Langit malam itu adalah luka yang tidak akan pernah tertutup. Bukan kanvas beludru hitam, melainkan hamparan tebal berwarna ungu memar, terbentang di atas dunia yang sibuk melupakan. Dari sana, udara mengalir, membawa serta aroma tajam karat dan garam, menusuk paru-paruku seperti ribuan serpihan kaca yang tak terlihat. Rasa getir itu menempel di tenggorokan, menolak dihilangkan oleh napas biasa. Di atas, Selaput Kosmik—membran tipis yang memisahkan realitas kami dari hukum Edict—bergetar dalam denyutan lambat. Ia memancarkan pulsa suara yang tidak didengar oleh gendang telinga, tetapi dirasakan langsung di tulang tengkorak, dengungan lambat, seolah ada lebah bersarang di dalam kepalaku, membisikkan ritme kehampaan.
Aku berdiri di tengah tanah yang menolak untuk berinteraksi. Setiap langkah yang kupaksakan terasa berat, bukan karena gravitasi, tetapi karena penolakan metafisik. Tanah basah di bawah sepatu botku seharusnya merekam jejak, menciptakan cekungan kecil yang akan terisi air sebentar. Namun, ia hanya bergetar singkat, permukaannya segera merata kembali, halus sempurna, seolah ada tangan tak terlihat yang mengusapnya bersih. Tanah itu menolak untuk mengingat bahwa aku pernah menapakinya.
Aku mencoba Absence Indexing lagi—bukan ritual, melainkan reaksi bawaan, kutukan yang menjadi bagian dari diriku. Aku menutup mata, membiarkan tubuhku larut dalam denyut semesta yang menolak. Aku mencoba menekan telapak tangan ke batu besar di tepi jalan, berharap mendapatkan setidaknya sedikit kontak yang nyata. Batu itu bergetar seketika, ragu, seakan-akan ia sedang menimbang secara eksistensial apakah menerima sentuhanku akan mencemari catatan keberadaannya. Lalu ia kembali diam, dingin, menolak mencatat sentuhan itu. Aku menarik tanganku, merasakan dingin yang tak pernah benar-benar berpindah.
"Aku ada, namun tidak pernah tercatat." Bisikan itu meluncur dari bibirku, namun suaraku lenyap sebelum mencapai udara, getarannya hanya tertahan di tenggorokan, lalu menghilang. Absence Indexing adalah paradoks. Ia memberiku kemampuan untuk menghilang dari pandangan yang dangkal, tetapi sekaligus memastikan bahwa aku tidak pernah benar-benar eksis dalam catatan semesta.
"Aku adalah ketidaksengjaan," bisikku dalam hati, sebuah kesimpulan yang dingin dan pahit dari ribuan kegagalan. "Sebuah kesalahan dalam teks panjang semesta. Sebuah noda yang tidak bisa dihapus, tetapi juga tidak bisa diterima."
Aku bukanlah bagian dari hukum yang disebut The Edict (Zuin'Meth). Hukum itu adalah algoritma kosmik, dingin, birokratis, tanpa wajah, tanpa belas kasih. Ia mencatat, menilai, memverifikasi, dan menghapus. Dan aku, Harlan Gresh, hanyalah Error dalam sistem itu. Aku mencoba mengulang nama itu—nama yang kupeluk erat di tengah kehampaan—berulang kali dalam hati: "Harlan Gresh. Harlan Gresh." Namun setiap kali aku mengucapkannya, ada rasa takut yang menusuk: bahwa nama itu terasa seperti kulit yang sudah terkelupas, dan suatu saat aku akan lupa mengapa nama itu penting.
Udara di sekitarku mulai berubah. Aku merasakan merayapnya dingin birokratis, bukan dingin alami dari atmosfer Rimlands, melainkan dingin yang lahir dari mesin pencatat eksistensi. Itu adalah tanda yang tak pernah meleset: Patroli The Edict sedang mendekat.
