LightReader

Chapter 14 - Bab 12

Gelap malam menyelimuti mereka saat langkah kaki Al, Putri, Aulia, dan Fajar semakin mendekati tujuan. Hati berdebar tak menentu, pikiran dipenuhi beragam kemungkinan yang akan terjadi. Mereka sadar, malam ini bukan sekadar pertemuan biasa, tapi ujian terberat perjalanan hijrah mereka.

Al mengusap peluh di dahinya, menatap wajah sahabatnya satu per satu. "Kita harus kuat. Apapun yang terjadi, jangan sampai kita terpecah."

Putri mengangguk pelan, matanya menyiratkan keteguhan. "Aku siap. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Aulia yang masih menyimpan trauma, berusaha menenangkan diri. "Kita saling menjaga, ya. Jangan biarkan ketakutan menguasai."

Fajar membuka suara dengan nada serius, "Informasi terakhir menunjukkan lokasi ini memang tempat Arfan biasa berkumpul. Hati-hati, jangan sampai jatuh ke jebakan."

Setibanya di depan bangunan tua, suasana menjadi sunyi dan mencekam. Pintu berderit saat didorong perlahan, aroma debu dan lembab memenuhi rongga hidung. Mereka melangkah masuk, tiap langkah menggetarkan jiwa.

Tiba-tiba suara berat menggema dari sudut ruangan, "Kalian benar-benar datang."

Mata mereka tertuju pada sosok berdiri dengan senyum sinis—Arfan El Gibran.

"Sudah lama aku menunggu," kata Arfan sambil melangkah maju. "Perjuangan kalian selama ini? Akan kuakhiri di sini."

Al menatap tajam, menahan amarah yang membuncah. "Kenapa kau begitu? Apa salah kami?"

Arfan tertawa dingin, "Ini bukan tentang kalian, tapi tentang dendam yang harus aku bayar."

Malam itu, ketegangan membekukan udara. Pertarungan bukan hanya fisik, tapi juga pergulatan batin yang menentukan nasib mereka.

Udara malam semakin mencekam. Al dan kawan-kawan berdiri kokoh menghadapi Arfan yang perlahan mendekat. Tatapan tajam Arfan menyiratkan luka lama yang belum terobati.

"Dendammu padaku dan mereka, apa sebenarnya?" tanya Putri dengan suara tenang tapi tegas.

Arfan menghela napas panjang, wajahnya berubah muram. "Dulu, aku pernah seperti kalian—percaya pada kebaikan dan harapan. Tapi pengkhianatan dan tipu muslihat menghancurkan segalanya. Aku ingin kalian merasakan apa yang aku rasakan."

Aulia menggenggam tangan Putri erat-erat, "Kami datang bukan untuk melukai, tapi untuk mengajak kembali ke jalan yang benar. Masih ada harapan."

Suasana menjadi sunyi sejenak, lalu Al maju selangkah, "Kita tidak ingin jadi musuh, Arfan. Mari kita akhiri semua ini dengan damai, sebelum semuanya terlambat."

Tiba-tiba suara langkah kaki mengisi ruangan. Sesosok bayangan muncul dari pintu belakang. "Kalian bicara soal damai, tapi aku punya rencana lain."

Semua mata tertuju pada sosok baru itu. Fajar merapat ke sisi Al, waspada.

"Siapa dia?" bisik Putri.

Arfan menyeringai, "Ini yang sebenarnya menyebabkan semua ini..."

Pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.

Malam itu, bukan hanya keberanian dan kekuatan yang diuji, tapi juga hati dan keimanan.

---

Sosok bayangan itu melangkah maju, wajahnya tersembunyi di balik topeng gelap. Suaranya dingin dan berat, "Aku datang untuk menuntaskan apa yang Arfan mulai. Kalian pikir bisa melupakan masa lalu dan terus berjalan tanpa konsekuensi?"

Al segera bersiap, mata tetap fokus. "Kita tidak ingin berperang. Tapi jika itu pilihanmu, kami siap."

Putri meraih tangan Aulia, memberi kekuatan. "Kita tak akan menyerah pada ancaman. Majlis ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang banyak jiwa yang mencari cahaya."

Bayangan itu tertawa sinis, "Cahaya? Kalian hanya akan menemukan kegelapan."

Tiba-tiba, dari arah belakang, suara sirene kendaraan mendekat. Beberapa orang berseragam masuk ke ruangan, membuat suasana semakin panas.

Fajar menghela napas lega. "Akhirnya bantuan datang. Tapi ini belum selesai. Kita harus bersiap untuk apa pun."

Arfan menatap tajam, kemudian menunduk. "Aku tidak akan membiarkan kalian hancurkan hidupku begitu saja."

