LightReader

Chapter 5 - Chapter 1— “Persiapan Menuju Academy”

Academy Zyvaris—akademi sihir paling bergengsi di seluruh Kekaisaran Arion.

Institusi ini berada langsung di bawah pengawasan Menara Sihir, tempat para Penyihir hebat berkumpul.

Karena itu, Akademi Zyvaris menjadi wadah para jenius—baik dari keluarga bangsawan maupun rakyat biasa—yang bermimpi menjadi penyihir hebat.

Ujian masuknya terkenal brutal.

Kebanyakan kandidat sudah melatih pengendalian mana selama bertahun-tahun sebelum berani sekadar mengisi formulir pendaftaran.

Akademi ini menerapkan sebuah prinsip keras yang dikenal sebagai Sistem Kesetaraan—seolah seluruh murid, apakah bangsawan atau rakyat jelata, berdiri pada pijakan yang sama.

Di balik itu, ada satu peraturan mutlak:

Yang kuat adalah yang berkuasa.

Tidak peduli gelar, kedudukan, bahkan darah keluarga kerajaan sekalipun…

tak ada yang berani membantah aturan tersebut.

Karena hukum itu ditulis langsung oleh Emperor of Light, kepala Academy sekaligus pahlawan di masa lalu.

Setelah kejadian saat manaku mengamuk dan hilang kendali itu, aku menghabiskan hari-hariku berlatih pengendalian mana—dengan bimbingan Ibu dan buku-buku dari perpustakaan kecil kami.

Dan sekarang… aku sudah berumur lima belas tahun.

Hanya tersisa satu minggu sebelum ujian masuk Academy dimulai.

(Chirp… chirp…)

Kicauan burung pagi terdengar dari balik jendela, bercampur dengan cahaya matahari yang menembus tirai.

"Ugh…"

Aku bangun sambil mengucek mata. Rasanya berat… mungkin efek begadang latihan sampai larut malam.

Dengan langkah gontai, aku turun dari tempat tidur dan keluar kamar.

"Pagi, Alicia. Kamu begadang lagi, ya?"

Ibu menyapaku dengan senyum hangat—senyum yang entah kenapa selalu berhasil menenangkan hatiku. Seperti mantra penyembuh gratis.

"Hehehe… iya. Aku agak gugup, Bu. Ujian Academy sebentar lagi…" jawabku sambil menggaruk pipi.

Ibu mengangkat alis lalu terkekeh kecil.

"Yasudah, sana mandi dulu. Nanti sarapan bareng Ibu."

"Iyaa, iyaa…"

Aku pun masuk ke kamar mandi.

(Splash… splash…)

Setelah selesai mandi, aku turun untuk sarapan bersama Ibu.

Saat aku duduk, Ibu tampak seperti teringat sesuatu.

"Oh iya. Kamu belum beli peralatan untuk Academy, kan? Mau Ibu yang siapkan?"

Aku langsung menggeleng cepat.

"Biar aku saja, Bu. Aku sudah bukan anak-anak lagi."

Ibu menopang dagu dan tersenyum tipis.

"Hmmm… tapi di mata Ibu, kamu masih anak kecil yang baru bisa jalan."

"Haah… iya, iya. Aku anak kecil…"

Aku menghela napas. Melawan logika Ibu itu seperti melawan arus sungai. Mustahil.

Setelah sarapan, aku bersiap berkemas. Besok aku akan berangkat ke ibu kota kekaisaran—karena aku bukan berasal dari kekaisaran, melainkan dari kerajaan di utara.

Perjalanan akan cukup jauh, jadi aku harus benar-benar menyiapkan segalanya.

Setelah selesai berkemas, aku kembali menuju perpustakaan—tempatku biasa berlatih pengendalian mana.

Entah kenapa… manaku seperti terus membesar hari demi hari.

Jika aku tidak mengontrolnya, aku bisa repot sendiri.

Saat aku menuju perpustakaan, aku berpapasan dengan Ibu.

