Vila kecil di lereng bukit itu berdiri menghadap lembah hijau yang luas. Setiap pagi, kabut turun seperti selimut tipis, menutupi atap-atap rumah warga dan pepohonan yang jauh di bawah sana. Suara burung hutan menyambut matahari, dan aroma kopi hitam menguar dari dapur.
Di teras vila, seorang pemuda duduk santai sambil mengibas lalat dengan sapu lidi.
Dia tertawa.
Lelucon receh keluar dari mulutnya setiap lima menit sekali.
Ia menggoda adiknya, membantu ibunya menjemur pakaian, dan sesekali bernyanyi fals sambil memetik gitar butut.
Tetangga-tetangga di sekitar vila mengenalnya sebagai pria lucu, ramah, dan banyak tingkah.
Nama lengkapnya tidak pernah dia sebut.
Mereka hanya memanggilnya Mas Rian.
Padahal… mereka tidak tahu siapa ia sebenarnya.
Tidak tahu apa yang pernah dilakukan tangannya.
Tidak tahu apa yang pernah disaksikannya.
Tidak tahu apa yang tersimpan di balik mata yang sekilas tampak riang itu.
Tidak tahu… bahwa ia adalah Surya.
Surya yang menjadi legenda kelam.
Surya yang pernah disamakan dengan setan lorong kota.
Surya yang membakar sebuah desa sampai menjadi abu.
Namun di sini… ia hanya pria culun yang gemar membuat teh manis terlalu manis.
Sementara itu, jauh dari vila kecil itu, di kota-kota besar yang sibuk dan penuh bisik-bisik gelap… nama "Surya" masih beredar.
Tapi bukan Surya manusia.
Surya yang mereka dengar adalah cerita:
— pemuda berhati dingin
— pembantai tanpa suara
— orang yang tak pernah tersenyum
— bayangan yang menghancurkan dua organisasi gelap sendirian
— makhluk yang tidak mati meski digiring ke perang berdarah
Mereka menceritakannya seperti menceritakan mitos.
Kadang dengan suara berbisik.
Kadang dengan wajah pucat.
Kadang dengan bangga, seakan Surya itu dewa perang mereka.
Yang tidak mereka tahu:
Surya—si legenda itu—sedang menjemur kasur busa dan memukul-mukulnya sambil bercanda.
Anak buah lama Surya—yang kini memegang bisnis gelap, transaksi, dan jaringan besar—sering berkumpul di gudang tua kota.
Tidak ada yang berani menyinggung nama Surya sembarangan.
Mereka menyebutnya dengan gelar baru:
"Bayangan Timur."
Gelar itu menggambarkan sesuatu yang mengatur dari kejauhan—tidak terlihat, tapi jelas terasa.
Dan memang itulah yang terjadi.
Surya tidak muncul.
Tidak memberi perintah langsung.
Tidak ikut rapat.
Tidak mengangkat senjata lagi.
Tapi… mereka semua tahu:
Suara di telepon itu masih suaranya.
Tenang.
Ringan.
Ramah.
Kadang bercanda.
Kadang tertawa kecil.
Namun perintah-perintah dari telepon itulah yang menggerakkan jaringan besar itu tanpa ada satu pun yang berani membantah.
"Lanjutkan."
"Biarin saja di situ."
"Dia bohong, cek lagi."
"Jangan sentuh keluarga orang itu."
"Yang itu… hapus jejaknya."
Hanya kalimat pendek.
Hanya bisikan kecil.
Tapi cukup untuk mengguncang seluruh peredaran uang gelap kota.
Sampai-sampai ada rumor:
"Surya saiki dadi makhluk sing ora butuh ndelok kanggo ngerti kabeh."
(Surya sekarang jadi makhluk yang tidak perlu melihat untuk memahami segalanya.)
Bisik-bisik itu menyebar.
Beberapa percaya.
Beberapa menganggapnya cerita untuk menakut-nakuti lawan.
Namun tidak ada yang berani memastikan.
Karena tidak ada yang benar-benar melihat Surya lagi.
Di vila pegunungan itu, Surya tertawa gugup ketika adiknya menyodok perutnya karena ia salah menyapu.
Ibunya mengomel karena mie gorengnya terlalu asin.
Tetangga menepuk pundaknya sambil berkata, "Mas Rian iki kok lucu tenan yo…"
Dan Surya hanya tersenyum lebar.
Terkadang, ia menunduk.
Terkadang, sorot matanya kembali seperti dulu—dingin, dalam, gelap.
Namun setelah beberapa detik, ia akan kembali cengengesan seperti badut kampung.
Orang-orang mungkin berpikir ia pria polos.
Orang-orang mungkin mengira ia lelaki biasa.
Orang-orang mungkin percaya ia tak punya masa lalu.
Tapi…
Malam hari, saat semua tidur, Surya keluar ke beranda.
Ia memandang lembah gelap di bawah.
Dan sesekali… ia tersenyum kecil.
Bukan senyum lucu.
Bukan senyum ceria.
Senyum seseorang yang tahu bahwa namanya masih hidup.
Masih dibisikkan.
Masih ditakuti.
Senyum seseorang yang tidak pernah benar-benar pergi.
Dan begitulah cerita berlanjut:
Di siang hari, Surya adalah pria bodoh yang suka bercanda.
Di malam hari, Surya adalah legenda gelap yang hidup dalam bisikan.
Apakah ia masih hidup?
Apakah ia masih mengatur dunia kelam?
Apakah ia benar-benar berubah menjadi manusia ceria?
Atau… apakah ia cuma memakai topeng?
Tidak ada yang tahu.
Tidak ada yang berani bertanya.
Hanya satu hal yang pasti:
Sosok Surya—entah sebagai manusia atau bayangan—masih ada.
Masih bergerak.
Masih mengawasi.
Dan mungkin…
saat ini…
ia sedang tersenyum ke arahmu.