Malam itu, bukan hanya pertarungan fisik, tapi juga pertarungan hati dan keyakinan yang menentukan masa depan mereka.

Kerumunan mulai pecah saat petugas memasuki ruangan, membawa suasana tegang yang semakin menggantung di udara. Arfan mencoba melarikan diri, tapi Al dan beberapa teman sudah menutup semua pintu keluar.

"Akhirnya kau tertangkap juga, Arfan," ucap Al dengan nada dingin, menahan amarah yang sudah lama terpendam.

Arfan menatap tajam, "Ini belum berakhir. Kalian pikir aku hanya akan diam? Masih banyak yang akan kulakukan untuk menghancurkan kalian."

Putri maju, dengan suara tegas, "Kalau kau masih punya hati, hentikan ini sekarang. Kami bukan musuhmu."

Namun, Arfan hanya membalas dengan tawa sinis, "Hati? Aku sudah kehilangan itu sejak lama."

Di luar, sirene semakin nyaring, memperingatkan bahwa waktu mereka semakin sempit. Aulia yang masih lemah di pelukan Putri menatap ke arah Arfan, berharap ia benar-benar memilih jalan yang benar.

"Ini bukan hanya tentang kita," kata Al. "Ini tentang masa depan majlis, tentang hijrah yang kita perjuangkan bersama."

Arfan terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah menjadi penuh penyesalan. "Mungkin… aku sudah terlalu jauh. Tapi aku tidak akan berhenti begitu saja."

Suasana berubah menjadi haru dan penuh ketegangan, tanda bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan ujian hijrah ini belum berakhir.

Hari mulai menjelang pagi ketika Al, Putri, dan timnya membawa Arfan ke markas majlis. Suasana sunyi, namun ketegangan tetap menggelayuti setiap sudut ruangan.

Aulia yang sudah mulai pulih, duduk di samping Putri. "Aku percaya, ini bukan akhir dari segalanya," katanya lembut.

Al menatap Arfan dengan mata penuh pertanyaan, "Kenapa kau lakukan semua ini? Apa yang sebenarnya membuatmu berubah?"

Arfan menunduk, suaranya berat, "Dulu, aku juga pernah seperti kalian, mencari jalan keimanan. Tapi luka lama, rasa sakit, dan pengkhianatan membuatku memilih jalan berbeda. Aku marah pada diri sendiri, pada dunia, bahkan pada Tuhan."

Putri mengulurkan tangan, "Masih ada kesempatan untuk kembali, Arfan. Hijrah bukan tentang sempurna dari awal, tapi tentang terus berusaha dan memperbaiki diri."

Arfan menatap tangan itu, ragu tapi tergerak.

Di luar, fajar mulai menyingsing. Sebuah awal baru menanti, penuh harap dan tantangan.

Kegelapan malam masih menyelimuti kota saat Putri dan Al duduk di beranda kecil rumah mereka, saling bertukar cerita tanpa harus banyak kata. Hening, tapi penuh dengan getar asa yang mereka rajut bersama.

"Aku tak pernah menyangka, hijrah ini bukan cuma soal perubahan diri," ucap Putri lirih. "Tapi juga ujian yang datang tak terduga."

Al menatap jauh ke langit, seolah mencari jawaban dari bintang yang berkilauan. "Hijrah memang bukan perjalanan yang mudah. Tapi selama kita saling genggam, aku yakin kita bisa melewati semuanya."

Putri tersenyum lemah, memegang tangan Al erat-erat. "Aku takut, Al. Takut kalau suatu saat aku menyerah, dan kau harus berjalan sendiri."

"Aku akan selalu ada, Putri. Bahkan ketika kau merasa jatuh, genggam tanganku lagi," jawab Al penuh ketulusan.

Namun di balik kehangatan itu, bayangan Arfan El Gibran masih membayangi, berencana mengoyak ikatan mereka. Tak hanya sebagai pengganggu, tapi juga ancaman nyata yang bisa menghancurkan semuanya.

"Perjalanan kita belum selesai, Putri. Masih banyak ujian yang harus kita hadapi," kata Al pelan, penuh tekad.

Putri mengangguk. "Dan aku siap. Asalkan kita bersama."

Malam itu, di tengah dinginnya udara, terpatri sebuah janji. Janji untuk tetap bertahan, untuk terus berjuang, dan untuk tidak pernah menyerah pada gelombang kehidupan yang mencoba memisahkan mereka.

Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang semakin terasa. Arfan terus mencari celah untuk mengacaukan majlis mereka, dan ancamannya semakin nyata. Tapi Al, Putri, dan Aulia tak pernah berhenti berusaha menjaga ikatan persaudaraan dan hijrah mereka.

Suatu sore, ketika mereka tengah bersiap mengadakan kajian online, tiba-tiba notifikasi masuk bertubi-tubi. Pesan-pesan yang penuh fitnah dan provokasi mencoba memecah konsentrasi mereka.

