang digambar di atasnya. Awalnya ia canggung—pijakannya salah, napasnya tak teratur. Namun, di tengah kesalahan-kesalahan itu, ia merasakan sesuatu bergerak di dalam dirinya: aliran hangat naik dari telapak kakinya ke dadanya.

Tiba-tiba, angin malam berputar aneh. Kabut di sekitar gubuk tampak menari-nari, dan dari hutan terdengar teriakan samar, seperti auman harimau di kejauhan. Terkejut, Zahir langsung berhenti. Namun, untuk sesaat, ia melihat sekilas gambaran seekor harimau putih di benaknya—mata tajam, sosok perkasa—mengelilinginya sebelum menghilang.

Napasnya tersengal-sengal.

"Apakah… itu napas yang dimaksud Kakek?"

Keesokan paginya, Kakek Ali sudah berada di luar, menunggu. Meskipun tubuhnya masih lemah, matanya kembali berbinar.

"Kau merasakannya, bukan?" katanya sebelum Zahir sempat berbicara.

Zahir mengangguk perlahan.

Bagus. Itu langkah pertama. Penguasaan bukan tentang seberapa cepat kamu belajar, tapi seberapa dalam kamu memahami dirimu sendiri.

Hari-hari berganti. Gubuk itu tak lagi sunyi—menjadi tempat latihan. Zahir belajar menstabilkan napasnya, merasakan tanah di bawah kakinya, menyelaraskan setiap gerakan dengan aliran udara di sekitarnya.

Setiap kali ia melakukan kesalahan, Kakek Ali hanya berkata, "Dengarkan bumi, jangan pikirkannya."

Sebuah ungkapan yang aneh… namun Zahir lambat laun paham: silat bukan sekadar pukulan atau tendangan, melainkan dialog antara tubuh dan alam.

Pada malam ke-14 sejak Zahir menyelamatkannya, badai dahsyat melanda lembah. Petir menyambar langit, hujan turun deras. Di tengah gemuruh guntur, Zahir melihat Kakek Ali berdiri di luar, meskipun tubuhnya ringkih.

"Kakek! Apa yang kau lakukan?" teriak Zahir.

Kakek Ali membuka kedua lengannya dan mulai bergerak. Tubuh tuanya menari-nari di bawah guyuran hujan, setiap gerakan tajam namun lembut, mengalir bagai air namun kokoh bagai baja. Harimau Putih itu tampak terlahir kembali dalam wujud manusia.

Zahir menyaksikan dengan tak percaya. Setiap kali ia bergerak, kilat menyambar di atas kepalanya, dan di belakangnya—hanya sesaat—hantu harimau putih muncul, melangkah di sampingnya.

Setelah gerakan terakhir, Kakek Ali jatuh berlutut. Zahir bergegas maju.

"Berhenti, Kakek! Kakek belum sembuh!"

Kakek Ali menatapnya dengan senyum damai.

"Sekarang… aku tahu warisanku telah menemukan tempatnya."

Dia menepuk bahu Zahir dengan lembut.

"Jangan terburu-buru menjadi kuat, Zahir. Terkadang kekuatan bukan berasal dari otot, melainkan dari keberanian untuk bertahan ketika tak seorang pun percaya padamu."

Malam itu, hujan reda. Bintang-bintang bermunculan satu per satu, dan di balik kabut lembah, siluet seekor harimau putih berkelebat samar di langit.

Zahir menatapnya lama, mendekap gulungan itu erat-erat. Ia tahu hidupnya takkan pernah sama lagi.

Sejak saat itu—jalan seni bela diri telah terbuka.

Dan jauh di dalam hatinya, suara lembut Kakek Ali bergema:

"Napasmu adalah teknikmu, Zahir. Hiduplah seperti harimau putih—diam dalam damai, tetapi tak kenal takut saat badai datang."

More Chapters