LightReader

Chapter 1 - BAB 1 — BAYANGAN DI LANGIT ABU-ABU

Langit hari ini sama seperti kemarin kelabu, berat, dan dingin.

Orang-orang berlalu dengan cepat, wajah mereka tak pernah menoleh.

Mungkin mereka takut, kalau terlalu lama menatapku, warna mataku akan menular, berubah menjadi merah gelap seperti bara api yang hampir padam.

Aku menatap pantulan diriku di jendela sekolah.

Wajah pucat, rambut hitam kusut, seragam yang warnanya telah memudar.

Aku… bahkan tak tahu kenapa masih datang ke tempat ini.

Tak ada yang menungguku di rumah, dan tak ada yang menungguku di sini.

Mungkin ini hanya kebiasaan tubuh, bukan keinginan hati.

"Lihat, si mata iblis

datang lagi."

"Kau yakin dia masih mnusia?"

Tawa mereka menembus telingaku, tapi tak lagi menyakitkan.

Aku sudah kehilangan kemampuan untuk merasa sakit setidaknya, sakit yang datang dari luar.

Yang tersisa hanyalah kehampaan, dingin, dan suara langkah kakiku bergema sendirian di koridor panjang.

Dulu aku berpikir hidup akan berubah kalau aku cukup sabar, cukup baik, cukup kuat.

Tapi dunia tidak mengenal kata cukup.

Dunia hanya tahu siapa yang berada di atas, dan siapa yang diinjak di bawah.

Aku menunduk, melewati mereka seperti bayangan.

Kadang aku berpikir, mungkin aku memang tak seharusnya ada di sini.

Mungkin warna merah di mataku bukan kutukan… tapi tanda bahwa aku berasal dari tempat lain.

——

Sore itu, langit tampak seolah hendak runtuh.

Gerimis turun, menelusuri jalan-jalan kusam yang sudah terlalu akrab bagiku.

Aku berjalan tanpa tujuan, melewati gang kecil tempat geng motor sering berkumpul.

Aku tahu seharusnya menghindar, tapi takdir punya kebiasaan aneh, selalu menarikku ke arah yang salah.

"Hei, anak itu lari ke

arah sini, kan?"

"Tangkap dia! Jangan biarkan kabur!"

Aku melihatnya.

Seorang gadis kecil berlari ketakutan, pakaiannya robek, air matanya bercampur lumpur.

Dan di belakangnya—empat pria dengan mata seperti serigala kelaparan.

Aku tak sempat berpikir.

Tubuhku bergerak sebelum pikiranku sempat menolak.

"Hei!" teriakku, suaraku pecah di tengah gemuruh hujan.

"Lepaskan dia!"

Mereka menoleh, dan dalam sekejap aku tahu, aku mungkin akan mati hari ini.

Tapi entah kenapa, tak ada rasa takut di dadaku.

Mungkin karena aku sudah lama mati, hanya tubuhku yang tersisa.

Sebuah pukulan menghantam wajahku, lalu tendangan, lalu sesuatu yang tajam menusuk sisi tubuhku.

Suara hujan bercampur dengan tangisan lirih si gadis.

Aku tak tahu siapa yang memeluk siapa, tapi aku sempat tersenyum samar sebelum segalanya menghilang dalam gelap.

...sunyi.

Tapi bukan sunyi yang biasa.

Aku merasa ringan, seolah tubuhku hancur tapi jiwaku melayang.

Dalam kegelapan itu, dua cahaya berputar, satu putih berkilau lembut, satu hitam berdenyut seperti jantung yang hidup.

Keduanya bertabrakan, berputar mengelilingiku, lalu menembus dadaku bersamaan.

"Kau akan menanggung dua sisi dunia, wahai jiwa yang terbelah."

"Lahir kembali bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai penentu."

Aku ingin bertanya siapa mereka, apa maksudnya, tapi suara itu sudah lenyap.

Yang tersisa hanyalah cahaya menyilaukan dan kehangatan aneh di kulitku.

Seperti… aku bernapas lagi.

Udara pertama yang kuhirup terasa asing.

Ada aroma tanah, hutan, dan bunga liar.

Langit di atas terlalu biru untuk menjadi langit Bumi.

Seseorang berbicara dengan suara lembut, seperti nyanyian.

"Aresh… Noctenveil. Nama yang indah, bukan?"

Aku tak tahu siapa wanita itu.

Aku hanyalah seorang bayi di dalam pelukannya.

Namun saat mataku terbuka dan dunia pertama kali melihatku…

semua orang menatap dengan ngeri.

Mata merah.

Sama seperti di kehidupan sebelumnya.

Tapi kali ini… aku merasakan sesuatu di dalamnya menyala.

Bukan kutukan, tapi sesuatu yang sedang menunggu untuk bangkit.

"Dua jiwa dalam satu wadah. Cahaya dan bayangan."

Aku terlahir kembali.

Sebagai Aresh Noctenveil, anak bermata merah dari dunia lain.

More Chapters