Putri menatap layar dengan mata berkaca-kaca. "Ini sudah bukan sekadar ujian biasa... ini sudah mengganggu kehidupan kami."

Al mengepalkan tangan. "Kita harus tetap kuat, dan lebih berhati-hati. Jangan sampai niat baik kita justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab."

Aulia mengangguk pelan. "Majlis ini bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua yang mencari cahaya di jalan-Nya. Kita harus jaga bersama."

Mereka pun sepakat untuk memperketat keamanan, dan mulai mencari siapa sosok di balik segala gangguan itu. Sementara itu, hati mereka tetap terikat satu sama lain, saling menguatkan dalam setiap langkah.

Dalam sunyi malam, doa menjadi pelindung dan harapan. Karena mereka percaya, setiap ujian pasti ada hikmah, dan setiap jalan gelap akan berujung pada cahaya.

Malam itu, suasana terasa berat. Mereka bertiga duduk berkeliling, membahas langkah selanjutnya. Putri memecah keheningan, "Kita nggak bisa terus-terusan lari dari masalah, kan? Harus ada cara supaya ini berhenti."

Al menatap tajam, "Aku sudah coba cari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik semua ini. Tapi dia sangat pintar menyembunyikan jejaknya."

Aulia menarik napas dalam, "Kalau sudah begini, kita harus lebih erat dan saling percaya. Jangan sampai rasa takut menguasai kita."

"Benar," timpal Putri. "Kalau kita tetap bersatu, Allah akan memberi jalan keluar."

Tiba-tiba, ponsel Al bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal, hanya berisi satu kalimat pendek:

*"Kamu pikir kamu sudah tahu semuanya? Tunggu saja."*

Al menatap pesan itu dengan serius, "Ini belum selesai. Kita harus siap menghadapi apa pun."

Mereka saling bertukar pandang, yakin bahwa perjuangan hijrah mereka masih panjang, dan ujian kali ini adalah bagian dari perjalanan yang harus mereka lalui bersama.

****

Keesokan harinya, suasana masih terasa tegang. Al, Putri, dan Aulia berkumpul kembali, kali ini dengan semangat yang lebih kuat. Mereka tahu ancaman itu nyata, tapi mereka juga sadar bahwa mereka tak sendiri.

Al membuka laptopnya dan mulai menelusuri kembali jejak digital yang bisa mengarah pada pelaku. "Aku akan mencoba hubungi beberapa teman yang ahli keamanan siber. Kita butuh bukti nyata."

Putri mengangguk, "Sementara itu, aku akan atur majlis online kita dengan lebih ketat. Kita pakai sistem verifikasi ganda supaya yang masuk benar-benar yang kita kenal."

Aulia yang masih lemah tapi penuh tekad berkata, "Aku juga akan coba kuatkan hati, fokus pada tujuan hijrah. Kita jangan biarkan mereka menang dengan membuat kita mundur."

Tiba-tiba, suara pemberitahuan masuk di grup chat mereka. Pesan baru dari seseorang bernama "Sahabat Sejati":

*"Jangan takut. Aku ada di belakang kalian. Bersiaplah untuk perubahan besar."*

Ketiganya saling pandang, ada harapan baru yang muncul, tapi juga rasa penasaran yang makin membara. Siapa sebenarnya "Sahabat Sejati" ini? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?

Malam itu, setelah pembicaraan singkat di grup, Al duduk sendiri di kamarnya. Tangannya mengetik cepat, membuka berbagai forum dan database yang mungkin menyimpan jejak pelaku teror. Dia tahu waktu tidak berpihak, dan setiap detik berarti.

Putri di sisi lain, mempersiapkan materi kajian dengan penuh hati-hati. Meski hatinya masih bergetar akibat teror yang diterima, dia berusaha keras menampilkan senyum tulus kepada jamaah online.

Aulia, yang mulai merasakan sedikit ketenangan setelah rawat inap, memutuskan untuk lebih terbuka dengan teman-teman majlis. Dia tahu, kekuatan bersama adalah senjata terbaik menghadapi segala ancaman.

Tiba-tiba, ponsel Al bergetar. Sebuah pesan masuk tanpa nama pengirim:

*"Kalian terlalu percaya diri. Ini baru permulaan. Jangan harap bisa tenang."*

Al menatap layar dengan mata tajam, "Ini bukan sekadar ancaman biasa. Ini permainan psikologis."

Putri memegang tangan Aulia, "Kita harus tetap kuat, ya. Bersama kita bisa."

Dan di balik layar, sosok misterius yang disebut "Sahabat Sejati" terus mengawasi, siap membantu mereka melewati badai ini.

More Chapters