LightReader

Chapter 1 - ANAK NAKAL DARI UJUNG DESA

Di sebuah desa kecil bernama Gunung Awan, tinggal seorang anak laki-laki berumur tiga belas tahun bernama Boy Satria. Semua orang mengenalnya sebagai pembuat masalah, anak nakal, pengacau, dan biang keributan di sekolah maupun di desa. Namun sedikit yang tahu bahwa di balik semua kenakalan itu, Boy hanyalah seorang anak yatim yang hidup berdua dengan neneknya di sebuah rumah kayu tua di pinggir desa.

Pagi itu, seperti biasa, Boy bangun karena suara ayam jago tetangga yang berkokok terlalu keras. Ia mendengus jengkel, memeluk bantal sebentar, lalu kembali membenamkan wajah ke kasur.

"Boy, bangun. Kamu mau terlambat sekolah lagi. Nenek sudah siapkan sarapan," suara lembut namun tegas dari ruang depan membuat Boy membuka mata.

Boy menggosok rambutnya yang berantakan. "Aku nggak mau sekolah, Nek… membosankan. Gurunya cerewet semua," gerutunya.

Neneknya, Nenek Rahayu, hanya tersenyum kecil. "Bukan gurunya yang cerewet, kamu saja yang tidak mau diam."

Boy tidak menjawab; ia hanya bangkit dan keluar kamar. Sarapan nasi goreng sederhana sudah menunggu, lengkap dengan telur ceplok. Boy makan dengan cepat, lebih cepat dari siapapun di desa. Kalau bukan karena neneknya, mungkin ia sudah tidak pernah makan teratur.

Setelah makan, Boy mengambil tas lusuhnya dan keluar tanpa berpamitan. Nenek Rahayu hanya menghela napas sambil memandang punggung cucunya yang makin menjauh.

"Sifatmu keras sekali, Boy… tapi hatimu tidak seburuk itu," gumamnya.

Di jalan setapak menuju sekolah, Boy melompat-lompat di atas batu-batu kecil. Ia melewati ladang warga, sungai kecil, dan pohon-pohon bambu yang tumbuh rapat. Desa Gunung Awan memang indah, namun bagi Boy, tempat ini terasa sempit, seperti semua orang selalu mengawasinya.

Setiap langkahnya membuka kenangan yang tidak ingin ia ingat—ibunya meninggal saat Boy berusia lima tahun. Ayahnya pergi jauh sebelum itu, hilang tanpa kabar. Neneklah satu-satunya keluarga yang tersisa.

Di tengah lamunannya, Boy berhenti karena mendengar suara seseorang memanggil pelan.

"Boy…"

Ia menoleh. Dari balik pohon jambu, seorang gadis kecil berambut panjang, berkacamata, muncul perlahan. Dia adalah Rani Febriani, putri kepala desa. Cantik, pemalu, dan sangat pendiam.

"Kenapa sembunyi?" tanya Boy malas.

Rani menunduk. "Aku cuma… mau kasih ini."

Ia menyerahkan sebuah buku catatan baru.

Boy mengerutkan kening. "Buat apa?"

"Kamu… kemarin bukunya sobek karena anak-anak nakal itu. Jadi aku bawa yang baru… kalau kamu mau."

Boy menerima buku itu, tapi wajahnya tetap datar. "Aku nggak butuh dikasihani."

"Aku bukan kasihan…" Rani menggeleng cepat, wajahnya memerah. "Aku cuma… peduli."

Boy memutar bola mata dan berjalan pergi. Namun beberapa detik setelah itu, ia memeluk buku itu di dada. Ia tidak mengakuinya, tetapi ia menyukai perhatian gadis itu.

Rani menatap punggung Boy sambil berbisik, "Semoga hari ini kamu tidak terluka lagi."

Saat Boy masuk ke halaman sekolah, suasananya langsung berubah. Anak-anak yang berkumpul di lapangan spontan membubarkan diri, sebagian hanya melongo namun kemudian berbisik-bisik.

"Itu Boy… si tukang berantem."

"Dia lagi… pasti ada masalah baru."

Boy mendengus. Ia sudah terbiasa dengan tatapan itu. Ia melewati mereka tanpa peduli.

Namun baru beberapa langkah, suara kasar terdengar dari samping lapangan.

"WOY, ANAK BARU!"

Boy berhenti. Di depannya berdiri seorang anak berbadan tinggi dan berotot, bernama Rendy, pemimpin geng kecil di sekolah itu. Di belakangnya tampak tiga teman yang wajahnya sama-sama penuh percaya diri.

"Kamu telat lagi, Bocah," kata Rendy dengan nada mengejek.

"Urusanmu?" jawab Boy.

Suasana menegang. Anak-anak lain menjauh, tahu bahwa Boy dan Rendy tidak akan pernah cocok.

Tapi sebelum pertengkaran itu membesar, suara seorang anak perempuan memecah suasana.

"Hentikan, Rendy!"

Seseorang berlari dari arah koridor. Anak perempuan itu berambut pendek, memakai celana training, dan langkahnya mantap. Ia adalah Sita, anak perempuan tomboy yang terkenal berani.

Rendy menatapnya sambil terkekeh. "Kamu lagi? Mau bela si Boy? Nanti kamu yang nangis lho."

"Aku nggak takut!" Sita berdiri di depan Boy, melindunginya.

Tapi tindakan itu justru membuat situasi semakin buruk.

Rendy mendorong Sita dengan kasar. "Minggir! Ini urusan cowok!"

Sita hampir jatuh, namun Boy refleks menangkapnya.

Saat itulah wajah Boy mengeras.

"Kamu dorong dia lagi, aku tonjok," ujar Boy pelan namun tajam.

Rendy tertawa, tidak sadar bahwa satu kalimat itu akan mengubah hidup Boy.

"Berani juga kamu, Anak Kampung."

Rendy mendorong Boy. Boy membalas. Rendy memukul. Boy mengelak. Anak-anak mulai berteriak. Gurupun belum muncul.

Dan tanpa sadar, Boy memukul Rendy tepat di rahang.

DOR!

Lapangan hening seketika.

Rendy terhuyung, wajahnya merah padam karena malu dipukul di depan banyak orang.

"Kamu… MATI KAMU, BOY!" teriaknya.

Namun sebelum Rendy menyerang balik, suara peluit guru mendadak memecah suasana.

Semua langsung bubar.

Hanya Boy yang berdiri di tengah lapangan, memegang tasnya, pandangannya tenang meskipun jantungnya berdebar cepat.

Dari jauh, Rani memperhatikan semua itu sambil menggigit bibir. Ia khawatir. Sementara Sita hanya melirik ke Boy dan mengangguk pelan.

Di balik semua itu, kelompok kungfu paling ditakuti di desa—Perguruan Garuda Hitam—telah menaruh perhatian pada Boy, karena insiden kecil itu. Rendy ternyata adalah anggota junior perguruan tersebut.

Dan sejak hari itu, kehidupan Boy tidak akan pernah sama lagi.

Hari itu adalah awal dari perjalanan panjang seorang anak nakal yang akan menjadi legenda.

More Chapters