"Astaga, Alicia… mau berlatih lagi?" Ibu menatapku cemas. "Jaga kesehatan itu penting juga, tahu?"

"Iya, Bu. Aku tahu… tapi kalau aku tidak bisa mengontrol manaku, bisa-bisa aku—yah, meledak atau semacamnya. Hehehe…" jawabku sambil tertawa kecil.

Ibu menghela napas.

"Ya sudah… tapi kamu harus tetap menjaga kesehatan. Besok kamu berangkat ke ibu kota. Belum lagi kamu harus berbelanja di sana karena di kerajaan kita tidak banyak peralatan Academy."

"Iya, Bu… astaga. Aku ini sudah besar, loh."

Aku mengembungkan pipi, merasa seperti diperlakukan sebagai anak kecil untuk kesekian kalinya.

Setibanya di perpustakaan, aku langsung menuju tempat duduk favoritku—kursi kayu dekat jendela yang selalu terkena cahaya matahari pagi. (Thud…)

Aku duduk, menarik napas pelan, lalu membuka buku tebal yang sudah berkali-kali kubaca.

Judulnya tertulis jelas di halaman pertama: "Pengendalian Mana."

Di dalamnya tertulis:

Pengendalian mana bukanlah seni memperbudak mana yang kita serap, melainkan seni memahami, memakai, dan mengalirkannya dengan benar. Kemampuan mengontrol mana terbagi menjadi tiga tahap: Beginning, Expert, dan Master.

Aku menggumam pelan sambil menggeser halaman.

"Hmm… ini bagian yang sudah kukenal, tapi tetap harus kuingat…"

Tingkat Beginning adalah tahap ketika seorang penyihir sudah bisa mengendalikan mana setelah pembentukan core.

Namun, di tahap ini sering terjadi penyerapaan mana berlebihan, yang berujung pada mana mengamuk dan hilang kendali.

Ya… seperti yang terjadi padaku dulu.

Aku menelan ludah. (Gulp…)

Tingkat Expert adalah tahap di mana seorang penyihir sudah mampu mengendalikan mana dengan stabil dan mulai bisa mempelajari serta menggunakan sihir secara penuh.

Sementara Tingkat Master…

Hanya mereka yang benar-benar mahir mampu mencapai tahap ini—mereka yang bisa mengendalikan, menggunakan, dan memanipulasi mana sesuka hati. Pada tingkatan ini, peluang mana mengamuk tinggal lima persen saja.

"Hah… jauh banget jalanku," gumamku sambil menyandarkan punggung. "Aku harus bisa menguasai setidaknya setengah langkah menuju tingkat Expert sebelum ujian…"

Aku kembali menatap halaman itu, lalu perlahan menutup mata, mencoba merasakan aliran mana di dalam tubuhku—

Aliran mana di dalam tubuhku terasa seperti arus sungai yang deras—mengalir tanpa henti, menghantam dari dalam seolah ingin memecah keluar.

(Fwoooosh… fwoosh…)

Setiap kali aku mencoba merasakannya atau mengeluarkan sedikit saja, core manaku malah otomatis menyerap mana di sekitarku.

Bukan perlahan… tapi seperti binatang buas yang kelaparan.

"Ugh… haaah…"

Rasanya nyeri, seperti ada sesuatu yang menarik isi tubuhku secara paksa.

Sudah berkali-kali aku mengalami ini.

Mana yang kuserap terlalu banyak sampai core milikku terasa penuh—menyembul, berdenyut, lalu…

(Bruh—shh!)

Mana yang tak tertampung akhirnya berhamburan keluar kembali.

Aku menggertakkan gigi.

"Mengapa… selalu begini?"

Sudah banyak buku yang kubaca, banyak teori yang kususun dan kucoba.

Setiap kali kuanggap satu metode berhasil… akhirnya tetap gagal.

Aku berpikiran mungkin… di perpustakaan Academy nanti ada buku yang bisa menjelaskan keadaan anehku ini…

Tanpa kusadari, waktu berlalu cepat.