Bayangan mereka tidak pernah jelas. Mereka bukan manusia, bukan makhluk, melainkan protokol yang berjalan di udara—alur pikir Edict yang termanifestasi. Aku merasakan kehadiran mereka bukan dengan mata, melainkan dengan tulang; setiap helaan napas terasa seperti formulir yang sedang diperiksa, setiap detak jantung seperti angka yang sedang diverifikasi.
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan diri. Ironisnya, Absence Indexing justru membuatku semakin menonjol di mata Edict. Karena setiap kali aku mencoba menghilang, sistem Edict mencatat, "kesalahan terdeteksi. Koreksi diperlukan." Mereka tidak melihatku, tetapi mereka melihat lubang, anomali, ketidakharmonisan.
Langkah-langkah birokratis itu mendekat. Tidak ada suara sepatu, hanya ketukan dingin di udara, seperti pena yang menandai kesalahan di dokumen. Aku tahu, jika mereka mendekat, maka aku akan dihapus sepenuhnya seolah olah aku tidak pernah ada dalam catatan eksistensi.
Aku berlari. meski aku tahu tanah tidak akan mengingat langkahku. Setiap jejak yang kutinggalkan segera merata kembali, membuatku seolah tidak pernah bergerak. Namun Patroli Edict tetap bisa mencatat anomali.
Aku merasakan dingin birokratis semakin dekat, menusuk tulang. Aku bersembunyi di balik sebuah batu yang sekarang bergetar lebih keras, ragu—batu itu seakan ingin menolak keberadaanku, tetapi aku memaksanya untuk menjadi pelindung.
Patroli Edict mulai melakukan penandaan di area tersebut. Aku melihat garis-garis tipis bercahaya muncul di udara, seperti tinta kosmik yang menandai kesalahan. Setiap garis adalah catatan Edict, setiap catatan adalah ancaman. Mereka sedang mengukur tingkat anomali, mengunci koordinat. Aku tahu, jika penandaan itu selesai, proses penghapusan akan terjadi dengan cepat.
"Aku adalah kesalahan," ulangku, suara internalku bergetar. "Dan kesalahan tidak pernah bertahan lama."
Waktu habis. Aku tidak bisa hanya berdiri menunggu penghapusan. Aku harus mengubah realitas sekitarku. Aku harus menggunakan senjata yang juga menjadi kutukan.
Maka aku menarik Sighs dari dalam paru-paru.
Sighs bukan sekadar udara; ia adalah napas yang terperangkap, material eksistensi level rendah, bahan bakar untuk Puisi. Rasanya seperti kaca yang digosok di dalam dada. Setiap tarikan napas memberikan luka, setiap hembusan seperti serpihan yang menggores. Paru-paruku terasa seperti di robek, dan aku tersentak.
Aku merasakan memori jangka pendekku mulai mengelupas, seperti cat yang tergerus waktu. Aku menarik satu helaan panjang, dan dunia di sekitarku bergetar, merespons kehendak yang terbungkus rasa sakit. Kata-kata—yang tidak pernah terucapkan dengan suara, melainkan dengan kehendak, dan didorong oleh penderitaan—mulai membentuk pola di udara.
Aku tahu, setiap tarikan Sighs adalah harga, dan harga itu selalu dibayar dengan memori. Aku akan kehilangan sesuatu yang nyata, sesuatu yang penting. Kehilangan itu pasti datang.
Patroli Edict berhenti, beku. Mereka mencatat, menimbang, dan menunggu. Mereka merasakan energi SRE yang baru dilepaskan. Aku berdiri di bawah langit yang berwarna ungu memar, tubuhku kembali merasakan rasa sakit itu lagi, dan pikiranku mulai kabur.
"Aku adalah kesalahan,ketidaksengajaan,sesuatu yang tidak di inginkan tetapi ada" kataku sekali lagi, kali ini dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
"Dan kesalahan ini ingin tetap ada."
"di dalam mazmur yang belum selesai ini"