Cahaya senja menembus jendela perpustakaan, memantulkan warna jingga lembut di atas buku-buku tua.

(Flutter…)

Kelopak mataku mulai berat.

"Cuma… sebentar saja…" gumamku sambil bersandar.

Dan akhirnya—

(Thud…)

Aku tertidur di perpustakaan, ditemani pikiran yang tak kunjung mereda…

tentang mana milikku yang terus tumbuh liar dan misterius.

(Chirp… chirp…)

Kicauan burung terdengar dari luar jendela saat sinar matahari langsung mengenai wajahku.

"Ughh…"

Aku meringis dan menggerakkan tangan untuk menutupi mata. Cahaya itu terlalu terang, menusuk kelopak mataku yang masih berat.

Aku membuka mata perlahan—setengah sadar. Butuh beberapa detik sebelum pikiranku benar-benar kembali.

"Hah… aku… ketiduran?"

Aku segera menoleh ke jam dinding perpustakaan.

Dan di sanalah kenyataan menghantamku.

"…Siang?! Bukan pagi?!"

Aku langsung berdiri dari bangku. (Thud!)

"Aduh! Hari ini aku harus bangun pagi untuk berangkat ke kekaisaran!"

Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar perpustakaan, menuju kamar mandi.

Tap! Tap! Tap!

Saat di lorong, aku berpapasan dengan Ibu… dan langsung kena omelan.

"Astaga, Alicia! Kamu lupa, ya?! Hari ini kamu harus berangkat ke kekaisaran, tapi baru bangun sekarang?!" tegur Ibu dengan nada marah.

Aku hanya menyunggingkan senyum canggung.

"Hehehe… iya Bu, maaf. Aku ketiduran. Pas bangun tiba-tiba sudah siang. Lagian Ibu nggak bangunin aku sih…"

"Bangunin? Kamu bilang bangunin, Alicia?"

Wajah Ibu berubah gelap dalam sekejap.

"I-BU-SU-DAH-BAN-GU-NIN-KA-MU-DARI-PAGI! Kamunya yang nggak mau bangun! Tahu nggak?!"

"Ehehe… iya, iya… maaf ya Bu! Aku mandi dulu!"

Aku langsung lari sebelum ceramah Ibu berkembang jadi tiga bab. (Dash!)

Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku mengenakan pakaian formal untuk perjalanan.

Koper berisi buku-buku dan barang pribadi sudah kubawa.

"Ibu! Aku sudah siap!" teriakku dari kamar.

"Ya sudah, turun dulu, Alicia! Ibu nyusul!"

Aku turun ke halaman rumah.

Sebuah kereta kuda sudah menunggu, lengkap dengan kusir yang tampak siap berangkat kapan saja.

Ibu keluar beberapa saat kemudian, membawa sekantong uang.

"Alicia, ini untuk membeli peralatan Academy nanti. Maafkan Ibu kalau jumlahnya tidak banyak…"

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Enggak kok, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Nanti kalau aku sudah jadi penyihir hebat, aku yang cari uang sendiri."

Ibu tersenyum haru mendengarnya.

"Alicia… hati-hati di sana, ya. Jangan lupa kirim surat untuk Ibu. Dan ingat, berhati-hati dengan para bangsawan. Memang kita bangsawan juga, tapi kita hanya baron dari kerajaan Nordel —Kerajaan bawahan."

"Iya, Bu."

Aku memeluk Ibu sebentar, lalu naik ke kereta.

"Kalau begitu, aku berangkat dulu."

Kereta mulai bergerak perlahan. (Clop… clop…)

Ibu menatap kepergianku sambil tersenyum tipis.

"Semoga kamu berhasil, Alicia… dan jangan sampai seperti Ibu."

Lalu, dengan suara lirih yang nyaris tak kudengar—

"Hahh… mungkin sudah waktunya. Sudah sepuluh tahun… kamu menghilang."

More Chapters